Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, pada pembukaan "Asia Conference on Oceans, Food Security and Blue Growth", di Bali Juni lalu berujar, Indonesia mendorong masuknya investasi di sektor kelautan dan perikanan yang bernafaskan "blue economy".
Tujuannya agar menciptakan produksi komoditas kelautan dan perikanan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Dan keberhasilan industrialisasi kelautan dan perikanan yang menerapkan konsep ekonomi biru, kata menteri, diyakini bisa mencapai ketahanan pangan dan mensejahterakan yang mendorong peran swasta dalam pembangunan ekonomi pro lingkungan melalui pengembangan bisnis dan investasi inovatif dan kreatif.
Gubernur Sinyo H Sarundajang juga memiliki konsep serupa. Bahkan konsep ekonomi biru atau "blue economy" menjadi jualan pada saat mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat.
Bagi mantan irjen departemen dalam negeri ini, daerah "nyiur melambai", sebutan Provinsi Sulawesi Utara memiliki pesisir dan laut yang luas, dan tiga kabupaten daerah kepulauan (Kepulauan Sitaro, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud) menyediakan potensi dan keanekaragaman hayati sektor kelautan sangat besar.
"Potensi yang cukup besar ini belum diekspolarasi dengan baik sebagaimana seharusnya. Padahal bila dikelola dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat," katanya.
Optimisme gubernur bukan tanpa dasar. Bila merujuk angka produksi perikanan yang dicatat Sulawesi Utara Dalam Angka 2011, produksi perikanan mencapai 220 760,1 ton atau meningkat 6.438,2 ton dibandingkan produksi tahun sebelumnya.
Total produksi ini terdistribusi hasil tangkapan ikan sebesar 218 542,5 ton, binatang berkulit keras 671,0 ton, binatang berkulit lunak 1.500,2 ton, binatang air lainnya sebanyak 40,5 ton, serta rumput laut 5,9 ton.
Dan Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Kepulauan Talaud, memberi andil cukup besar menopang produksi perikanan Sulawesi Utara masing-masing 140.551,7 ton, 17.465,4 ton, dan 8 271,2 ton.
Nilai produksinya mencapai Rp1,388 triliun lebih, dimana ikan sebesar Rp1,354 triliun, binatang berkulit keras Rp23,962 miliar, binatang berkulit lunak Rp10,062 miliar, binatang air lainnya Rp234,516 juta dan rumput laut Rp3,551 juta.
Kota Bitung menjadi penyumbang terbesar nilai produksi yakni Bitung Rp826,569 miliar, dimana perikanan sebesar Rp817,278 miliar, binatang berkulit keras Rp6,470 miliar, serta binatang berkulit lunak Rp2,820 miliar.
"Hari depan kita berada di lautan, pesisir dan kepulauan. Karena itu jaga potensi sumber sumber daya ikan, rumput laut, udang serta produk lainnya dari laut," harap gubernur.
Gubernur mengatakan, mengelola produksi perikanan bukan hanya sekedar menangkap ikan, tapi bagaimana industri pengelolaan memanfaatkan teknologi, sehingga menghasilkan produk berkwalitas dan siap ekspor.
Satu Kesatuan
Pada sisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) "Community Movement, Empowerment and Environment" (C-MORE) Sulawesi Utara, Boaz Wilar mengatakan, keberhasilan konsep "blue economy" tidak bisa dipisahkan dari kelestarian darat, pesisir dan laut sebagai satu kesatuan.
"Kita tidak bisa memastikan laut sehat apabila sampah atau limbah yang masuk ke laut tidak bisa dikendalikan. Begitupun dengan aktivitas merusak di pesisir seperti penebangan bakau dan perusakan terumbu karang sebagai cikal bakal tumbuh kembang ikan," katanya.
Apalagi kata dia, data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 319 hektare hutan bakau dari total luasan 29.652,36 hektare mengalami kerusakan.
Begitupun dengan terumbu karang. Dari total luasan 18.439,75 hektare, 8.325 hektare di antaranya dinyatakan rusak, sementara habitat padang lamun mengalami kerusakan sebesar 537 hektare dari total luasan 2.348,55 hektare.
"Hal ini harus menjadi kepedulian bersama. Apalagi konsep ekonomi biru tengah gencar-gencarnya diprogramkan kementerian kelautan dan perikanan," katanya.
Dia mengatakan, ekosistem bakau adalah ruang strategis yang harus dipertahankan karena menjadi tempat ikan bertelur, penyedia nutrisi, sebelum ke perairan bebas ketika tumbuh besar.
"Kalau ekosistem bakau rusak, ikan mau bertelur di mana? Sudah pasti efek domino akan terganggu. Hasil tangkapan ikan nelayan menjadi berkurang, industri perikanan secara perlahan akan tutup sehingga harapan kesejahteraan masyarakat jauh dari harapan," katanya.
