Timika (Antara Bengkulu) - Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme  meminta pemerintah melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat dalam proses renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia.

Direktur Eksekutif LEMASA Anton Alomang di Timika, Kamis, mengatakan selama ini masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika menjadi pihak yang paling dikorbankan akibat kontrak karya Freeport dengan pemerintah.

"Selama puluhan tahun Freeport menambang hasil kekayaan alam kami, tidak ada satu poin pun dalam kontrak karya yang mengatur soal hak-hak dasar masyarakat pribumi, khususnya Suku Amungme dan Kamoro," kata Anton.

Menurut dia, seharusnya Freeport sebagai salah satu perusahaan tambang emas dan tembaga terkemuka di dunia memberikan perhatian yang lebih besar kepada masyarakat asli dari dua suku itu.

Perhatian dari PT Freeport kepada masyarakat asli Suku Amungme dan Kamoro baru diberikan semenjak 1996 sampai saat ini dengan mengucurkan dana satu persen atau yang kini dinamakan dana kemitraan. Dana kemitraan dari PT Freeport untuk pemberdayaan masyarakat lokal tersebut dikelola oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK).

"Sampai tahun lalu LPMAK mengelola dana kemitraan dengan jumlah sekitar Rp340 miliar setahun. Baru tahun ini ada peningkatan menjadi sekitar Rp700 miliar setelah kami mengadakan pertemuan dengan James Moffet (Komisaris Freeport McMoRan selaku perusahaan induk PT Freeport Indonesia) di Singapura," jelas Anton.

Ia mengatakan, dana yang diberikan oleh Freeport melalui LPMAK selama ini belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat Amungme dan Kamoro.

"Sampai hari ini masyarakat Amungme dan Kamoro masih hidup di bawah garis kemiskinan. Karena itu pemerintah dan pihak Freeport harus melihat ini. Masyarakat adat harus mendapat porsi yang lebih besar jika proses renegosiasi kontrak karya PT Freeport berhasil. Suku Amungme dan Kamoro juga bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia yang lain," tegas Anton.

Proses renegosiasi kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia sampai saat ini masih terus berjalan.

Renegosiasi kontrak karya antara pemerintah dan Freeport membahas enam isu utama, yakni luas wilayah, perpanjangan kontrak, penerimaan negara termasuk royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian atau smelter, kewajiban divestasi, kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.

Pembahasan dilakukan dalam rapat kerja antara Tim Pemantau Otonomi Khusus Papua DPR, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua dan Papua Barat di Kompleks Parlemen Senayan pada Jumat (5/7).  

"Salah satunya, saat ini Freeport  baru melakukan pemrosesan terhadap tembaga dan emas sekian persen di sini dan kita inginkan 100 persen di Tanah Air kita.  Karena itu perintah undang-undang dan ini salah satu bagian dari pembicaraan," jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa yang juga menjabat Ketua Tim Negosiasi Kontrak Karya Freeport.

Hatta mengakui, pembicaraan terkait aspek-aspek lainnya sudah mengalami banyak kemajuan. Divestasi saham dan pengurangan lahan-lahan yang dikuasai Freeport, kata Hatta, semuanya telah disetujui.  Begitu pula dengan kenaikan royalti yang sebagian akan dibagi dengan pemerintah daerah. 

Khusus untuk divestasi, Hatta menyebut Freeport telah memberikan lampu hijau. "Termasuk IPO di Tanah Air kita dan itu memang kita minta.  Tentu itu adalah kepada Papua dan ini memang spirit kita," ujarnya. (Antara)

Pewarta: Oleh Evarianus Supar

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013