Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta meyakini mantan Menteri Sosial Juliari Batubara memerintahkan pengumpulan "fee" ke para penyedia bansos sembako COVID-19 di Kementerian Sosial.
"Berdasarkan fakta di persidangan, perintah untuk mengumpulkan 'fee' adalah berasal dari terdakwa melalui saksi Kukuh Ary Wibowo sebagai tim teknis terdakwa kepada Adi Wayhono yang mana atas permintaan tersebut disampaikan Pepen Nazaruddin selaku Dirjen Linjamsos, Hartono selaku Sekjen Kemensos dan Matheus Joko Santoso selalu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk menindaklanjutinya," kata anggota majelis hakim Joko Subagyo di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Menurut hakim, saat pengadaan bansos sembako tahap III akan dimulai pada Mei 2020, Kabiro Umum Kemensos saat itu Adi Wahyono dipanggil oleh Juliari agar terhadap penyedia titipan terdakwa seperti PT Anomali Lumbung Artha agar tidak diminta komitmen feenya.
"Sehingga penerimaan dari Harry Van Sidabukke, Ardian Iskandar Maddanatja dan penyedia lainnya kepada Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono adalah atas perintah terdakwa sehingga sekalipun uang tersebut tidak diserahkan secara langsung kepada terdakwa tapi diterima oleh orang yang sebelumnya ditunjuk sebagai perwakilan terdakwa," ungkap hakim Joko.
Untuk menindaklanjuti perintah Juliari, Matheus Joko lalu minta fee kepada Harry Van Sidabukke sebesar Rp1,28 miliar atas ditunjuknya PT Pertani dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakilinya sebagai penyedia bansos sembako; kepada Ardian Iskandar Maddanatja sebesar Rp1,95 miliar setelah PT Tiga Pilar Agro ditunjuk sebagai penyedia dan penyedia lain sebesar Rp29,252 miliar.
"Terhadap pendapat penasihat hukum yang mengatakan bahwa tidak ada 'meeting of mind' antara terdakwa dengan penyedia, menurut pendapat majelis hakim, sekalipun terdakwa tidak berhubungan secara langsung dengan para penyedia atau pemberi uang tapi bila terdakwa sejak awal menyetujui adanya permintaan uang maka pada saat itu sudah ada meeting of mind pada terdakwa," jelas hakim Joko.
Terlebih berdasarkan fakta persidangan, Juliari bukan hanya menyetujui penerimaan uang melainkan memerintahkan "commitment fee" kepada Adi Wahyono untuk para penyedia kecuali penyedia yang merupakan titipan Juliari.
"Sejak awal terdakwa telah mengetahui adanya penerimaan tersebut berhubungan dengan rekomendasi penunjukan penyedia oleh terdakwa sekalipun para penyedia tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penyedia karena tidak memenuhi kualifikasi antara lain tidak memenuhi pengalaman di bidang sejenis dan tidak mempunyai kemampuan di bidang keuangan," tambah hakim Joko.
Menurut hakim, perbuatan Juliari untuk menunjuk nama perusahaan pengadaan bansos sembako dalam penanganan COVID-19 bukanlah kewajiban Juliari sebagai Menteri Sosial.
"Penunjukan nama perusahaan sesungguhnya bukanlah kewajiban yang melekat ke terdakwa khususnya sebagai Pengguna Anggaran karena sudah didelegasikan kepada Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen," ungkap hakim.
Lebih lanjut, majelis hakim menyebut Juliari jelas-jelas melakukan intervensi kepada tim teknis pengadaan bansos.
"Perbuatan terdakwa telah merekomendasikan dan mengarahkan perusahaan penyedia agar ditunjuk oleh PPK sebagai penyedia bansos sembako COVID-19 adalah bentuk intervensi sehingga tim teknis tidak bisa bekerja normal dan tidak melakukan seleksi di awal pengadaan meski perusahaan nyata-nyata tidak memenuhi syarat sebagai penyedia," kata hakim Joko.