Sisi lain, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Utara, Ronald Sorongan mengatakan, upaya rehabilitasi terhadap terumbu karang sebagai rumah ikan sudah mulai dilakukan.
Tokyo University dan Indonesia diwakili Bappeda Provinsi Sulawesi Utara, Universitas Sam Ratulangi, Univesitas Negeri Manado, Dinas Perikanan dan Kelautan sementara melakukan restorasi transplantasi terumbu karang yang dilakukan di perairan Taman Nasional Bunaken dan Likupang.
Transplantasi terumbu karang melalui pembiakan alami, kata dia, merupakan sebuah teknologi baru yang dilakukan Jepang dan diterapkan di Indonesia untuk memperbaiki kwalitas terumbu karang yang mengalami kerusakan.
"Tutupan terumbu karang dalam kondisi baik akan membantu ketersediaan pangan bagi masyarakat nelayan sekitar, sehingga kelestariannya harus tetap dijaga agar produksi ikan tidak berkurang," katanya.
Bahkan kata dia, sebagai bentuk komitmen pelestarian pesisir dan laut, di Sulawesi Utara akan dilaksanakan konferensi terumbu karang dunia (world coral reef conference) pada Mei 2014.
Dia mengatakan, konferensi ini akan menjadi poin evaluasi penadatanganan deklarasi penyelamatan segitiga terumbu karang dunia oleh enam negara yaitu Indonesia, Philipina, Papua Nugini, Singapura, Solomon Island dan Malaysia serta Timor Leste.
"Terumbu karang menjadi sumber bahan dan keamanan pangan. Dan saat ini sekitar 500 juta orang menggantungkan sumber pangannya dari terumbu karang," katanya.
Dia menambahkan, selain upaya penyelamatan ekositem laut, pemerintah provinsi terus membangun fasilitas perikanan di daerah kepulauan seperti "Solar Packed Dealer Nelayan" (SPDN), pabrik es dan "cold storages" di Pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Bahkan skala yang lebih besar, kata dia, dalam masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) koridor Sulawesi, khusus di Sulawesi Utara akan dibangun berbagai infrastruktur pembangunan seperti tol Manado-Bitung, perpanjangan landasan pacu bandara Sam Ratulangi dari 2.650 meter menjadi 3.000 meter.
Selain itu, pembangunan rel kereta api Bitung-Manado, peningkatan status pelabuhan Bitung menjadi pelabuhan internasional serta menunggu penetapan kawasan ekonomi khusus (KEK) Bitung, akan menjadi infrastruktur pendukung terwujudnya ekonomi biru, masa depan Sulawesi Utara. kita tunggu. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
Tujuannya agar menciptakan produksi komoditas kelautan dan perikanan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Dan keberhasilan industrialisasi kelautan dan perikanan yang menerapkan konsep ekonomi biru, kata menteri, diyakini bisa mencapai ketahanan pangan dan mensejahterakan yang mendorong peran swasta dalam pembangunan ekonomi pro lingkungan melalui pengembangan bisnis dan investasi inovatif dan kreatif.
Gubernur Sinyo H Sarundajang juga memiliki konsep serupa. Bahkan konsep ekonomi biru atau "blue economy" menjadi jualan pada saat mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat.
Bagi mantan irjen departemen dalam negeri ini, daerah "nyiur melambai", sebutan Provinsi Sulawesi Utara memiliki pesisir dan laut yang luas, dan tiga kabupaten daerah kepulauan (Kepulauan Sitaro, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud) menyediakan potensi dan keanekaragaman hayati sektor kelautan sangat besar.
"Potensi yang cukup besar ini belum diekspolarasi dengan baik sebagaimana seharusnya. Padahal bila dikelola dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat," katanya.
Optimisme gubernur bukan tanpa dasar. Bila merujuk angka produksi perikanan yang dicatat Sulawesi Utara Dalam Angka 2011, produksi perikanan mencapai 220 760,1 ton atau meningkat 6.438,2 ton dibandingkan produksi tahun sebelumnya.
Total produksi ini terdistribusi hasil tangkapan ikan sebesar 218 542,5 ton, binatang berkulit keras 671,0 ton, binatang berkulit lunak 1.500,2 ton, binatang air lainnya sebanyak 40,5 ton, serta rumput laut 5,9 ton.
Dan Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Kepulauan Talaud, memberi andil cukup besar menopang produksi perikanan Sulawesi Utara masing-masing 140.551,7 ton, 17.465,4 ton, dan 8 271,2 ton.
Nilai produksinya mencapai Rp1,388 triliun lebih, dimana ikan sebesar Rp1,354 triliun, binatang berkulit keras Rp23,962 miliar, binatang berkulit lunak Rp10,062 miliar, binatang air lainnya Rp234,516 juta dan rumput laut Rp3,551 juta.
Kota Bitung menjadi penyumbang terbesar nilai produksi yakni Bitung Rp826,569 miliar, dimana perikanan sebesar Rp817,278 miliar, binatang berkulit keras Rp6,470 miliar, serta binatang berkulit lunak Rp2,820 miliar.
