Nama Kelompok Pelestari Penyu Alun Utara di Desa Pekik Nyaring Kabupaten Bengkulu Utara, sudah cukup dikenal. Berdiri sejak tahun 2016, peletarian penyu berbasis keluarga ini juga melibatkan para pemuda untuk mencintai laut sebagai masa depan bangsa.
Ketua Kelompok Penyu Alun Utara Zulkarnedi menuturkan, dari 15 anggota kelompok yang berdiri secara swadaya itu, tujuh orang di antaranya adalah pemuda berusia 17-30 tahun. Ada yang masih duduk di bangku SMK, ada juga yang sudah bekerja sebagai nelayan.
Ketua pemuda di Alun Utara adalah Trio Irawan yang merupakan putra Zulkarnedi. Anggota yang lainnya ada Tomi Juliansyah, Nopriansyah, Andre, Otoy, Nasrul alias Inas dan Deri. Mereka tinggal di kawasan Pekik Nyaring.
“Para pemuda ini yang menjadi andalan kami untuk mengelola penangkaran penyu Alun Utara. Membersihkan bak, menambah pasir dan mengangkut air laut, juga mendampingi pengunjung yang ingin ikut serta melepasliarkan tukik ke laut,” ujar pria yang kerap disapa Zul itu.
Tujuh pemuda di Kelompok Pelestari Penyu Alun Utara juga melakukan patroli malam untuk menemukan sarang-sarang penyu. Mereka biasa menyisiri pantai dari kawasan Sungai Hitam yang tepat berbatasan dengan Kota Bengkulu, hingga ke arah Pantai Sungai Suci dengan radius 3-5 kilometer. Patroli untuk menemukan sarang penyu dilakukan berjalan kaki.
Menurut Zul, kurun lima tahun berdiri keberadaan Alun Utara sudah memberikan kontribusi bagi pemuda. Salah satunya dengan menjadi salah satu lokasi penelitian penyu bagi mahasiswa Ilmu Kelautan dari beberapa perguruan tinggi di Bengkulu.
Mahasiswa dan kelompok pelestari penyu mempelajari bagaimana proses mengerami telur penyu, merawat tukik, memberi makan, hingga melepasliarkan ke laut. Ilmu yang dimiliki Zul untuk menetaskan telur penyu diakuinya otodidak, dengan mempelajari dari sang kakek.
Pengetahuannya bertambah setelah difasilitasi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi untuk ikut pelatihan. Begitu pula dengan Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (PSPL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengajaknya ke Pantai Pangumbahan. Tepatnya di Konservasi Penyu Ujung Genteng, Zul belajar bagaimana mengelola kawasan konservasi penyu.
Selain itu, Alun Utara juga menjadi lokasi pelepasliaran penyu dalam acara atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemuda-pemudi Kabupaten Bengkulu Tengah. “Kalangan milenial diberdayakan untuk mempromosikan penangkaran penyu yang juga menjadi tempat wisata edukasi melalui media sosial,” kata Zulkarnedi.
Sejak berdiri sampai sekarang, Zul memperkirakan sudah ada lebih dari 7.000 tukik yang berhasil dientaskan. Sejak menjadi kelompok pelestari penyu binaan DKP Provinsi pada tahun 2018, ia mulai melakukan pendataan dan melapor secara berkala.
Tercatat, dalam kurun waktu 2018-September 2020, ada 3.389 telur berhasil menetas dari 5.000 telur yang diperoleh Zul dari patrol sarang dan tebus telur.
Kelompok Alun Utara juga menampung telur untuk menyelamatkan penyu dari kepunahan. Karena statusnya yang merupakan binaan DKP Provinsi, Zul yang memulai konservasi dengan merogoh kocek pribadi, kini mendapat subsidi tebus telur yang didanai APBD Provinsi.
Terdampak pandemi
Penangkaran penyu Alun Utara sudah memiliki bangunan permanen bantuan Loka PSPL KKP dan dana CSR dari sebuah perusahaan otomotif. Di awal tahun 2020, Zul optimistis penangkaran Alun Utara menjadi kawasan ekowisata yang bisa menarik pengunjung.
Sayangnya, pandemi COVID-19 pun datang. Kunjungan dari berbagai kalangan masyarakat maupun instansi menjadi terbatas, bahkan sempat terhenti. Seiring dengan pemberlakukan tatanan kehidupan baru, penangkaran penyu kembali dibuka untuk pengunjung walau belum bisa normal 100 persen.
Dampak lain pandemi yang dirasakan oleh penangkaran Alun Utara adalah dibatasinya bantuan tebus telur dari DKP Provinsi. Meski bantuan tebus telur penyu tidak dicoret sepenuhnya akibat refocusing, namun anggarannya jadi berkurang.
