Palu (ANTARA Bengkulu) - Bencana gempa bumi sering membuat warga panik karena guncangannya dikhawatirkan bisa meruntuhkan bangunan.

Bahkan kepanikan juga dituding sebagai penyebab banyaknya korban meninggal saat gempa bumi berkekuatan besar terjadi.

Saat panik, masyarakat berlarian ke luar bangunan dengan harapan bisa selamat jika gedung yang ditempatnya runtuh.

Namun yang terjadi adalah saat orang berlarian dan terkumpul di penghujung pintu keluar sehingga mempersulit jalan keluar sehingga tidak sempat menyelematkan diri.

Kondisi demikian seperti saat gempa bumi yang terjadi di Padang pada 2009.

Sesuai pedoman dan pelatihan penyelematan bencana, untuk menghindari jatuhnya banyak korban saat terjadi gempa bumi adalah dengan bersembunyi di bawah meja, ranjang atau benda lain yang sekiranya bisa melindungi dari reruntuhan bangunan bertingkat.

Kepala Stasiun Meteorologi Kota Palu Mudjiayanto baru-baru ini mengatakan jika masih ada waktu menyelematkan diri, segeralah berlari ke tanah lapang atau ke daerah yang di sekitarnya tidak ada bangunan tinggi untuk menghindari terkena runtuhan.

Dia juga mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak mudah termakan isu tsunami usai gempa bumi kuat terjadi.

Sebagai contoh, gempa bumi terjadi di Kota Palu 27 Januari 2006 dengan kekuatan 6,3 pada Skala Richter yang membuat ribuan warga Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah ini panik.

Saat itu ribuan warga Kota Palu berhamburan keluar rumah karena takut terjadi tsunami seperti yang terjadi di Aceh pada Desember 2004.

Berdasarkan catatan Stasiun Geofisika Kota Palu, gempa yang berkedalaman 10 kilometer itu berada di darat, yakni 40 kilometer arah barat daya Kota Palu jadi tidak menimbulkan tsunami.

Saat itu belum ada sistem peringatan dini yang mengumumkan adanya tsunami setelah beberapa detik gempa terjadi sehingga begitu ada hembusan isu tsunami warga langsung kalang kabut.

Gempa saat itu terjadi di pagi hari, dan warga belum berpikiran panjang jika ada tsunami menghadang. Tujuan saat itu hanya satu, yakni menjauh dari pantai.    

Masyarakat berbondong-bondong lari ke arah dataran yang lebih tinggi, padahal saat itu pusat gempa justru berada di darat dan berada di pegunungan.

Alih-alih menghindar dari pantai, orang-orang justru melarikan diri mendekat ke pusat gempa.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum yang menebar isu tsunami untuk menggasak harta benda milik warga yang meninggalkan rumahnya.

Saat itu sejumlah orang melaporkan bahwa rumahnya telah dimasuki pencuri.

Situasi serupa juga dilaporkan terjadi di Kabupaten Buol saat terjadi gempa bumi berkekuatan 7,9 Skala Richter pada November 2008.

Sejumlah gempa susulan saat itu terjadi sehingga warga Buol memilih tinggal di pengungsian yang berada di perbukitan untuk menghindari tsunami yang ternyata tidak terjadi.
   
Detektor Tsunami
Guna menghindari kejadian-kejadian tak diinginkan saat gempa bumi melanda, Stasiun Geofisika Palu saat ini telah memasang alat pendeteksi tsunami yang berada Taman GOR Palu di Jalan Mohammad Hatta.

Alat berupa menara setinggi lebih 10 meter itu akan mengeluarkan bunyi sirine beberapa detik setelah terjadi gempa bumi dengan kekuatan tertentu.

Bunyi sirine itu bisa terdengar hinga radius lebih tiga kilometer.

"Jadi letak alat detektor tsunami di Taman GOR itu adalah sudah tepat karena berada di pusat kota," kata Kepala Stasiun Geofisika Palu Mudjiayanto.

Dia menjelaskan, syarat terjadinya tsunami antara lain gempa bumi berkekuatan lebih dari enam skala Richter serta pusat gempa berada di laut dengan kedalaman kurang dari 10 kilometer.

Selain itu, katanya, jarak pusat gempa bumi ke daratan juga bisa mempengaruhi terjadinya tsunami.

Wilayah Sulawesi Tengah merupakan wilayah rawan gempa bumi karena dilalui sesar Palu-Koro yang membentang sepanjang hampir 800 kilometer di Selat Makassar.

Sesar Palu-Koro adalah satu dari tiga sesar paling aktif di Indonesia selain Sesar Sorong dan Sesar Sumatera.

Peneliti kebumian dan mitigasi bencana Universitas Tadulako (Untad) Palu Abdullah MT mengatakan Sesar Palu-Koro membujur dari Laut Sulawesi di bagian utara melewati lembah Palu dan lembah Koro, hingga bermuara di Teluk Bone bagian selatan dengan panjang lebih dari 500 kilometer.

Sementara sesar yang berada daratan dengan panjang mencapai 250 kilometer yang berada di wilayah pegunungan Kulawi, kabupaten Sigi.

Abdullah mengatakan, selama Sesar Palu-Koro berstatus aktif maka gempa bumi di sekitar jalur sesar tak terhindarkan.

Menurutnya, yang perlu dilakukan warga ketika gempa bumi terjadi adalah tidak panik dan mencari tempat aman dan terbuka.

Dia juga meminta pemerintah setempat untuk melakukan pelatihan mitigasi bencana secara rutin dan berkelanjutan agar masyarakat dan petugas tidak panik saat bencana melanda.

Wilayah Sulawesi Tengah sendiri, selain dikenal daerah rawan gempa juga potensial terjadi banjir dan tanah longsor mengingat daerah ini banyak terdapat pegunungan dan perbukitan.

"Gempa bumi juga bisa memicu tanah longsor," kata Abdullah.

Sementara itu, gempa bumi terakhir di Sulawesi Tengah terjadi pada 8 Februari 2012 yang melanda Kabupaten Donggala dengan kekuatan 5,0 pada Skala Richter. Gempa tersebut tidak menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.

Berdasarkan data Stasiun Geofiska Kota Palu, wilayah Sulawesi Tengah setiap bulannya rata-rata diguncang gempa bumi sebanyak 500 kali dengan kekuatan 1,0 hingga 5,9 pada Skala Richter.

Namun gempa bumi yang biasa dirasakan warga adalah yang berkekuatan di atas 4,0 Skala Richter.

Olehnya, alat detektor tsunami dinilai sangat penting guna menghindari kepanikan warga saat dan mengurangi jatuhnya korban saat terjadi gempa bumi. Masyarakat janganlah takut atau panik, yang dibutuhkan adalah berpikir secara sehat dan mencari tempat yang aman.

Gempa bumi yang sering terjadi di Sulawesi Tengah dirasa cukup untuk mengurangi kepanikan. (T.R026/A025)

Pewarta: Riski Maruto

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012