Di balik tembok-tembok tinggi dan pagar yang tertutup rapat, Herry Wirawan memerkosa 21 santrinya selama 5 tahun tanpa diketahui warga di sekeliling pesantren, orang tua para santri, apalagi aparat penegak hukum.
Ia bebas melakukan aksinya hingga menghamili korbannya, mempekerjakan para santri mulai dari urusan administrasi sampai ke urusan pertukangan, dan tak lupa memanfaatkan korban serta anak-anak yang lahir sebagai alat mencari dana sumbangan.
Kekejian yang dilakukan oleh Hery Wirawan melampaui batas nalar manusia, tetapi itu terjadi karena pemerkosaan memang tidak pernah rasional.
Pemerkosaan selalu bekerja dengan logika kekuasaan, didukung oleh budaya, kebiasaan, dan hukum yang belum memihak kepada korban.
Jika mengamati kasus di Cibiru, pemerkosaan terjadi berulang kali dan tidak ada korban yang melapor ke orang tua apalagi kepolisian, karena mereka didoktrin untuk taat kepada gurunya.
Herry kepada para korbannya selalu mengatakan “kamu harus taat kepada guru”. Kalimat itu, meskipun sederhana, tapi memuat otoritas yang membuat para santri patuh dan pada akhirnya takut untuk melapor.
Perbuatan Herry baru diketahui kemudian ketika orang tua salah satu korban menemukan alat tes kehamilan saat dia pulang ke rumah. Dari temuan itu, orang tua korban melaporkan perbuatan Herry ke kepolisian.
Tidak hanya di Cibiru, hampir seluruh kasus pemerkosaan terlambat diketahui karena korban takut, ragu, atau enggan melapor.
Ketakutan itu salah satunya berakar pada relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban.
Tidak mudah bagi korban untuk mengatakan tidak, menolak saat diajak berhubungan badan, dan melaporkan kekejian yang mereka alami ke aparat penegak hukum, karena banyak pelaku menggunakan ancaman, manipulasi, sampai kekuatan fisik untuk mengendalikan korban.
Pelaku juga sering kali merupakan orang-orang yang secara struktural lebih dominan dibandingkan dengan korban, misalnya guru, atasan di kantor, suami, kakak kelas, tokoh-tokoh yang punya pengaruh di masyarakat, kepala sekolah, orang yang lebih dewasa/usianya lebih tua, atau orang yang fisiknya lebih kuat dibandingkan dengan korban.
Alhasil, ancaman pemerkosaan akan selalu ada. Di ruang-ruang yang privat seperti rumah, atau di sekolah, pesantren, di jalanan, dan berbagai tempat lainnya, tidak pernah benar-benar aman dari pemerkosa.
Hukum belum memihak
Meskipun ancaman hukuman terhadap pemerkosa mencapai 15-20 tahun penjara, tetapi hukum yang saat ini berlaku belum berpihak terhadap korban.
Keberpihakan hukum terhadap korban minimal ditunjukkan dengan aturan-aturan yang memudahkan mereka untuk melaporkan pemerkosaan dan aturan-aturan yang menjamin adanya pemulihan bagi korban.
Pasalnya, aturan yang saat ini berlaku hanya menjatuhkan hukuman terhadap pelaku, tetapi melupakan pentingnya adanya pemulihan korban dan rehabilitasi bagi pelaku.
Sejauh ini, hukuman untuk pemerkosaan diatur dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 285 KUHP, sementara jika korbannya adalah anak-anak maka aturan yang digunakan adalah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Untuk kasus di Cibiru, jaksa di persidangan mendakwa Herry dengan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Jo. Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
Namun, hukum masih belum sepenuhnya memastikan pemulihan bagi korban dan rehabilitasi bagi pelaku sehingga tak ada jaminan ketika dia selesai menjalani masa hukumannya, dia bukan lagi ancaman bagi masyarakat.
Tidak hanya itu, hukum yang berlaku saat ini juga belum memberi akses yang aman dan mudah bagi para korban serta pendampingnya untuk melaporkan pemerkosaan.
Berbagai stigma dan hambatan, terutama pada pembuktian masih dibebankan pada korban, terutama pada tahapan awal pelaporan.
Untuk melalui tahapan itu, sering kali mereka yang diperkosa menjadi korban untuk kesekian kalinya karena menerima pertanyaan-pertanyaan yang tidak sensitif terhadap trauma korban.
Tidak sulit untuk menemukan berita-berita yang menunjukkan kesulitan korban pemerkosaan melapor ke aparat penegak hukum.
