Ratu Elizabeth, yang meninggal di Istana Balmoral, Inggris, Kamis (8/9), memecahkan rekor demi rekor sebagai pucuk pimpinan Kerajaan Inggris yang paling lama memerintah.

Ratu Elizabeth menjadi simbol abadi Inggris, yakni negara di mana dia memerintah selama 70 tahun bahkan ketika Inggris terus berubah, mulai kehilangan jati diri kerajaannya dan mengalami pergolakan sosial.

Beberapa komentator menggambarkan pemerintahan Ratu Elizabeth sebagai "zaman keemasan" yang mengingatkan pada masa Ratu Elizabeth I, yang memerintah Inggris 400 tahun yang lalu selama periode pertumbuhan kekuasaan dan perkembangan budaya.

"Saya pikir kami (masyarakat Inggris) dipandang sebagian melalui prisma sang ratu yakni dari konsistensi, kebijaksanaan yang telah ditunjukkannya, semua itu terlihat jelas dalam cara orang memandang Inggris," kata Valerie Amos, mantan politisi yang juga politisi kulit hitam pertama yang ditunjuk oleh kerajaan untuk "Orde Garter" kuno.

Yang lain mengatakan bahwa pengaruh ratu berusia 96 tahun itu terhadap bangsa Inggris kurang mendalam dibandingkan dengan leluhurnya yang termasyhur, di mana kekuasaan kerajaan telah menyusut sejak zaman Ratu Elizabeth I.

Beberapa kritikus berpendapat bahwa Ratu Elizabeth tidak meninggalkan bekas pemerintahan yang nyata, hanya sebuah institusi yang tidak sesuai untuk tujuan di dunia yang diwarnai dengan aspirasi egaliter, komentar media sosial yang tidak sopan dan pengawasan sepanjang waktu oleh outlet media terhadap anggota kerajaan.

Elizabeth naik takhta pada usia 25 tahun pada 6 Februari 1952, setelah kematian ayahnya George VI, ketika Inggris bangkit dari kehancuran Perang Dunia Kedua. Saat itu sistem penjatahan masih berlaku dan Winston Churchill menjabat perdana menteri.


Era Elizabeth II?
Elizabeth I menghabiskan 44 tahun di atas takhta pada abad ke-16, yakni suatu periode yang dianggap sebagai zaman keemasan Inggris ketika ekonomi bertumbuh, pengaruh negara berkembang dan William Shakespeare menulis naskah dramanya yang masih dimainkan di seluruh dunia dan dianggap sebagai drama yang paling berpengaruh dalam bahasa apapun.

"Beberapa orang telah menyatakan harapan bahwa pemerintahan saya dapat menandai era Elizabeth yang baru," kata Ratu Elizabeth II dalam siaran Natalnya pada 1953.

"Terus terang, saya sendiri sama sekali tidak merasa seperti leluhur Tudor saya yang hebat," ujarnya.

Karena tidak pernah memberikan kesempatan wawancara atau membuat pandangan pribadinya tentang masalah politik, penilaian Ratu Elizabeth II tentang pemerintahannya sendiri sulit dipastikan.

Kekuatan lembut
Secara konstitusional, ratu atau raja Inggris memiliki sedikit kekuatan praktis dan diharapkan untuk menjadi non-partisan . Para sejarawan mengatakan Elizabeth telah menggunakan kekuatan "lembut" dan menjadikan monarki Inggris sebagai titik fokus pemersatu bagi bangsa di tengah perpecahan masyarakat yang besar.

Kekuatan lembut itu dicontohkan Ratu Elizabeth II melalui siarannya untuk meyakinkan publik pada awal pandemi Covid-19. Selain segala keributan politik, sang ratu masih menyempatkan diri bertemu perdana menteri untuk suatu audiensi mingguan pribadi.
 

Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022