Setiap libur Natal dan tahun baru, Yosep Liku sekeluarga yang sudah 15 tahun bekerja dan tinggal di Jakarta selalu mudik ke Ternate, Maluku Utara, tempat orang tua dan keluarga besarnya menetap.
Kerinduan untuk merayakan Natal bersama orang tua dan keluarga besar serta melaksanakan misa Natal di Gereja Katolik Santo Willibrordus menjadi alasan utama Yosep sekeluarga selalu mudik ke Ternate setiap libur Natal dan tahun baru.
Yosep dan umat Katolik lainnya di Kota Ternate selalu terseret rasa rindu untuk melaksanakan misa Natal di Gereja Katolik Santo Willibrordus, karena tempat ibadah yang terletak di Jalan Salim Fabanyo Ternate itu merupakan gereja Katolik pertama dan tertua di Indonesia.
Tempat ibadah yang juga dikenal dengan nama Gereja Batu dibangun misionaris dari Portugis bernama Peter Fransiscus Xaverius yang datang ke Ternate bersamaan dengan kedatangan Portugis ke kota itu untuk menguasai perdagangan rempah Tahun 1515.
Bangunan gereja Santo Willibrordus tetap mempertahankan bentuk aslinya, bahkan khusus dindingnya yang terbuat dari susunan batu vulkanik Gunung Gamalama, belum pernah mengalami pemugaran sejak dibangun, karena masih tetap kokoh sampai saat ini.
Menurut pastur gereja Katolik Santo Willibrordus Titus Rahail, gereja itu telah ditetapkan pemerintah sebagai gedung cagar budaya, sehingga fungsinya tidak saja untuk tempat ibadah, tetapi juga untuk kepentingan ilmu pengetahuan, khususnya yang terkait dengan sejarah penyebaran Katolik di Ternate.
Di Gereja Katolik Santo Willibrordus itu tersimpan lonceng Maria, yang merupakan lonceng gereja tertua di Indonesia, bahkan ada yang menyebut sebagai salah satu tertua di dunia, yang dulunya merupakan penanda pelaksanaan ibadah di gereja itu.
Lonceng Maria yang kondisinya tetap terpelihara dengan baik itu dibuat oleh Pedro Fiaz Boccaro di Portugis Tahun 1603 dan kemudian dibawa ke Ternate untuk ditempatkan di Gereja Katolik Santo Willibrordus, yang kala itu menjadi pusat penyebaran Katolik di Ternate dan wilayah sekitarnya.
Ketika konflik sosial melanda Ternate dan kabupaten/kota lainnya di Maluku Utara pada 1990, menurut Titus Rahail, lonceng Maria itu sempat dicuri orang dan dijual kepada seorang kolektor benda antik di Surabaya.
Lonceng Maria itu kemudian dibeli seorang pengusaha di Jakarta, tetapi ketika mengetahui lonceng itu dicuri dari gereja Katolik Santo Wilibrordus, si pengusaha mengembalikannya dengan ikhlas tanpa menuntut ganti rugi.
Lonceng Maria dulunya digantung di atas Gereja Katolik Santo Wilibrordus, tetapi sekarang telah ditempatkan di salah satu ruangan di dalam gereja itu untuk memudahkan tamu atau wisatawan menyaksikannya, karena setiap tamu atau wisatawan, khususnya dari umat Katolik yang datang ke Ternate, selalu ingin melihat lonceng itu.
Toleransi
Keberadaan gereja Katolik Santo Wilibrordus di Ternate sejak abad ke-15 dan tetap terpelihara sampai saat ini menunjukkan Kesultanan Ternate dan masyarakatnya sejak zaman dahulu telah menerapkan prinsip toleransi dan keterbukaan terhadap agama di luar Islam yang menjadi agama di kesultanan itu.
Kesultanan Ternate dan masyarakatnya tidak mungkin mengizinkan penyebaran ajaran Katolik dan pembangunan gereja di wilayah Kesultanan Ternate, jika tidak memiliki sikap toleran dan keterbukaan terhadap agama di luar islam.
Apalagi, menurut Sultan Ternate Hidayatullah Mudaffar Sjah, Ternate saat itu merupakan kesultanan besar dan menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Indonesia Timur sampai ke Kalimantan dan bagian wilayah Selatan Filipina.
Ketika Portugis berhasil diusir dari Ternate setelah menjajah daerah itu lebih dari setengah abad, Kesultanan Ternate dan masyarakatnya tetap menunjukkan sikap toleran dan keterbukaan kepada para penganut Katolik yang tetap memilih menetap di Ternate.