Kasus di Riau dapat jadi salah satu contohnya.
Dua anggota Polsek Tambusai Utara, Riau, yang saat ini telah dimutasi, justru menghardik dan mengancam korban, Z (19), beserta keluarganya saat mereka melaporkan pemerkosaan. Z adalah seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban pemerkosaan beramai-ramai (gang rape) diduga oleh empat pria.
“Kau bawa itu besok, jangan salahkan aku. Ku tunggu kalian besok jam 08.00 WIB, lewat dari jam 10.00 WIB, ku buat kalian tersangkanya," kata salah satu penyidik ke korban dan keluarganya sebagaimana dikutip dari rekaman video yang kemudian viral di media sosial.
Dua penyidik yang mengancam korban memang telah dimutasi dan kasus Z saat ini telah diambil oleh Polda Riau.
Z juga telah mendapat pendampingan Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Riau.
Akan tetapi pertanyaannya, apakah korban harus menunggu kasusnya viral untuk mendapat perlakuan dan respon yang berpihak pada mereka? Apakah ada jaminan bahwa kasus yang dialami Z tidak terulang pada korban-korban pemerkosaan lainnya?
Tentu tidak ada jaminan, karena belum ada hukum yang benar-benar memberi akses yang mudah dan aman bagi korban untuk melaporkan kasus pemerkosaan.
Sahkan RUU TPKS
Oleh karena itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) jadi undang-undang merupakan agenda penting yang harus diperjuangkan bersama-sama oleh seluruh pihak.
Jika memang seluruh pihak, termasuk para wakil rakyat di DPR RI dan pemerintah, aparat penegak hukum, serta berbagai kelompok masyarakat peduli terhadap korban dan menginginkan pemerkosaan tak lagi berulang, maka mengesahkan RUU TPKS jadi UU jadi sebuah keniscayaan.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 8 Desember 2021 telah menyetujui RUU TPKS sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR RI. Dalam persidangan, tujuh fraksi menyetujui RUU TPKS, sementara Fraksi Golkar menilai perlu waktu untuk mendengar pendapat publik, dan Fraksi PKS menolak.
RUU TPKS merupakan satu-satunya rancangan undang-undang yang saat ini menjadi harapan karena beleid itu tidak hanya mengatur soal hukuman kepada pelaku, tetapi juga memuat berbagai ketentuan melindungi korban, antara lain mulai dari tahap awal pelaporan kasus sampai pendampingan dan pemulihan.
Komnas Perempuan telah mengadvokasi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (KS) ke DPR RI sejak 2010. Usulan draf RUU Penghapusan KS juga telah dibuat oleh Komnas Perempuan sejak 2014. Naskah akademik terkait RUU itu pun telah diserahkan oleh Komnas Perempuan ke DPR RI pada 2016.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kemudian beberapa kali masuk program legislasi nasional, tetapi kemudian ditunda pembahasannya karena berbagai macam alasan. RUU Penghapusan KS yang saat ini dikenal sebagai RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual kembali masuk Prolegnas Prioritas 2021, tetapi beberapa minggu menjelang akhir tahun, RUU itu baru disetujui oleh Baleg DPR RI sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR RI.
Tahapan berikutnya, DPR RI menunggu Presiden Joko Widodo mengirim Surat Presiden terkait RUU TPKS agar rancangan UU itu dapat segera dibahas bersama-sama dan disahkan.
Presiden, selang beberapa hari, menerbitkan Surat Presiden (Supres) Nomor 6/T Tahun 2021 yang isinya memerintahkan koordinasi antarkementerian dan/atau lembaga untuk mempercepat pembentukan rancangan Undang-Undang TPKS.
Tindak lanjut Surpres itu antara lain pembentukan Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS, yang dipimpin oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej.
Wamenkumham menyampaikan pihaknya akan terus mendukung dan berkoordinasi dengan Baleg DPR RI untuk mempercepat pengesahan RUU TPKS.
Respon pemerintah itu sejalan dengan harapan publik yang menghendaki pengesahan RUU TPKS.
Akan tetapi, pembentukan satuan tugas dan berbagai janji politik yang disampaikan ke publik oleh para politisi dan pejabat pemerintah hanya akan berbunyi nyaring jika ada kepastian kapan pembahasan RUU TPKS akan berlanjut dan kemudian disahkan jadi undang-undang mengingat pergantian tahun tinggal menghitung beberapa hari.
Jika tidak ada jaminan dan kepastian itu, maka ada kekhawatiran saat isu-isu pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya tidak lagi viral kemudian komitmen untuk mempercepat pengesahan RUU TPKS terancam memudar.
