Jerusalem (Antaranews Bengkulu) - Penguasa Yahudi pada Sabtu (8/12) memaksa satu keluarga Palestina untuk menghancurkan rumahnya sendiri di Jerusalem, yang diduduki, kata anggota keluarga tersebut kepada Kantor Berita Anadolu.

Israel telah mengeluarkan perintah untuk menghancurkan rumah dua-apartemen di Permukiman Silwan, sebelah selatan Masjid Al-Aqsha itu.

"Penguasa Israel memberi kami sampai 10 Desember untuk membongkar rumah kami," kata Murad Hashmyeh kepada Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad siang.

Menurut Hashmyeh, Israel mengancam akan menuntut keluarga itu jika mereka tidak membongkar rumah mereka.

Israel menduduki Jerusalem Timur selama Perang Timur Tengah 1967. Belakangan, Israel mencaplok kota tersebut pada 1980, dan mengklaim Jerusalem sebagai "ibu kota negara Yahudi yang bersatu" yang diproklamasikan secara sepihak. Tindakann itu tak pernah diakui oleh masyarakat internasional.

Hukum internasional memandang Tepi Barat Sungai Jordan dan Jerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan dan memandang semua permukiman yang dibangun penguasa Yahudi di tanah itu sebagai tidak sah.

Rakyat Palestina menuduh Israel melancarkan kegiatan agresif untuk "meyahudikan" Jerusalem dengan tujuan menghapuskan identitas Arab dan Islam di kota tersebut serta mengusir warga Palestina dari sana.

Pada Rabu (5/12), Pemerintah Otonomi Nasional Palestina (PNA) mengutuk tindakan penguasa Yahudi menghancurkan satu sekolah di Kota Al-Khalil, bagian selatan Tepi Barat, dan menyeru dunia agar memikul tanggung-jawab sehubungan dengan pelanggaran tanpa henti setiap hari oleh Israel.

Kementerian Pendidikan Tinggi PNA di Ramallah, Tepi Barat, mengatakan di dalam siaran pers bahwa masyarakat internasional "mesti memikul tanggung jawabnya sehubungan dengan pelanggaran Israel terhadap lembaga pendidikan Palestina di Tepi Barat".

Pada Rabu pagi, militer penguasa Yahudi menghancurkan satu sekolah yang bernama At-Tahadi 12 (Tantangan 13) di kota tersebut dan mengumumkan daerah sekolah itu sebagai "zona militer tertutup", demikian laporan media Palestina.

"Pembongkaran sekolah itu menerjemahkan arti sesungguhnya teror terorganisir  yang dilakukan oleh Israel terhadap lembaga pendidikan dan merupakan kejahatan mengerikan yang ditambahkan pada rangkaian tindakan yang meningkat terhadap pendidikan," kata pernyataan tersebut.

Sekolah itu dihancurkan hanya beberapa hari sebelum peresmiannya di kota Palestina tersebut, kata pernyataan itu. Ditambahkannya, "Penghancuran sekolah tersebut dilakukan sebelum peresmiannya takkan menghancurkan tekad murid-murid kami untuk melanjutkan pendidikan mereka." 

Muhanad Masalameh, Koordinator Hubungan Masyarakat di Gubernuran Al-Khalil (Hebron), mengatakan buldozer militer Israel menghancurkan sekolah itu, yang dijadwalkan dibuka dalam beberapa hari ke depan, dan menambahkan sekolah tersebut terdiri atas tujuh ruang kelas.

PNA membangun sekolah itu di wilayah C, yang masih berada di bahwa jurisdiksi Israel, dan tujuan dari pembangunan sekolah tersebut di daerah itu ialah untuk memungkinkan murid yang tinggal di wilayah yang porak-poranda bisa menerima pendidikan yang layak, katanya.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri PNA menyeru masyarakat internasional agar bertindak secara tepat dan sesegera mungkin "untuk melindungi rakyat Palestina dari pelanggaran Israel tanpa akhir setiap hari serta kebijakan agresifnya terhadap mereka".
Berdasarkan Kesepakatan Sementara Oslo, yang ditandatangani antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel pada 1993, Tepi Barat dibagi jadi tiga zona: A, B, dan C. Zona A berada di bawah kekuasaan Palestina, B di bawah koordinasi keamanan Israel dan kekuasaan adminstratif Palestina, dan C sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Israel.

Israel mengklaim sekolah tersebut dihancurkan sebab dibangun di wilayah yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaannya dan sekolah itu dibangun tanpa meminta izin dari penguasa Yahudi.

Pewarta: Antara

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018