Perubahan iklim bukan lagi sekadar narasi di media massa. Dampak perubahan iklim sudah dirasakan secara langsung. Cuaca ekstrem, meningkatnya suhu, meningkatnya permukaan laut, hingga meningkatnya karbon monoksida berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental, terutama pada kelompok rentan seperti perempuan dan anak.

Sepanjang 2030--2050, perubahan iklim diperkirakan menyebabkan betambahnya kematian sebanyak 250.000 per tahun karena malnutrisi, malaria, diare dan dampak dari stres. Tak hanya itu, sebanyak 150 juta penduduk di perkotaan juga akan mengalami kekurangan air bersih pada tahun 2050 dan 1,5 miliar orang diperkirakan tidak mempunyai akses pada sanitasi. Perubahan komposisi penduduk ke arah penduduk tua juga akan menyebabkan kerentanan yang besar terkait dengan penyakit degeneratif.

"Ibu hamil yang terpapar polutan berpotensi melahirkan anak dengan berat badan yang rendah. Belum lagi dampak perubahan iklim pada kesehatan reproduksi, yang mana terjadi disrupsi endokrin," ujar perwakilan dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan, dr. M Baharuddin SpOG., MARS, dalam diskusi terkait dampak perubahan iklim terhadap perempuan yang diselenggarakan Pita Putih Indonesia di Jakarta, pekan ini.

Baca juga: Mewaspadai ancaman bencana hidrometeorologi di Bengkulu saat penghujan

Disrupsi endokrin merupakan kondisi ketidakseimbangan hormon tubuh dipicu oleh paparan zat kimia. Kondisi tersebut dapat memicu infertilitas atau gangguan kesuburan pada perempuan.

Sejumlah penyakit yang dapat terjadi akibat gangguan endokrin tersebut di antaranya kanker prostat, kanker payudara, endometriosis, infertilitas, diabetes, sindrom ovarium poliklistik atau PCOS, pubertas dini, dan obesitas.

Gangguan kesehatan tersebut sudah banyak dirasakan oleh perempuan dan anak.

Tak hanya gangguan endokrin, perubahan iklim berdampak pada semua tahapan kehidupan. Pada masa bayi dan anak, meningkatkan risiko kematian bayi, penyakit pernapasan, malnutrisi, hingga pembelajaran dan pendidikan.

Pada masa remaja, berdampak pada kesehatan mental, penyakit pernafasan, malanutrisi, hingga berkurangnya akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi.

Adapun pada saat kehamilan, perinatal, dan pascamelahirkan dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur, kelahiran mati, bayi dengan berat lahir rendah, kelainan bawaan, penyakit pernapasan, gangguan, hingga hipertensi pada kehamilan.

Sementara saat dewasa, perubahan iklim berdampak pada penyakit jantung dan ginjal, penyakit pernafasan, malnutrisi, dan kesehatan mental. Pada lansia, perubahan iklim berdampak pada peningkatan angka kematian, gangguan metabolisme, gangguan kognitif, dan risiko yang lebih besar pada penyakit jantung dan ginjal.

Baca juga: Dibantu Pegadaian, kini anggota Slankers bisa bikin pupuk sendiri

Ketua Pelaksana Harian Pita Putih Indonesia, dr. Heru Kasidi MSc, mengatakan perubahan iklim di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian sampai 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2050.

Kerugian karena penyakit DBD dan malaria saja diperkirakan akan bernilai Rp45 trilliun. Selain itu, dampaknya pada kerusakan lingkungan berpotensi menyebabkan kehancuran yang permanen.

"Ini perlu menjadi perhatian bersama karena perubahan iklim seperti suhu udara memiliki dampak besar, misalnya, kelahiran prematur yang meningkat 6--16 persen di kawasan Amerika Utara, Eropa, Australia, Selandia Baru, Sub Sahara, dan China," jelas Heru lagi.

Dampak perubahan iklim juga sudah dirasakan di Indonesia. Studi yang dilakukan para ilmuwan menunjukkan bahwa terlambatnya musim hujan berhubungan dengan tinggi badan anak usia 2 hingga 4 tahun di Pulau Jawa.

Begitu juga penelitian yang dilakukan Jayachandran S pada 2009, yang menganalisis  dampak kebakaran hutan pada 1997 dan data sensus penduduk pada 2000, menunjukkan bahwa setidaknya 15.600 anak yang meninggal. Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kebakaran hutan pada 1997 juga berkaitan dengan tinggi badan anak pada saat masa dewasa. Hal itu dikarenakan semasa dalam kandungan, anak terpapar oleh polusi akibat kebakaran hutan.
 

Agenda bersama

Perubahan iklim juga meningkatkan kasus sejumlah penyakit yang seharusnya sudah terkendali seperti TBC dan kusta. Kondisi itu diakibatkan meningkatnya kelembaban.

Hasil pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2023, suhu udara rata-rata 27,2 derajat celcius atau mengalami anomali 0,5 derajat celcius dibandingkan periode 1991--2020.

Ketua Umum Pita Putih Indonesia Dr Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan perempuan dan anak paling rentan terdampak perubahan iklim. Data UNICEF menyebutkan Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

"Kalau pelayanan kesehatan dapat kita kendalikan, namun perubahan iklim yang berdampak pada kesehatan ibu dan anak belum dapat kita kendalikan," kata Giwo.

Baca juga: Menghapus kesenjangan melalui program transformasi sekolah

Oleh karenanya perlu upaya bersama untuk menyuarakan dampak perubahan iklim tersebut pada perempuan dan anak. Melalui pemahaman yang baik, diharapkan dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

Sejarah mencatat bahwa dalam berbagai krisis di dunia, termasuk bencana alam dan peperangan, perempuan dan anak menanggung dampak terbesar. Padahal, di pundak anak dan perempuan inilah masa depan bangsa dipertaruhkan.

Oleh karena itu, Pemerintah perlu memiliki rancangan utama yang jelas dan terencana dalam melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.

Sebuah rencana aksi yang sistematis dan terintegrasi penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah pencegahan dan respons terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan secara efektif. Dengan demikian, masyarakat, khususnya perempuan dan anak, dapat lebih siap dalam menghadapi risiko-risiko kesehatan yang akan makin meningkat, serta memastikan perlindungan yang optimal bagi generasi mendatang.

Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: Indriani

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024