Bengkulu (Antara) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat Bengkulu mengkhawatirkan perluasan areal konsesi pertambangan mineral dan batu bara hingga 225 ribu hektare yang melebihi luas areal persawahan yang hanya 92 ribu hektare.

"Perluasan konsesi pertambangan mineral dan batu bara cukup mengkhawatirkan, terutama dibandingkan dengan luas areal tanaman pangan," kata Direktur Yayasan Genesis Bengkulu, Barlian di Bengkulu, Selasa.

Saat dialog akhir tahun dengan tema "Aksi Kedaulatan Ekologis, Saatnya Publik Menjadi Pengambil Keputusan dalam Pengelolaan Sumber Penghidupan Rakyat", ia mengatakan perluasan konsesi pertambangan telah menghilangkan areal pangan.

Contoh kasusnya kata Barlian, pengerukan batu bara di Desa Gunung Payung, Kabupaten Bengkulu Utara yang menghilangkan ratusan hektare areal persawahan, padahal desa itu ditetapkan sebagai desa lumbung pangan pada tahun 2009.

Dari seluas 300 hektare areal persawahan di desa tersebut, hanya tersisa 20 hektare. Ironisnya, pengerukan batu bara PT Injatama dimulai pada 2009, bertepatan dengan pencanangan desa lumbung pangan di Desa Gunung Payung.

Luas konsesi pertambangan di daerah ini didominasi Kabupaten Bengkuklu Utara seluas 69 ribu hektare, Kabupaten Seluma seluas 48 ribu hektare, Kabupaten Bengkulu Tengah 31 ribu hektare, Kabupaten Lebong seluas 10 ribu hektare, dan Kaur seluas 303 hektare.

"Pemerintah pusat juga mengeluarkan konsesi pertambangan mencapai 95 ribu hektare di wilayah Seluma dan Bengkulu Selatan," ucapnya.

Direktur Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar menambahkan selain untuk industri ekstraktif pertambangan, pembukaan lahan untuk perusahaan perkebunan monokultur mencapai 200 ribu hektare.

Pengembangan ekonomi yang bersandar pada industri ekstraktif menurutnya telah memicu bencana ekologis yang jumlahnya meningkat hampir 100 persen pada 2016 dibanding tahun 2015.

"Jumlah bencana yang melanda Bengkulu pada 2015 sebanyak 104 kali, sementara pada November 2016 sudah mencapai 205 kali bencana," ucapnya.

Dari ratusan bencana alam longsor menempati posisi tertinggi mencapai 77 kali dan banjir sebanyak 44 kali.

Kondisi ini menurut Ali harus disikapi dengan mengubah regulasi peningkatan ekonomi yang bersandar pada industri ekstraktif pertambangan batu bara.***3***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016