Rancangan Undang-Undang Omnibus Law memasukkan skema baru yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk menyelesaikan permasalahan pesangon pemutusan hubungan kerja yang dinilai merugikan pekerja.
Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi mengatakan skema baru itu sejalan dengan laporan World Bank yang mengutip data Sakernas BPS 2018, dimana berdasarkan laporan pekerja hanya 7 persen yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Betul-betul (aturan pesangon) ini merugikan buruh. Oleh karena itu, pemerintah memikirkan skema baru untuk membantu dan menutupi persoalan ini. Skema itu menggunakan asuransi," ujar Elen dalam rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja di Senayan, Jakarta, Minggu.
Dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada pasal tentang jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) tersebut dalam Undang-Undang 13/2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 18, dengan menyelipkan poin f yang sebelumnya belum pernah ada.
Elen menjelaskan bahwa isi poin f itu tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yaitu sebagai bentuk komitmen pemerintah agar buruh yang terkena PHK tidak terlalu lama mencari pekerjaan atau terlalu lama menyesuaikan dengan keadaan pekerjaan yang baru.
"Karena mungkin sifat pekerjaannya berbeda atau dia memerlukan sistem informasi atau fasilitasi untuk mendapatkan pekerjaan baru. Ini belum ada (dalam UU Ketenagakerjaan)," kata Elen.
Karena itu, dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengatur agar selama pekerja yang terkena PHK mencari pekerjaan, pemerintah harus menjamin hak hidupnya.
Hak hidup yang diberikan pemerintah dalam berbagai bentuk antara lain seperti transfer dana kas atau dana tunai perbulan sampai pekerja PHK memperoleh pekerjaan.
"Tadi pak Pimpinan (Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas) sudah sampaikan hitungan waktu berapa lama pemerintah harus menanggung pekerja PHK dalam skema asuransi ini? Kami tentu harus diskusikan lebih lanjut," kata Elen.
Hal itu menurut Elen, harus didiskusikan mengingat ada konsekuensi bahwa skema JKP akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar.
Selain transfer dana kas atau data tunai perbulan, dengan adanya JKP dalam RUU Omnibus Law membuat pemerintah harus juga menyiapkan pendidikan dan pelatihan (diklat) pekerja untuk meningkatkan skill dan kapasitas pekerja.
"Karena dia (pekerja) harus menyesuaikan dengan bentuk-bentuk pekerjaan yang baru. Apalagi kita (pemerintah dan DPR) telah sepakat, bahwa Indonesia sudah masuk industri 4.0," kata Elen.
Terakhir, dengan JKP dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja membuat pemerintah harus memfasilitasi pekerja mendapat informasi pekerjaan atau menyalurkan pekerja PHK kepada pekerjaan baru.
"Jaminan yang tidak ada sebelumnya ini ditambahkan sehingga melengkapi jaminan-jaminan sosial (bagi pekerja) yang sudah ada (sebelumnya). Apakah jaminan hari tua, jaminan kecelakaan dan jaminan kematian," kata Elen.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi mengatakan skema baru itu sejalan dengan laporan World Bank yang mengutip data Sakernas BPS 2018, dimana berdasarkan laporan pekerja hanya 7 persen yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Betul-betul (aturan pesangon) ini merugikan buruh. Oleh karena itu, pemerintah memikirkan skema baru untuk membantu dan menutupi persoalan ini. Skema itu menggunakan asuransi," ujar Elen dalam rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja di Senayan, Jakarta, Minggu.
Dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada pasal tentang jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) tersebut dalam Undang-Undang 13/2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 18, dengan menyelipkan poin f yang sebelumnya belum pernah ada.
Elen menjelaskan bahwa isi poin f itu tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yaitu sebagai bentuk komitmen pemerintah agar buruh yang terkena PHK tidak terlalu lama mencari pekerjaan atau terlalu lama menyesuaikan dengan keadaan pekerjaan yang baru.
"Karena mungkin sifat pekerjaannya berbeda atau dia memerlukan sistem informasi atau fasilitasi untuk mendapatkan pekerjaan baru. Ini belum ada (dalam UU Ketenagakerjaan)," kata Elen.
Karena itu, dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengatur agar selama pekerja yang terkena PHK mencari pekerjaan, pemerintah harus menjamin hak hidupnya.
Hak hidup yang diberikan pemerintah dalam berbagai bentuk antara lain seperti transfer dana kas atau dana tunai perbulan sampai pekerja PHK memperoleh pekerjaan.
"Tadi pak Pimpinan (Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas) sudah sampaikan hitungan waktu berapa lama pemerintah harus menanggung pekerja PHK dalam skema asuransi ini? Kami tentu harus diskusikan lebih lanjut," kata Elen.
Hal itu menurut Elen, harus didiskusikan mengingat ada konsekuensi bahwa skema JKP akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar.
Selain transfer dana kas atau data tunai perbulan, dengan adanya JKP dalam RUU Omnibus Law membuat pemerintah harus juga menyiapkan pendidikan dan pelatihan (diklat) pekerja untuk meningkatkan skill dan kapasitas pekerja.
"Karena dia (pekerja) harus menyesuaikan dengan bentuk-bentuk pekerjaan yang baru. Apalagi kita (pemerintah dan DPR) telah sepakat, bahwa Indonesia sudah masuk industri 4.0," kata Elen.
Terakhir, dengan JKP dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja membuat pemerintah harus memfasilitasi pekerja mendapat informasi pekerjaan atau menyalurkan pekerja PHK kepada pekerjaan baru.
"Jaminan yang tidak ada sebelumnya ini ditambahkan sehingga melengkapi jaminan-jaminan sosial (bagi pekerja) yang sudah ada (sebelumnya). Apakah jaminan hari tua, jaminan kecelakaan dan jaminan kematian," kata Elen.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020