Jayapura (ANTARA Bengkulu) - Dosen pascasarjana sosiologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Dr Mambraku Nomensen mengatakan sudah saatnya Pemerintah Pusat (Jakarta) dan Pemerintah Provinsi Papua menggelar diskusi terbuka dan intens terkait sejarah integrasi dan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut.
"Saya kira sudah seharusnya pihak Jakarta dan Papua membuka diri untuk menggelar diskusi bersama terkait sejarah integrasi yang sering diperdepatkan," kata Doktor Mambraku di Jayapura, Sabtu.
Ia menilai hingga saat ini masih ada kelompok di Papua dan Papua Barat yang mempertanyakan sejarah integrasi pada 1 Mei 1963 lewat berbagai cara baik aksi demo, membuat pernyataan di media massa dan yang paling ekstrim adalah mengibarkan bendera "Bintang Kejora".
"Tiap 1 Mei pasti ada saja kegiatan yang dilakukan di Papua terutama dari masyarakat Papua. Yang mana mereka inginkan ruang demokrasi untuk mengekspresikan pendapat mereka," katanya.
Sehingga, menurut Mambraku, pemerintah pusat sudah seharusnya membuka ruang demokrasi itu lewat diskusi yang mendalam terkait sejarah integrasi 1 Mei 1963 yang kerap menjadi polemik di tengah warga Papua.
"Jika ruang dialog tidak mendapat sambutan positif, ada baiknya gelar diskusi bersama. Pihak Pemerintah Pusat dan Papua harus duduk bersama para pejabat juga harus berani suarakan apa yang dirasakan oleh rakyat," katanya.
Mambraku juga berharap para pengambil kebijakan di Papua terutama putra asli bisa menyuarakan ini.
"Jangan karena sedang menduduki suatu jabatan, apa yang disuarakan oleh rakyat Papua terkait sejarah, para pejabat Papu takut menyampaikanya kepada Pemerintah Pusat," ujarnya.
Ia menambahkan, "saya bicara begini juga harus hati-hati, masih ada nasionalisme orang Papua abu-abu, iyakan? Kalau punya jabatan takut bicara ini barang (sejarah integrasi), tetapi setelah turun dari jabatan baru berani bicara, ini namanya idealisme abu-abu. Harus tegas," kata dosen yang menyelesaikan S1 sejarah di Uncen pada 1985 itu.
Mambraku mengungkapkan bahwa hal ini disampaikanya karena dia sebagai seorang akademisi, anak Papua dan sebagai warga negara Indonesia menginginkan pembangunan di daerah tersebut berjalan lancar.
"Saya bicara ini menyangkut kapasitas saya sebagai seorang akdemisi yang punya label sebagai orang Papua dan anak bangsa Indonesia. Mari kita diskusikan sejarah (integrasi) masa lalu dimasa kini untuk menciptakan sejarah masa yang akan datang lebih baik dan menguntungkan semua pihak," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
"Saya kira sudah seharusnya pihak Jakarta dan Papua membuka diri untuk menggelar diskusi bersama terkait sejarah integrasi yang sering diperdepatkan," kata Doktor Mambraku di Jayapura, Sabtu.
Ia menilai hingga saat ini masih ada kelompok di Papua dan Papua Barat yang mempertanyakan sejarah integrasi pada 1 Mei 1963 lewat berbagai cara baik aksi demo, membuat pernyataan di media massa dan yang paling ekstrim adalah mengibarkan bendera "Bintang Kejora".
"Tiap 1 Mei pasti ada saja kegiatan yang dilakukan di Papua terutama dari masyarakat Papua. Yang mana mereka inginkan ruang demokrasi untuk mengekspresikan pendapat mereka," katanya.
Sehingga, menurut Mambraku, pemerintah pusat sudah seharusnya membuka ruang demokrasi itu lewat diskusi yang mendalam terkait sejarah integrasi 1 Mei 1963 yang kerap menjadi polemik di tengah warga Papua.
"Jika ruang dialog tidak mendapat sambutan positif, ada baiknya gelar diskusi bersama. Pihak Pemerintah Pusat dan Papua harus duduk bersama para pejabat juga harus berani suarakan apa yang dirasakan oleh rakyat," katanya.
Mambraku juga berharap para pengambil kebijakan di Papua terutama putra asli bisa menyuarakan ini.
"Jangan karena sedang menduduki suatu jabatan, apa yang disuarakan oleh rakyat Papua terkait sejarah, para pejabat Papu takut menyampaikanya kepada Pemerintah Pusat," ujarnya.
Ia menambahkan, "saya bicara begini juga harus hati-hati, masih ada nasionalisme orang Papua abu-abu, iyakan? Kalau punya jabatan takut bicara ini barang (sejarah integrasi), tetapi setelah turun dari jabatan baru berani bicara, ini namanya idealisme abu-abu. Harus tegas," kata dosen yang menyelesaikan S1 sejarah di Uncen pada 1985 itu.
Mambraku mengungkapkan bahwa hal ini disampaikanya karena dia sebagai seorang akademisi, anak Papua dan sebagai warga negara Indonesia menginginkan pembangunan di daerah tersebut berjalan lancar.
"Saya bicara ini menyangkut kapasitas saya sebagai seorang akdemisi yang punya label sebagai orang Papua dan anak bangsa Indonesia. Mari kita diskusikan sejarah (integrasi) masa lalu dimasa kini untuk menciptakan sejarah masa yang akan datang lebih baik dan menguntungkan semua pihak," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013