Semoga tidak demikian.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Ia bebas melakukan aksinya hingga menghamili korbannya, mempekerjakan para santri mulai dari urusan administrasi sampai ke urusan pertukangan, dan tak lupa memanfaatkan korban serta anak-anak yang lahir sebagai alat mencari dana sumbangan.
Kekejian yang dilakukan oleh Hery Wirawan melampaui batas nalar manusia, tetapi itu terjadi karena pemerkosaan memang tidak pernah rasional.
Pemerkosaan selalu bekerja dengan logika kekuasaan, didukung oleh budaya, kebiasaan, dan hukum yang belum memihak kepada korban.
Jika mengamati kasus di Cibiru, pemerkosaan terjadi berulang kali dan tidak ada korban yang melapor ke orang tua apalagi kepolisian, karena mereka didoktrin untuk taat kepada gurunya.
Herry kepada para korbannya selalu mengatakan “kamu harus taat kepada guru”. Kalimat itu, meskipun sederhana, tapi memuat otoritas yang membuat para santri patuh dan pada akhirnya takut untuk melapor.
Perbuatan Herry baru diketahui kemudian ketika orang tua salah satu korban menemukan alat tes kehamilan saat dia pulang ke rumah. Dari temuan itu, orang tua korban melaporkan perbuatan Herry ke kepolisian.
Tidak hanya di Cibiru, hampir seluruh kasus pemerkosaan terlambat diketahui karena korban takut, ragu, atau enggan melapor.
Ketakutan itu salah satunya berakar pada relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban.
Tidak mudah bagi korban untuk mengatakan tidak, menolak saat diajak berhubungan badan, dan melaporkan kekejian yang mereka alami ke aparat penegak hukum, karena banyak pelaku menggunakan ancaman, manipulasi, sampai kekuatan fisik untuk mengendalikan korban.
Pelaku juga sering kali merupakan orang-orang yang secara struktural lebih dominan dibandingkan dengan korban, misalnya guru, atasan di kantor, suami, kakak kelas, tokoh-tokoh yang punya pengaruh di masyarakat, kepala sekolah, orang yang lebih dewasa/usianya lebih tua, atau orang yang fisiknya lebih kuat dibandingkan dengan korban.
Alhasil, ancaman pemerkosaan akan selalu ada. Di ruang-ruang yang privat seperti rumah, atau di sekolah, pesantren, di jalanan, dan berbagai tempat lainnya, tidak pernah benar-benar aman dari pemerkosa.
Hukum belum memihak
Meskipun ancaman hukuman terhadap pemerkosa mencapai 15-20 tahun penjara, tetapi hukum yang saat ini berlaku belum berpihak terhadap korban.
Keberpihakan hukum terhadap korban minimal ditunjukkan dengan aturan-aturan yang memudahkan mereka untuk melaporkan pemerkosaan dan aturan-aturan yang menjamin adanya pemulihan bagi korban.
Pasalnya, aturan yang saat ini berlaku hanya menjatuhkan hukuman terhadap pelaku, tetapi melupakan pentingnya adanya pemulihan korban dan rehabilitasi bagi pelaku.
Sejauh ini, hukuman untuk pemerkosaan diatur dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 285 KUHP, sementara jika korbannya adalah anak-anak maka aturan yang digunakan adalah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Untuk kasus di Cibiru, jaksa di persidangan mendakwa Herry dengan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Jo. Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
Namun, hukum masih belum sepenuhnya memastikan pemulihan bagi korban dan rehabilitasi bagi pelaku sehingga tak ada jaminan ketika dia selesai menjalani masa hukumannya, dia bukan lagi ancaman bagi masyarakat.
Tidak hanya itu, hukum yang berlaku saat ini juga belum memberi akses yang aman dan mudah bagi para korban serta pendampingnya untuk melaporkan pemerkosaan.
Berbagai stigma dan hambatan, terutama pada pembuktian masih dibebankan pada korban, terutama pada tahapan awal pelaporan.
Untuk melalui tahapan itu, sering kali mereka yang diperkosa menjadi korban untuk kesekian kalinya karena menerima pertanyaan-pertanyaan yang tidak sensitif terhadap trauma korban.
Tidak sulit untuk menemukan berita-berita yang menunjukkan kesulitan korban pemerkosaan melapor ke aparat penegak hukum.
Kasus di Riau dapat jadi salah satu contohnya.
