Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud MD meminta pemindahan (relokasi) warga yang terdampak pengosongan lahan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, jangan memakai kekerasan.

“Pemindahannya kemana (nanti), dan jangan sampai menggunakan kekerasan kecuali dalam keadaan gawat,” kata Mahfud MD menjawab pertanyaan wartawan saat dia ditemui di Jakarta, Jumat.

Mahfud menyarankan saat ini pemegang hak atas tanah, investor, dan warga yang terdampak perlu membahas soal relokasi dan uang kerahiman.

Baca juga: Petugas gabungan terlibat bentrok dengan warga di Pulau Rempang

“Tinggal sekarang perlu mungkin uang kerahiman, bukan uang ganti rugi, karena mereka memang tidak berhak. Uang kerahiman ini dan bagaimana memindahkannya, ini yang mungkin perlu didiskusikan antara pemegang hak bersama investor dan rakyat setempat. Menurut saya, itu lebih bagus,” kata Menkopolhukam RI.

Dalam kesempatan yang sama, dia menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.

“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” kata Mahfud MD.

Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain.

Baca juga: Polisi tangkap 8 orang saat bentrokan di Pulau Rempang

“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.

Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022.

“Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD.


Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.

“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, saat ditanya mengenai status tanah yang kemungkinan merupakan tanah ulayat, Mahfud mengaku tidak mengetahui itu.

“Gak tahu saya. Gak tahu. Pokoknya proses itu secara sah sudah dikeluarkan oleh pemerintah,” kata Mahfud MD.

Jika memang ada tanah ulayat di Pulau Rempang, Mahfud menyebut kemungkinan datanya ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pewarta: Genta Tenri Mawangi

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023