Jakarta (Antara) - Jepang merupakan negara yang kerap dilanda bencana alam gempa bumi dan tsunami.

Masyarakat negeri sakura sudah "akrab" dan hidup harmonis dengan bencana. Mereka sangat siap ketika bencana datang, tidak perlu menunggu perintah mereka sudah melakukan evakuasi mandiri.

Ketika gempa bumi yang memicu tsunami, warga sudah langsung menuju ke tempat yang  tinggi untuk menghindari hantaman gelombang.

Pemerintah Jepang juga rutin melakukan simulasi bencana bagi warganya yang diikuti dengan sungguh-sungguh.

Bukan hanya warga yang siap dalam menghadapi bencana, tapi media massa di Jepang juga sudah siaga bahkan mereka mempunyai aturan dalam meliput pemberitaan bencana.

Misalnya seperti lembaga penyiaran publik NHK, dalam meliput bencana alam ada aturan tertentu dengan tujuan memberikan informasi kepada masyarakat guna mengurangi jumlah korban jiwa.

"Ada aturan liputan mulai dari sebelum bencana terjadi, saat bencana, setelah dan masa rehabilitasi," kata koresponden senior NHK Kenji Sugai pada pre summit workshop dalam Pertemuan Media Untuk Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana yang diadakan di Jakarta baru-baru ini.

Kenji menjelaskan, aturan sebelum bencana dengan tujuan mengurangi kerusakan maka media perlu menyiarkan peringatan dini segera mungkin dan evakuasi.

Pada saat bencana terjadi bertujuan mendukung operasi penyelamatan dengan mengumpulkan dan melaporkan informasi berdasarkan kerusakan.

Dia mencontohkan, seperti saat gempa bumi 11 Maret 2011 yang disusul tsunami, saat terjadi getaran gempa semua saluran akan berubah pada penyiaran darurat dan menginformasikan langsung ke masyarakat.

"Kita selalu memberikan informasi terbaru selama 24 jam non stop setiap hari," tambah Kenji.

Reporter Senior NHK Sayaka Irie mengatakan, saat terjadi gempa bumi, lembaga meteorogikal Jepang (JMA) langsung menginformasikan ke NKH lalu disiarkan ke masyarakat dalam waktu satu second.

"Prioritas utama adalah evakuasi. Informasi yang disampaikan bisa menyelamatkan jiwa,," ujar Sayaka.

    
Dukungan teknologi
Saat tsunami 2011 yang melanda Jepang, kita dapat melihat langsung melalui layar televisi gambar gelombang tinggi di laut yang akan menuju daratan.    

Gambar tersebut diambil dari helikopter yang terbang di atasnya secara "real time" dan memperlihatkan bagaimana tsunami menghantam daratan serta menghancurkan apa yang dilaluinya.

Jika dibandingkan dengan tsunami 2004 di Aceh, gambar di televisi merupakan hasil "shoot" dari warga bukan dari media. Media baru berhasil mengabadikan dampak dari tsunami setelah merusak kawasan pesisir Aceh.

Reporter NHK mendapat gambar gelombang tsunami tersebut dari kamera yang dipasang di badan helikopter.

"Kita menggunakan dua teknologi yaitu kamera berpengendali jarak jauh dan helikopter," kata Produser Berita NKH Ken Iizuka.

NHK memiliki 15 unit helikopter dilengkapi kamera anti getar dan pembesaran lensa sampai 42 kali juga antena transmisi di bagian depan dan belakang helikopter yang langsung menghubungkan ke "relay point".

Sedangkan kamera dengan pengendali jarak jauh tersebar di 500 titik seperti PLTN, bandara, pantai, gunung api, stasiun dan pelabuhan itu menggunakan tenaga matahari dan angin.

NHK adalah lembaga penyiaran publik yang sumber keuangannya dari iuran masyarakat yaitu mencapai 96 persen. NHK memiliki 54 stasiun penyiaran dan 14 stasiun cabang.

Untuk mendukung pemberitaan bencana saat tsunami 2011, NKH juga menurunkan 600 kru nya ke Tohoku, 12 helikopter dan 50 unit truk transmisi satelit (SNG).

"NKH bertanggung jawab untuk menyiarkan informasi yang berkontribusi untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi kehidupan," kata Ken Iizuka.

        
Peran media di Indonesia

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan, media massa mempunyai peran penting mendidik masyarakat.

"Media sebetulnya bisa memberikan informasi dan mendidik masyarakat supaya mereka mengerti mengenai bencana, misalnya El Nino betul-betul ditulis apa itu El Nino dan dampaknya," kata Andi.

Jika nanti dalam beberapa bulan ke depan El Nino yang diprediksi akan terjadi, masyarakat bisa mengantisipasi dampaknya.

Sebenarnya Indonesia sudah memiliki teknologi seperti sistem peringatan dini yang informasinya harus sampai kepada masyarakat.

Menurut Andi,  ada lima pilar yaitu pemerintah, swasta melalui tanggung jawab sosialnya untuk mendidik masyarakat, perguruan tinggi dan sekolah mengenai kurikulum bencana, institusi dan media.

"Pihak Jepang mengatakan seharusnya teknologi yang nomor satu. Memang benar tapi itu kalau semua fasilitas sudah ada, tapi kalau sekarang warga kita di Papua dan daerah terpencil harus pemerintah yang turun tangan," katanya.   ***3***

Pewarta: Desi Purnamawati

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014