Jika dilihat di beberapa tempat, ada jamaah keleleran (terlantar), berarti itu mereka, kata Kepala Daerah Kerja Madinah, Subakin Abdul Muthalib, pada musim haji 2010.
         
Tak hanya itu, para jamaah tersebut biasanya juga merepotkan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi. Ketika para jamaah itu ada yang sakit, pasti mereka banyak yang datang ke kantor Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI). Tapi, yang bingung kalau tersesat, petugas tak bisa mengembalikan ke pemondokan karena mereka tidak punya penginapan pasti.
         
Dirjen PHU Slamet Riyanto mengatakan, persoalan jamaah nonkuota atau biasa pula disebut "sandal jepit" itu bukan menjadi domain pemerintah Indonesia. Karena itu, ia meminta agar pergi haji melalui prosedur yang benar. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari persoalan-persoalan yang menyangkut jamaah ketika berada di Arab Saudi.
         
"Kita juga sudah mengantisipasi dalam pelaksanaannya nanti supaya jangan sampai tenda-tenda kita dimasukkan jamaah nonkuota," tegas Slamet.
         
Munculnya jamaah nonkuota -- belakangan lebih banyak disebut "sandal jepit" -- ini diawali dari banyaknya jamaah haji yang menjadi waiting list (calon jamaah haji daftar tunggu). Bagi mereka yang tidak ingin menunggu, mengambil jalan pintas agar cepat berangkat melalui perantaraan orang lain. Mereka tak melalui pendaftaran di Kementerian Agama, sehingga nama mereka tidak terdaftar baik pada jamaah haji regular maupun jamaah khusus.
         
Biasanya, para jamaah "sandal jepit" ini diurus para mukimin asal Indonesia yang sudah tinggal bertahun-tahun di Arab Saudi. Mereka pun nekat berangkat karena menganggap ada yang mengurusi selama di Tanah Suci.
    
                            Sangat ganggu
    
Menteri Agama H Suryadharma Ali pernah mengatakan keberadaan jamaah haji nonkloter atau "sandal jepit" sangat mengganggu konsentrasi petugas haji, bahkan dapat menurunkan citra penyelenggaraan haji Indonesia.
         
Keberadaan jamaah nonkuota telah mencoreng citra bangsa Indonesia. Kejelekan yang mereka sandang, berdampak pada citra haji Indonesia. Karena mereka dari Indonesia, maka orang lain menilai penyelenggaraan haji Indonesia kurang baik. Oleh karena itu, ke depan harus ditekan, syukur-syukur bisa kita nol kan?, kata Menag.
        
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi diminta untuk segera menghentikan praktik pemberian visa untuk haji di luar kuota, kata Ketua Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Mayjen (Purn) Kurdi Mustofa, di tempat terpisah.
        
Kurdi mengungkapkan seharusnya visa nonkuota diberikan hanya untuk warga Negara Indonesia (WNI) yang harus pergi ke Saudi dalam musim haji karena penugasan khusus.
        
"Sebaiknya dihentikanlah, karena haji nonkuota saat berangkat ke Saudi, yang kena juga Pemerintah RI," ujar Kurdi.
         
Kurdi menduga ada oknum di Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi yang terlibat saat mengurus visa yang berada di luar jamaah haji khusus dan reguler tersebut. Sehingga, meski Pemerintah Saudi sudah menetapkan kuota sebanyak 220.000 orang untuk musim ini, visa tersebut bisa keluar.
         
Menurut purnawirawan TNI-AD itu, memang banyak perusahaan biro perjalanan haji dan umrah yang memiliki akses untuk mengurus haji nonkuota tersebut. Perusahaan inilah yang disebut memiliki akses ke dalam lingkungan Kedubes Saudi.
        
Sehingga banyak jamaah yang memercayakan keberangkatannya meski melalui visa haji nonkuota.
        
"Beruntung kalau perusahaannya bagus dan masih bisa menjamin akomodasi selama di sana. Kalau tidak kan kasihan," kata Kurdi.
         
Oleh karena itu, Kurdi meminta Pemerintah Kerajaan Saudi agar mengevaluasi Kedutaan Besarnya di Indonesia dalam mengeluarkan visa haji nonkuota. Sebaiknya, visa nonkuota hanya diberikan untuk warga yang memang memiliki tugas pada musim haji kali ini, seperti anggota DPRI, BPKP, BPK, atau petugas KPK.
         
Dengan demikian, semua jamaah haji pun dapat terurus di Tanah Suci karena sudah terdata oleh Kementerian Agama. Untuk mengatasi ini, harus ada solusi tepat.
         
Semua pemangku kepentingan harus memiliki visi yang sama. Pemerintah Arab Saudi, dalam hal ini melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta perlu memiliki pemahaman yang sama.
         
Pihak kedutaaan adalah pemegang otoritas yang mengeluarkan visa haji. Untuk ini, harus dipahami bahwa ada aturan yang dipegang pemerintah bahwa untuk menunaikan ibadah haji perlu rekomendasi dari Kementerian Agama.
          
Jadi, kedua belah pihak harus membangun visi yang sama dalam penyelenggaraan ibadah haji. Seluruh calon jemaah haji masuk ke tanah suci harus legal, sehingga ketika berada di Arab dalam menunaikan ibadah haji ada yang bertanggung jawab.
          
Akibat visa resmi haji yang diperoleh tanpa mengindahkan aturan di Kementerian Agama, yang bersangkutan keleleran di Arab Saudi. Buntutnya, menjadi beban bagi PPIH dan merusak citra Indonesia. Pemerintah Arab Saudi ikut menanggungnya pula, seperti masalah kesehatan jika terjadi kasus kematian dan sebagainya. ***

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012