Menteri Sosial 2019-2020 Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Juliari Batubara divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Juliari pun diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara.
Politikus PDIP tersebut juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
"Berdasarkan fakta di persidangan, perintah untuk mengumpulkan 'fee' adalah berasal dari terdakwa melalui saksi Kukuh Ary Wibowo sebagai tim teknis terdakwa kepada Adi Wayhono yang mana atas permintaan tersebut disampaikan Pepen Nazaruddin selaku Dirjen Linjamsos, Hartono selaku Sekjen Kemensos dan Matheus Joko Santoso selalu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk menindaklanjutinya," kata anggota majelis hakim Joko Subagyo di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Menurut hakim, saat pengadaan bansos sembako tahap III akan dimulai pada Mei 2020, Kabiro Umum Kemensos saat itu Adi Wahyono dipanggil oleh Juliari agar terhadap penyedia titipan terdakwa seperti PT Anomali Lumbung Artha agar tidak diminta komitmen feenya.
"Sehingga penerimaan dari Harry Van Sidabukke, Ardian Iskandar Maddanatja dan penyedia lainnya kepada Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono adalah atas perintah terdakwa sehingga sekalipun uang tersebut tidak diserahkan secara langsung kepada terdakwa tapi diterima oleh orang yang sebelumnya ditunjuk sebagai perwakilan terdakwa," ungkap hakim Joko.
Untuk menindaklanjuti perintah Juliari, Matheus Joko lalu minta fee kepada Harry Van Sidabukke sebesar Rp1,28 miliar atas ditunjuknya PT Pertani dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakilinya sebagai penyedia bansos sembako; kepada Ardian Iskandar Maddanatja sebesar Rp1,95 miliar setelah PT Tiga Pilar Agro ditunjuk sebagai penyedia dan penyedia lain sebesar Rp29,252 miliar.
"Terhadap pendapat penasihat hukum yang mengatakan bahwa tidak ada 'meeting of mind' antara terdakwa dengan penyedia, menurut pendapat majelis hakim, sekalipun terdakwa tidak berhubungan secara langsung dengan para penyedia atau pemberi uang tapi bila terdakwa sejak awal menyetujui adanya permintaan uang maka pada saat itu sudah ada meeting of mind pada terdakwa," jelas hakim Joko.
Terlebih berdasarkan fakta persidangan, Juliari bukan hanya menyetujui penerimaan uang melainkan memerintahkan "commitment fee" kepada Adi Wahyono untuk para penyedia kecuali penyedia yang merupakan titipan Juliari.
"Sejak awal terdakwa telah mengetahui adanya penerimaan tersebut berhubungan dengan rekomendasi penunjukan penyedia oleh terdakwa sekalipun para penyedia tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penyedia karena tidak memenuhi kualifikasi antara lain tidak memenuhi pengalaman di bidang sejenis dan tidak mempunyai kemampuan di bidang keuangan," tambah hakim Joko.
Menurut hakim, perbuatan Juliari untuk menunjuk nama perusahaan pengadaan bansos sembako dalam penanganan COVID-19 bukanlah kewajiban Juliari sebagai Menteri Sosial.
"Penunjukan nama perusahaan sesungguhnya bukanlah kewajiban yang melekat ke terdakwa khususnya sebagai Pengguna Anggaran karena sudah didelegasikan kepada Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen," ungkap hakim.
Lebih lanjut, majelis hakim menyebut Juliari jelas-jelas melakukan intervensi kepada tim teknis pengadaan bansos.
"Perbuatan terdakwa telah merekomendasikan dan mengarahkan perusahaan penyedia agar ditunjuk oleh PPK sebagai penyedia bansos sembako COVID-19 adalah bentuk intervensi sehingga tim teknis tidak bisa bekerja normal dan tidak melakukan seleksi di awal pengadaan meski perusahaan nyata-nyata tidak memenuhi syarat sebagai penyedia," kata hakim Joko.
Menteri Sosial 2019-2020 Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Juliari Batubara divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Juliari pun diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara.
Politikus PDIP tersebut juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021