Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu meminta kepolisian mengusut para spekulan yang memperjualbelikan lahan cagar alam Danau Dusun Besar register 61 Kota Bengkulu.
"Kami minta kepolisian mengusut dugaan adanya para spekulan yang memperjualbelikan lahan hutan negara," kata Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu Edi Ismawan saat memimpin rapat koordinasi tentang penyelesaian konflik perambahan Cagar Alam Danau Dusun Besar, di Bengkulu, Rabu.
Ia mengatakan dugaan keberadaan para spekulan semakin menguat sebab setiap pendataan perambah, pemiliknya berganti. Rapat koordinasi itu dihadiri Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Bengkulu Hamka Sabri, Kapolres Kota Bengkulu AKBP Joko Suprayitno dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Amon Zamora serta Ketua Yayasan Lembak, Usman Yasin.
Data terakhir yang dirilis BKSDA Bengkulu sebagai pengelola kawasan, jumlah perambah di dalam hutan konservasi itu sebanyak 75 orang.
"Nama warga yang menduduki kawasan hutan itu ternyata berbeda dengan pendataan pada 1998 dan tahun 2003, artinya sudah berganti kepemilikan," tambahnya. Untuk itu, perlu dilakukan penyelidikan terhadap aksi jual beli kawasan hutan yang ada di Cagar Alam Danau Dusun Besar.
Ketua Yayasan Lembak Usman Yasin mengatakan, tidak ada warga yang memiliki lahan di dalam kawasan hutan itu.
"Kami warga Lembak yang sudah bermukim di sekitar danau jauh sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan tahu siapa yang memiliki hak garap di dalam hutan itu," katanya.
Saat ditetapkan pada 1986 kata dia, hanya ada satu warga yang memiliki izin garap di dalam hutan itu, atas nama Wadi dengan luas lahan 8 hektare. Keluarga itu juga sudah mengetahui kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi dan bersedia keluarga dari cagar alam seluas 577 hektare itu.
"Bahkan pada saat ditetapkan sebagai kawasan lindung, sebagian tanah kami masyarakat Lembak juga diikhlaskan karena tujuannya untuk konservasi," tambahnya. Namun, sejak pembukaan jalan pada 1991 dilakukan pemerintah Provinsi Bengkulu, perambahan terhadap kawasan itu mulai meningkat.
Pembukaan jalan yang tidak mendapat izin bahkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) mendapat perlawanan dari warga Lembak yang bermukim di sekitar Danau "Dendam tak Sudah" itu. "Kami melihat pembukaan jalan hanya akal-akalan, padahal tujuannya untuk menguasai hutan negara, karena posisi kawasan itu sangat strategis, di dalam kota," tambahnya.
Usman mengusulkan tim adhoc yang dibentuk pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menyelesaikan konflik kawasan itu agar memilah profesi perambah. Bagi mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan lain untuk menopang ekonomi agar didata dan diberikan lahan HGU yang ditelantarkan perusahaan perkebunan besar.
Kepala BKSDA Bengkulu Amon Zamora mengatakan sekitar 75 kepala keluarga perambah CA Danau Dusun Besar akan dipilah untuk menentukan rencana penertiban lanjutan. "Kami mendukung langkah tim adhoc, karena kawasan ini harus diselamatkan," katanya.(rni)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
"Kami minta kepolisian mengusut dugaan adanya para spekulan yang memperjualbelikan lahan hutan negara," kata Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu Edi Ismawan saat memimpin rapat koordinasi tentang penyelesaian konflik perambahan Cagar Alam Danau Dusun Besar, di Bengkulu, Rabu.
Ia mengatakan dugaan keberadaan para spekulan semakin menguat sebab setiap pendataan perambah, pemiliknya berganti. Rapat koordinasi itu dihadiri Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Bengkulu Hamka Sabri, Kapolres Kota Bengkulu AKBP Joko Suprayitno dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Amon Zamora serta Ketua Yayasan Lembak, Usman Yasin.
Data terakhir yang dirilis BKSDA Bengkulu sebagai pengelola kawasan, jumlah perambah di dalam hutan konservasi itu sebanyak 75 orang.
"Nama warga yang menduduki kawasan hutan itu ternyata berbeda dengan pendataan pada 1998 dan tahun 2003, artinya sudah berganti kepemilikan," tambahnya. Untuk itu, perlu dilakukan penyelidikan terhadap aksi jual beli kawasan hutan yang ada di Cagar Alam Danau Dusun Besar.
Ketua Yayasan Lembak Usman Yasin mengatakan, tidak ada warga yang memiliki lahan di dalam kawasan hutan itu.
"Kami warga Lembak yang sudah bermukim di sekitar danau jauh sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan tahu siapa yang memiliki hak garap di dalam hutan itu," katanya.
Saat ditetapkan pada 1986 kata dia, hanya ada satu warga yang memiliki izin garap di dalam hutan itu, atas nama Wadi dengan luas lahan 8 hektare. Keluarga itu juga sudah mengetahui kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi dan bersedia keluarga dari cagar alam seluas 577 hektare itu.
"Bahkan pada saat ditetapkan sebagai kawasan lindung, sebagian tanah kami masyarakat Lembak juga diikhlaskan karena tujuannya untuk konservasi," tambahnya. Namun, sejak pembukaan jalan pada 1991 dilakukan pemerintah Provinsi Bengkulu, perambahan terhadap kawasan itu mulai meningkat.
Pembukaan jalan yang tidak mendapat izin bahkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) mendapat perlawanan dari warga Lembak yang bermukim di sekitar Danau "Dendam tak Sudah" itu. "Kami melihat pembukaan jalan hanya akal-akalan, padahal tujuannya untuk menguasai hutan negara, karena posisi kawasan itu sangat strategis, di dalam kota," tambahnya.
Usman mengusulkan tim adhoc yang dibentuk pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menyelesaikan konflik kawasan itu agar memilah profesi perambah. Bagi mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan lain untuk menopang ekonomi agar didata dan diberikan lahan HGU yang ditelantarkan perusahaan perkebunan besar.
Kepala BKSDA Bengkulu Amon Zamora mengatakan sekitar 75 kepala keluarga perambah CA Danau Dusun Besar akan dipilah untuk menentukan rencana penertiban lanjutan. "Kami mendukung langkah tim adhoc, karena kawasan ini harus diselamatkan," katanya.(rni)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012