Para penganut Katolik tetap diperlakukan dengan baik dan tidak dipaksa untuk kembali menganut Islam, begitu pula Gereja Katolik Santo Willibrordus yang dibangun misionaris dari Portugis tetap dibiarkan menjadi tempat ibadah umat Katolik. Bahkan, menurut Sultan Hidayat Mudafar Sjah, warga penganut Katolik yang menetap di Ternate, termasuk penganut Protestan yang dibawa Belanda saat menjajah daerah itu, tetap mendapat peran dalam berbagai kegiatan di Kesultanan Ternate.
Misalnya, ketika Sultan Ternate akan melaksanakan Shalat Idul Fitri di Masjid Kesultanan Ternate yang selalu diwarnai dengan prosesi mengusung Sultan Ternate di atas tandu dari kedaton ke masjid Kesultanan Ternate, yang memikul tandu Sultan adalah warga penganut Katolik atau Nasrani.
Konflik sosial berlatar belakang SARA di Ternate pada 1999 bukan pertanda bahwa masyarakat di daerah itu tidak lagi memiliki sikap toleran dan keterbukaan terhadap agama di luar Islam, karena hanya merupakan imbas dari konflik serupa yang terjadi di luar Ternate pada saat itu.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate Rustam P Mahli, Gereja Katlik Santo Willibrordus, termasuk keberadaan lonceng Maria di daerah itu, kini menjadi salah satu objek wisata religi yang diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Ternate.
Tempat ibadah lainnya di Kota Ternate yang menjadi objek wisata religi adalah masjid Kesultanan Ternate yang merupakan masjid tertua di Maluku Utara, gereja Ayam yang menjadi tempat ibadah umat Protestan dan lenteng Ibu Surya Agung yang dibangun sejak abad ke-17.
Keempat tempat ibadah yang menjadi objek wisata reliigi tersebut lokasinya saling berdekatan, sehingga wisatawan yang datang di Ternate dapat mengunjungi semuanya, walau hanya sehari berada di kota penghasil rempah itu.
Wali Kota Ternate Tauhid Soleman terus membangun semangat kebersaman antar-umat beragama, seperti pada perayaan Natal Tahun 2022 ini, ada organisasi keagamaan sama-sama menjaga suasana ibadah umat Kristiani selama pelaksanaan ibadah Natal di seluruh gereja di Ternate, berjalan dalam suasana aman dan damai.
Kota Ternate merupakan daerah Kesultanan Islam, selama ini merawat kehidupan keberagaman sejak dahulu kala, bisa menjaga kerukunan dan persaudaraan sejati.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merindukan misa Natal di Gereja Katolik tertua di Indonesia
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
Kerinduan untuk merayakan Natal bersama orang tua dan keluarga besar serta melaksanakan misa Natal di Gereja Katolik Santo Willibrordus menjadi alasan utama Yosep sekeluarga selalu mudik ke Ternate setiap libur Natal dan tahun baru.
Yosep dan umat Katolik lainnya di Kota Ternate selalu terseret rasa rindu untuk melaksanakan misa Natal di Gereja Katolik Santo Willibrordus, karena tempat ibadah yang terletak di Jalan Salim Fabanyo Ternate itu merupakan gereja Katolik pertama dan tertua di Indonesia.
Tempat ibadah yang juga dikenal dengan nama Gereja Batu dibangun misionaris dari Portugis bernama Peter Fransiscus Xaverius yang datang ke Ternate bersamaan dengan kedatangan Portugis ke kota itu untuk menguasai perdagangan rempah Tahun 1515.
Bangunan gereja Santo Willibrordus tetap mempertahankan bentuk aslinya, bahkan khusus dindingnya yang terbuat dari susunan batu vulkanik Gunung Gamalama, belum pernah mengalami pemugaran sejak dibangun, karena masih tetap kokoh sampai saat ini.
Menurut pastur gereja Katolik Santo Willibrordus Titus Rahail, gereja itu telah ditetapkan pemerintah sebagai gedung cagar budaya, sehingga fungsinya tidak saja untuk tempat ibadah, tetapi juga untuk kepentingan ilmu pengetahuan, khususnya yang terkait dengan sejarah penyebaran Katolik di Ternate.
Di Gereja Katolik Santo Willibrordus itu tersimpan lonceng Maria, yang merupakan lonceng gereja tertua di Indonesia, bahkan ada yang menyebut sebagai salah satu tertua di dunia, yang dulunya merupakan penanda pelaksanaan ibadah di gereja itu.
Lonceng Maria yang kondisinya tetap terpelihara dengan baik itu dibuat oleh Pedro Fiaz Boccaro di Portugis Tahun 1603 dan kemudian dibawa ke Ternate untuk ditempatkan di Gereja Katolik Santo Willibrordus, yang kala itu menjadi pusat penyebaran Katolik di Ternate dan wilayah sekitarnya.