“Kalau tidak ada dana subsidi telur dari DKP, kami swadaya pakai dana pribadi. Hasil melaut dan jualan ikan di pasar kami sisihkan untuk menebus telur. Lalu ada juga donasi yang disumbangkan oleh pengunjung,” kata pria lulusan STM yang sejak kecil sudah ikut melaut bersama orangtuanya.
Sebutir telur penyu bisa dijual hingga Rp 10.000-Rp 12.000. Namun dia biasa membeli borongan Rp 6.000-Rp 8.000 per butir telur. Zul bisa membeli dengan harga lebih murah karena penemu telur kini enggan menjual secara terang-terangan di pinggir jalan.
Kondisi ini lebih baik dibandingkan lima tahun sebelumnya. Sepanjang jalan di Pekik Nyaring, ada banyak pedagang berjajar menjajakan telur penyu di pinggir jalan lintas barat yang menghubungkan Kota Bengkulu dengan Kabupaten Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara.
Sekarang, ujar Zul, sudah tidak ada lagi yang berani menjual di pinggir jalan, dan semakin banyak yang mengantarkan telur ke penangkaran penyu Alun Utara supaya bisa menetas.
Basri (56 tahun), nelayan Desa Pekik Nyaring mendukung adanya penangkaran penyu di lingkungan tempat tinggalnya. Kawasan yang dulunya hanya diwarnai aktivitas nelayan turun ke laut dan mendarat, kini mulai banyak didatangi pengunjung.
Sang nelayan mengemukakan, bila ada kegiatan kegiatan melepas penyu dari sejumlah instansi, maka warga diajak untuk membantu. Terdapat pula warga yang berjualan jajanan ringan di sela-sela kegiatan tersebut.
Selain itu, di Desa Pekik Nyaring, keberadaan pusat penangkaran penyu sekarang sudah dilengkapi aula bantuan pemerintah dan swasta, yang bermanfaat untuk kegiatan seperti pertemuan warga dan Posyandu.
Manfaat lainnya dari pelestari penyu Alun Utara, lanjut Basri, adalah sosialisasi terkait dilarangnya jual beli telur penyu sehingga saat melaut nelayan mendapat penyu, mereka sudah punya kesadaran melepas penyu ke laut. “Di sini sudah tidak ada lagi yang menangkap penyu,” tegas Basri.
Tidak semua nelayan sudah memahami dan merasakan peran penyu di lautan. Berbeda dengan Basri yang sudah mengetahui manfaat melestarikan penyu, Buyung Sabri, nelayan pantai Pasar Pedati Kabupaten Bengkulu Tengah mengungkapkan dirinya tidak merasakan dampak langsung aktivitas pelestarian.
Buyung juga berpendapat bahwa potensi mendapatkan ikan atau tidak bagi seorang nelayan, biasanya lebih tergantung kepada musimnya.
Peran pemda
Bagaimana halnya dengan peran Pemda dalam pelestarian penyu? Kepala DKP Kota Bengkulu Syafriandi mengakui pihaknya belum memiliki program dan anggaran khusus untuk pelestarian penyu. Terutama sejak pandemi COVID-19 melanda, kegiatan dan pelaksanaan anggaran dibatasi oleh refocusing.
Meski begitu, Syafriandi mengatakan, kolaborasi dan sinergi antara DKP Kota dengan pelestari penyu masih berlangsung dengan baik.
“Biasanya kami bersinergi dalam kegiatan aksi bersih dan penghijauan, membentuk Tim Laut untuk memonitoring kawasan terumbu karang. Sementara itu dulu kegiatan yang kami lakukan,” kata Syafriandi.
Pelestarian penyu juga mendapat dukungan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi. Kepala DKP Provinsi Bengkulu Sri Hartati menyatakan, setidaknya ada lima kelompok pelestari penyu berada dalam binaan DKP Provinsi. Tiga di antaranya sudah mendapat Surat Keputusan (SK) dari DKP terkait aktivitas pelestarian penyu, yakni kelompok Scube Kaur, Retak Ilir di Ipuh Kabupaten Mukomuko dan Pelestari Penyu Alun Utara.
Dua kelompok lainnya Komunitas Pencinta Alam Konservasi Penyu Mukomuko (KPAKPM) di Batu Kumbang Kabupaten Mukomuko dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Pondok Besi, sedang dalam proses. “Bedanya, jika sudah di-SK-kan, sudah bisa menerima bantuan dari DKP,” kata Sri Hartati.
Beragam bantuan yang diberikan DKP Provinsi seperti memberikan pengetahuan tambahan untuk pelestari penyu, memberikan subsidi biaya ganti telur penyu, memberikan bantuan sepeda motor operasional di penangkaran, alat GPS, motor operasional roda tiga untuk mengangkut pasir dan air laut, serta teropong malam untuk patroli.
*) Komi Kendy adalah salah satu pemenang Journalist FELLOWSEA (Kerja sama Lembaga Pendidikan ANTARA-Yayasan ECONUSA) untuk isu lautCOPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020