Bengkulu (Antara) - Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dari Kelompok Kepentingan Nelayan, Bibik Nurudduja mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan harus memperkuat peran perempuan nelayan yang selama ini cenderung terpinggirkan.
Saat dialog publik tentang RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Provinsi Bengkulu, Bibik mengatakan bahwa perempuan belum menjadi subjek dari regulasi tersebut.
"Perempuan masih dipandang sebagai subordinat atau belum menjadi subjek sehingga mereka sulit mengembangkan diri dan kelompoknya," kata Bibik di Bengkulu, Kamis.
Ia mengatakan dari studi yang dilakukan di tingkat kelompok nelayan di berbagai wilayah di Nusantara, KPI merumuskan posisi dan rekomendasi mulai dari definisi nelayan hingga jenis ikan yang ditangkap nelayan.
Nelayan dalam RRU tersebut memiliki pengertian sebagai warga negara Indonesia perseorangan yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, meliputi nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh dan nelayan pemilik.
Adapun pengertian ikan yang dimaksud dalam tangkapan nelayan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada dalam lingkup perairan, termasuk jenis udang, rajungan dan kepiting.
"Karena banyak perempuan nelayan yang melakukan pekerjaan mencari kerang dan kepiting sehingga mereka masuk dalam definisi nelayan itu," ucapnya.
Definisi yang memberikan pengakuan terhadap perempuan tersebut menurut dia akan mempermudah akses perempuan untuk penghidupan layak dan peningkatan kemampuan, kapasitas dan kelembagaan perempuan nelayan.
Bibik menambahkan bahwa KPI juga merekomendasikan empat rumusan dalam RUU yang sudah masuk dalam program legislasi nasional pada 2016 tersebut yakni pilar sosial yang mencakup pendidikan, kesehatan dan layanan publik serta pencegahan dan penanggulangan masalah-masalah sosial.
Pilar kedua adalah ekonomi yang mencakup peningkatan kapasitas produksi dan daya saing, permodalan dan tata niaga yang adil. Ketiga, pilar lingkungan hidup yang mencakup pengelolaan dan eksplorasi lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan.
Adapun pilar keempat yakni tata kelola yang mencakup penyediaan kerangka regulasi, penyediaan kerangka pendanaan, siklus perencanaan, tata kelola yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Sekretaris KPI Wilayah Provinsi Bengkulu, Irna Riza Yuliastuti mengatakan bahwa hasil temuan di pesisir Bengkulu, perempuan nelayan masih kesulitan mengakses penghidupan yang layak mulai dari akses kesehatan, pendidikan hingga permodalan.
"Rangkuman dari dialog publik ini akan menjadi masukan untuk memperkuat peran perempuan nelayan dari RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan," katanya.
Para pihak yang turut dalam dialog tersebut mulai dari dinas instansi terkait, kelompok nelayan dan perwakilan masyarakat sipil.***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015
Saat dialog publik tentang RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Provinsi Bengkulu, Bibik mengatakan bahwa perempuan belum menjadi subjek dari regulasi tersebut.
"Perempuan masih dipandang sebagai subordinat atau belum menjadi subjek sehingga mereka sulit mengembangkan diri dan kelompoknya," kata Bibik di Bengkulu, Kamis.
Ia mengatakan dari studi yang dilakukan di tingkat kelompok nelayan di berbagai wilayah di Nusantara, KPI merumuskan posisi dan rekomendasi mulai dari definisi nelayan hingga jenis ikan yang ditangkap nelayan.
Nelayan dalam RRU tersebut memiliki pengertian sebagai warga negara Indonesia perseorangan yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, meliputi nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh dan nelayan pemilik.
Adapun pengertian ikan yang dimaksud dalam tangkapan nelayan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada dalam lingkup perairan, termasuk jenis udang, rajungan dan kepiting.
"Karena banyak perempuan nelayan yang melakukan pekerjaan mencari kerang dan kepiting sehingga mereka masuk dalam definisi nelayan itu," ucapnya.
Definisi yang memberikan pengakuan terhadap perempuan tersebut menurut dia akan mempermudah akses perempuan untuk penghidupan layak dan peningkatan kemampuan, kapasitas dan kelembagaan perempuan nelayan.
Bibik menambahkan bahwa KPI juga merekomendasikan empat rumusan dalam RUU yang sudah masuk dalam program legislasi nasional pada 2016 tersebut yakni pilar sosial yang mencakup pendidikan, kesehatan dan layanan publik serta pencegahan dan penanggulangan masalah-masalah sosial.
Pilar kedua adalah ekonomi yang mencakup peningkatan kapasitas produksi dan daya saing, permodalan dan tata niaga yang adil. Ketiga, pilar lingkungan hidup yang mencakup pengelolaan dan eksplorasi lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan.
Adapun pilar keempat yakni tata kelola yang mencakup penyediaan kerangka regulasi, penyediaan kerangka pendanaan, siklus perencanaan, tata kelola yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Sekretaris KPI Wilayah Provinsi Bengkulu, Irna Riza Yuliastuti mengatakan bahwa hasil temuan di pesisir Bengkulu, perempuan nelayan masih kesulitan mengakses penghidupan yang layak mulai dari akses kesehatan, pendidikan hingga permodalan.
"Rangkuman dari dialog publik ini akan menjadi masukan untuk memperkuat peran perempuan nelayan dari RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan," katanya.
Para pihak yang turut dalam dialog tersebut mulai dari dinas instansi terkait, kelompok nelayan dan perwakilan masyarakat sipil.***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015