Ketika konflik sosial melanda Ternate dan kabupaten/kota lainnya di Maluku Utara pada 1990, menurut Titus Rahail, lonceng Maria itu sempat dicuri orang dan dijual kepada seorang kolektor benda antik di Surabaya.
Lonceng Maria itu kemudian dibeli seorang pengusaha di Jakarta, tetapi ketika mengetahui lonceng itu dicuri dari gereja Katolik Santo Wilibrordus, si pengusaha mengembalikannya dengan ikhlas tanpa menuntut ganti rugi.
Lonceng Maria dulunya digantung di atas Gereja Katolik Santo Wilibrordus, tetapi sekarang telah ditempatkan di salah satu ruangan di dalam gereja itu untuk memudahkan tamu atau wisatawan menyaksikannya, karena setiap tamu atau wisatawan, khususnya dari umat Katolik yang datang ke Ternate, selalu ingin melihat lonceng itu.
Toleransi
Keberadaan gereja Katolik Santo Wilibrordus di Ternate sejak abad ke-15 dan tetap terpelihara sampai saat ini menunjukkan Kesultanan Ternate dan masyarakatnya sejak zaman dahulu telah menerapkan prinsip toleransi dan keterbukaan terhadap agama di luar Islam yang menjadi agama di kesultanan itu.
Kesultanan Ternate dan masyarakatnya tidak mungkin mengizinkan penyebaran ajaran Katolik dan pembangunan gereja di wilayah Kesultanan Ternate, jika tidak memiliki sikap toleran dan keterbukaan terhadap agama di luar islam.
Apalagi, menurut Sultan Ternate Hidayatullah Mudaffar Sjah, Ternate saat itu merupakan kesultanan besar dan menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Indonesia Timur sampai ke Kalimantan dan bagian wilayah Selatan Filipina.
Ketika Portugis berhasil diusir dari Ternate setelah menjajah daerah itu lebih dari setengah abad, Kesultanan Ternate dan masyarakatnya tetap menunjukkan sikap toleran dan keterbukaan kepada para penganut Katolik yang tetap memilih menetap di Ternate.
Para penganut Katolik tetap diperlakukan dengan baik dan tidak dipaksa untuk kembali menganut Islam, begitu pula Gereja Katolik Santo Willibrordus yang dibangun misionaris dari Portugis tetap dibiarkan menjadi tempat ibadah umat Katolik. Bahkan, menurut Sultan Hidayat Mudafar Sjah, warga penganut Katolik yang menetap di Ternate, termasuk penganut Protestan yang dibawa Belanda saat menjajah daerah itu, tetap mendapat peran dalam berbagai kegiatan di Kesultanan Ternate.
Misalnya, ketika Sultan Ternate akan melaksanakan Shalat Idul Fitri di Masjid Kesultanan Ternate yang selalu diwarnai dengan prosesi mengusung Sultan Ternate di atas tandu dari kedaton ke masjid Kesultanan Ternate, yang memikul tandu Sultan adalah warga penganut Katolik atau Nasrani.
Konflik sosial berlatar belakang SARA di Ternate pada 1999 bukan pertanda bahwa masyarakat di daerah itu tidak lagi memiliki sikap toleran dan keterbukaan terhadap agama di luar Islam, karena hanya merupakan imbas dari konflik serupa yang terjadi di luar Ternate pada saat itu.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate Rustam P Mahli, Gereja Katlik Santo Willibrordus, termasuk keberadaan lonceng Maria di daerah itu, kini menjadi salah satu objek wisata religi yang diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Ternate.
Tempat ibadah lainnya di Kota Ternate yang menjadi objek wisata religi adalah masjid Kesultanan Ternate yang merupakan masjid tertua di Maluku Utara, gereja Ayam yang menjadi tempat ibadah umat Protestan dan lenteng Ibu Surya Agung yang dibangun sejak abad ke-17.
Keempat tempat ibadah yang menjadi objek wisata reliigi tersebut lokasinya saling berdekatan, sehingga wisatawan yang datang di Ternate dapat mengunjungi semuanya, walau hanya sehari berada di kota penghasil rempah itu.
Wali Kota Ternate Tauhid Soleman terus membangun semangat kebersaman antar-umat beragama, seperti pada perayaan Natal Tahun 2022 ini, ada organisasi keagamaan sama-sama menjaga suasana ibadah umat Kristiani selama pelaksanaan ibadah Natal di seluruh gereja di Ternate, berjalan dalam suasana aman dan damai.
Kota Ternate merupakan daerah Kesultanan Islam, selama ini merawat kehidupan keberagaman sejak dahulu kala, bisa menjaga kerukunan dan persaudaraan sejati.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merindukan misa Natal di Gereja Katolik tertua di Indonesia
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022