Bengkulu (Antaranews Bengkulu) - Anggota DPRD Provinsi Bengkulu, Sefty Yuslinah menyebutkan bahwa peraturan daerah tentang perlindungan perempuan dan anak ternyata belum mampu menekan tindakan kejahatan seksual.
"Perda sudah disahkan, namun terlihat belum dampaknya, kejahatan seksual tetap masih marak. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua sebab perda ini dilahirkan sebagai upaya menekan tindakan kejahatan seksual," katanya di Bengkulu, Selasa.
Menurut dia, perda tersebut memerlukan penguatan dalam peran dan penerapannya sesuai yang sudah tertuang dalam butir-butirnya, sehingga tujuan awal dibuatnya aturan tersebut memang benar-benar tercapai.
"Kita tentu tidak ingin sejumlah kejahatan seksual yang belakangan ini masih terjadi dengan pelaku dan korban-korban lainnya. Saya menyebutkan kejahatan seksual bukan asusila, karena memang tindakan yang sangat jahat," jelas dia.
Seperti kejadian di Kabupaten Bengkulu Utara beberapa waktu lalu, seorang anak dibawah umur yang bahkan menjadi korban dari orang dekatnya sendiri.
Beberapa hari lalu juga juga beredar informasi, seorang mahasiswi juga menjadi korban kejahatan dari teman satu kelompoknya saat mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata (KKN).
Belum lagi sejumlah kejadian yang korbannya masih terus didampingi oleh organisasi-organisasi perempuan setempat. Tidak sedikit perempuan dan anak menjadi korban kejahatan seksual, kekerasan atau pun penganiayaan.
Baru-baru ini, organisasi Cahaya Perempuan WCC Bengkulu menyebutkan, sepanjang 2017, dari data pendampingan WCC terdapat sebanyak 44 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Kota Bengkulu.
"Tentu ada juga kasus lain terjadi tapi tidak meminta pendampingan ke WCC, hal ini sangat memprihatinkan," kata Direktur Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Artety Sumeri.
Jika berkaca pada 2016, angkanya tidak jauh berbeda, yakni terdapat 54 kasus yang di dampingi oleh organisasi tersebut.
"Ini baru angka untuk Kota Bengkulu, lebih banyak lagi kalau berbicara Provinsi Bengkulu," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018
"Perda sudah disahkan, namun terlihat belum dampaknya, kejahatan seksual tetap masih marak. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua sebab perda ini dilahirkan sebagai upaya menekan tindakan kejahatan seksual," katanya di Bengkulu, Selasa.
Menurut dia, perda tersebut memerlukan penguatan dalam peran dan penerapannya sesuai yang sudah tertuang dalam butir-butirnya, sehingga tujuan awal dibuatnya aturan tersebut memang benar-benar tercapai.
"Kita tentu tidak ingin sejumlah kejahatan seksual yang belakangan ini masih terjadi dengan pelaku dan korban-korban lainnya. Saya menyebutkan kejahatan seksual bukan asusila, karena memang tindakan yang sangat jahat," jelas dia.
Seperti kejadian di Kabupaten Bengkulu Utara beberapa waktu lalu, seorang anak dibawah umur yang bahkan menjadi korban dari orang dekatnya sendiri.
Beberapa hari lalu juga juga beredar informasi, seorang mahasiswi juga menjadi korban kejahatan dari teman satu kelompoknya saat mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata (KKN).
Belum lagi sejumlah kejadian yang korbannya masih terus didampingi oleh organisasi-organisasi perempuan setempat. Tidak sedikit perempuan dan anak menjadi korban kejahatan seksual, kekerasan atau pun penganiayaan.
Baru-baru ini, organisasi Cahaya Perempuan WCC Bengkulu menyebutkan, sepanjang 2017, dari data pendampingan WCC terdapat sebanyak 44 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Kota Bengkulu.
"Tentu ada juga kasus lain terjadi tapi tidak meminta pendampingan ke WCC, hal ini sangat memprihatinkan," kata Direktur Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Artety Sumeri.
Jika berkaca pada 2016, angkanya tidak jauh berbeda, yakni terdapat 54 kasus yang di dampingi oleh organisasi tersebut.
"Ini baru angka untuk Kota Bengkulu, lebih banyak lagi kalau berbicara Provinsi Bengkulu," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018