"Hari depan kita berada di lautan, pesisir dan kepulauan. Karena itu jaga potensi sumber sumber daya ikan, rumput laut, udang serta produk lainnya dari laut," harap gubernur.
Gubernur mengatakan, mengelola produksi perikanan bukan hanya sekedar menangkap ikan, tapi bagaimana industri pengelolaan memanfaatkan teknologi, sehingga menghasilkan produk berkwalitas dan siap ekspor.
Satu Kesatuan
Pada sisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) "Community Movement, Empowerment and Environment" (C-MORE) Sulawesi Utara, Boaz Wilar mengatakan, keberhasilan konsep "blue economy" tidak bisa dipisahkan dari kelestarian darat, pesisir dan laut sebagai satu kesatuan.
"Kita tidak bisa memastikan laut sehat apabila sampah atau limbah yang masuk ke laut tidak bisa dikendalikan. Begitupun dengan aktivitas merusak di pesisir seperti penebangan bakau dan perusakan terumbu karang sebagai cikal bakal tumbuh kembang ikan," katanya.
Apalagi kata dia, data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 319 hektare hutan bakau dari total luasan 29.652,36 hektare mengalami kerusakan.
Begitupun dengan terumbu karang. Dari total luasan 18.439,75 hektare, 8.325 hektare di antaranya dinyatakan rusak, sementara habitat padang lamun mengalami kerusakan sebesar 537 hektare dari total luasan 2.348,55 hektare.
"Hal ini harus menjadi kepedulian bersama. Apalagi konsep ekonomi biru tengah gencar-gencarnya diprogramkan kementerian kelautan dan perikanan," katanya.
Dia mengatakan, ekosistem bakau adalah ruang strategis yang harus dipertahankan karena menjadi tempat ikan bertelur, penyedia nutrisi, sebelum ke perairan bebas ketika tumbuh besar.
"Kalau ekosistem bakau rusak, ikan mau bertelur di mana? Sudah pasti efek domino akan terganggu. Hasil tangkapan ikan nelayan menjadi berkurang, industri perikanan secara perlahan akan tutup sehingga harapan kesejahteraan masyarakat jauh dari harapan," katanya.
Sisi lain, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Utara, Ronald Sorongan mengatakan, upaya rehabilitasi terhadap terumbu karang sebagai rumah ikan sudah mulai dilakukan.
Tokyo University dan Indonesia diwakili Bappeda Provinsi Sulawesi Utara, Universitas Sam Ratulangi, Univesitas Negeri Manado, Dinas Perikanan dan Kelautan sementara melakukan restorasi transplantasi terumbu karang yang dilakukan di perairan Taman Nasional Bunaken dan Likupang.
Transplantasi terumbu karang melalui pembiakan alami, kata dia, merupakan sebuah teknologi baru yang dilakukan Jepang dan diterapkan di Indonesia untuk memperbaiki kwalitas terumbu karang yang mengalami kerusakan.
"Tutupan terumbu karang dalam kondisi baik akan membantu ketersediaan pangan bagi masyarakat nelayan sekitar, sehingga kelestariannya harus tetap dijaga agar produksi ikan tidak berkurang," katanya.
Bahkan kata dia, sebagai bentuk komitmen pelestarian pesisir dan laut, di Sulawesi Utara akan dilaksanakan konferensi terumbu karang dunia (world coral reef conference) pada Mei 2014.
Dia mengatakan, konferensi ini akan menjadi poin evaluasi penadatanganan deklarasi penyelamatan segitiga terumbu karang dunia oleh enam negara yaitu Indonesia, Philipina, Papua Nugini, Singapura, Solomon Island dan Malaysia serta Timor Leste.
"Terumbu karang menjadi sumber bahan dan keamanan pangan. Dan saat ini sekitar 500 juta orang menggantungkan sumber pangannya dari terumbu karang," katanya.
Dia menambahkan, selain upaya penyelamatan ekositem laut, pemerintah provinsi terus membangun fasilitas perikanan di daerah kepulauan seperti "Solar Packed Dealer Nelayan" (SPDN), pabrik es dan "cold storages" di Pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Bahkan skala yang lebih besar, kata dia, dalam masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) koridor Sulawesi, khusus di Sulawesi Utara akan dibangun berbagai infrastruktur pembangunan seperti tol Manado-Bitung, perpanjangan landasan pacu bandara Sam Ratulangi dari 2.650 meter menjadi 3.000 meter.
Selain itu, pembangunan rel kereta api Bitung-Manado, peningkatan status pelabuhan Bitung menjadi pelabuhan internasional serta menunggu penetapan kawasan ekonomi khusus (KEK) Bitung, akan menjadi infrastruktur pendukung terwujudnya ekonomi biru, masa depan Sulawesi Utara. kita tunggu. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013