Dua anggota Polsek Tambusai Utara, Riau, yang saat ini telah dimutasi, justru menghardik dan mengancam korban, Z (19), beserta keluarganya saat mereka melaporkan pemerkosaan. Z adalah seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban pemerkosaan beramai-ramai (gang rape) diduga oleh empat pria.
“Kau bawa itu besok, jangan salahkan aku. Ku tunggu kalian besok jam 08.00 WIB, lewat dari jam 10.00 WIB, ku buat kalian tersangkanya," kata salah satu penyidik ke korban dan keluarganya sebagaimana dikutip dari rekaman video yang kemudian viral di media sosial.
Dua penyidik yang mengancam korban memang telah dimutasi dan kasus Z saat ini telah diambil oleh Polda Riau.
Z juga telah mendapat pendampingan Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Riau.
Akan tetapi pertanyaannya, apakah korban harus menunggu kasusnya viral untuk mendapat perlakuan dan respon yang berpihak pada mereka? Apakah ada jaminan bahwa kasus yang dialami Z tidak terulang pada korban-korban pemerkosaan lainnya?
Tentu tidak ada jaminan, karena belum ada hukum yang benar-benar memberi akses yang mudah dan aman bagi korban untuk melaporkan kasus pemerkosaan.
Sahkan RUU TPKS
Oleh karena itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) jadi undang-undang merupakan agenda penting yang harus diperjuangkan bersama-sama oleh seluruh pihak.
Jika memang seluruh pihak, termasuk para wakil rakyat di DPR RI dan pemerintah, aparat penegak hukum, serta berbagai kelompok masyarakat peduli terhadap korban dan menginginkan pemerkosaan tak lagi berulang, maka mengesahkan RUU TPKS jadi UU jadi sebuah keniscayaan.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 8 Desember 2021 telah menyetujui RUU TPKS sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR RI. Dalam persidangan, tujuh fraksi menyetujui RUU TPKS, sementara Fraksi Golkar menilai perlu waktu untuk mendengar pendapat publik, dan Fraksi PKS menolak.
RUU TPKS merupakan satu-satunya rancangan undang-undang yang saat ini menjadi harapan karena beleid itu tidak hanya mengatur soal hukuman kepada pelaku, tetapi juga memuat berbagai ketentuan melindungi korban, antara lain mulai dari tahap awal pelaporan kasus sampai pendampingan dan pemulihan.
Komnas Perempuan telah mengadvokasi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (KS) ke DPR RI sejak 2010. Usulan draf RUU Penghapusan KS juga telah dibuat oleh Komnas Perempuan sejak 2014. Naskah akademik terkait RUU itu pun telah diserahkan oleh Komnas Perempuan ke DPR RI pada 2016.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kemudian beberapa kali masuk program legislasi nasional, tetapi kemudian ditunda pembahasannya karena berbagai macam alasan. RUU Penghapusan KS yang saat ini dikenal sebagai RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual kembali masuk Prolegnas Prioritas 2021, tetapi beberapa minggu menjelang akhir tahun, RUU itu baru disetujui oleh Baleg DPR RI sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR RI.
Tahapan berikutnya, DPR RI menunggu Presiden Joko Widodo mengirim Surat Presiden terkait RUU TPKS agar rancangan UU itu dapat segera dibahas bersama-sama dan disahkan.
Presiden, selang beberapa hari, menerbitkan Surat Presiden (Supres) Nomor 6/T Tahun 2021 yang isinya memerintahkan koordinasi antarkementerian dan/atau lembaga untuk mempercepat pembentukan rancangan Undang-Undang TPKS.
Tindak lanjut Surpres itu antara lain pembentukan Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS, yang dipimpin oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej.
Wamenkumham menyampaikan pihaknya akan terus mendukung dan berkoordinasi dengan Baleg DPR RI untuk mempercepat pengesahan RUU TPKS.
Respon pemerintah itu sejalan dengan harapan publik yang menghendaki pengesahan RUU TPKS.
Akan tetapi, pembentukan satuan tugas dan berbagai janji politik yang disampaikan ke publik oleh para politisi dan pejabat pemerintah hanya akan berbunyi nyaring jika ada kepastian kapan pembahasan RUU TPKS akan berlanjut dan kemudian disahkan jadi undang-undang mengingat pergantian tahun tinggal menghitung beberapa hari.
Jika tidak ada jaminan dan kepastian itu, maka ada kekhawatiran saat isu-isu pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya tidak lagi viral kemudian komitmen untuk mempercepat pengesahan RUU TPKS terancam memudar.
Semoga tidak demikian.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021