Jakarta (Antara) - KPK menggali proses suap-menyuap yang diduga dilakukan oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Bengkulu Janner Purba dan Toton dari keterangan panitera Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu Zailani Syihab.

"Saya dimintai keterangan sebagai saksi atas OTT (Operasi Tangkap Tangan) 2 orang hakim Tipikor bengkulu, satu Pak Janner Purba, dua Pak Toton dan panitera pengganti Badaruddin Bachsin. Saya ditanya mengenai peristiwa itu, masalah suap-menyuap itu, tetapi saya tidak tahu peristiwa itu, saya tahu setelah peristiwa itu terjadi. Waktu sebelum terjadi saya tidak tahu," kata Zailani usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Senin.

Zailani menjadi saksi dalam penyidikan perkara dugaan penerimaan suap untuk mempengaruhi putusan terkait kasus Tipikor penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD Bengkulu tahun 2011.

Namun menurut Zailani ia tidak mengetahui mengenai proses suap-menyuap tersebut, ia pun mengaku tidak kenal dengan dua tersangka penyuap hakim yaitu mantan Kepala Bagian Keuangan rumah sakit Muhammad Yunus Syafri Syafii dan mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Muhammad Yunus Edi Santroni.

"Memang saya ditanya (transaksi suap-menyuap) itu tapi saya tidak tahu itu, bagaimana terjadinya saya tidak tahu, saya tahu setelah OTT. Saya benar-benar tidak kenal Syafri dan Edi," ungkap Zailani.

Ia hanya menjelaskan bahwa penyidik menanyakan 19 pertanyaan termasuk kewenangannya dalam mengurus administrasi suatu perkara, tapi tidak ikut serta dalam musyawarah hakim dalam membuat putusan.

"Saya sebagai panitera pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Bengkulu, jadi ditanya sehubungan dengan tugas saya sebagai panitera. Tapi panitera tidak ikut campur musyawarah hakim untuk memutus perkara," tegas Zailani.

Selain Zailani, pada hari ini KPK juga memeriksa  staf perdata pada PN Bengkulu Joni Aprizal, penasihat hukum A Yamin, jaksa bernama Novita, seorang pihak swasta Idram Kholik serta supir Hendriansyah.

Novita usai diperiksa juga enggan menjelaskan pemeriksaannya.

"Soal persidangan saja, itu saja," kata Novita singkat.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang tersangka yaitu Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Janner Purba, hakim ad hoc PN kota Bengkulu Toton, panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, mantan Kepala Bagian Keuangan rumah sakit Muhammad Yunus Syafri Syafii, mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Muhammad Yunus Edi Santroni.

Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap lima orang tersebut pada Senin (23/5) di beberapa lokasi di Kepahiang Bengkulu. Dalam OTT tersebut KPK menyita uang sebesar Rp150 juta yang diberikan oleh Syafri kepada Janner setelah sebelumnya Edi memberikan Rp500 juta kepada Janner pada 17 Mei 2016 sehingga total uang yang sudah diterima Janner sekitar Rp650 juta.

KPK menduga uang Rp650 juta tersebut diberikan agar majelis hakim yang dipimpin oleh Janner Purba dengan anggota majjelis Toton dan Siti Ansyiria membebaskan Edi dan Syafri selaku terdakwa yang masing-masing dituntut 3,5 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu Muhammad Yunus. Vonis kasus itu rencananya akan dibacakan pada Selasa (24/5).

Kasus tersebut berawal dari Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor Z. 17 XXXVIII Tahun 2011 Tentang Tim Pembina Manajemen RSMY mengenai honor tim pembina RSUD M Yunus termasuk honor gubernur Bengkulu saat itu Junaidi Hamsyah.

Padahal SK itu bertentangan dengan Permendagri No. 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina.

KPK menyangkakan Janner dan Toton berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Badaruddin Amsori Bachsin disangkakan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sehingga ia diduga sebagai penerima sekaligus pemberi hadiah atau janji kepada penyelenggara negara dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Syafri Syafii dan Yunus Edi disangkakan melanggar pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.***2***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016