Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak kepolisian untuk membebaskan aktivis hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi Robertus Robet yang ditangkap di rumahnya.
"Kami mendesak kepolisian untuk membebaskan segera Robertus Robet dan menghormati HAM dengan menjamin hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945," kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis.
Robertus yang juga merupakan salah satu dosen di perguruan tinggi ternama di Jakarta tersebut, ditangkap pada Rabu (6/3) sekitar pukul 23.45 WIB.
"Robet ditangkap di rumahnya dan telah ditetapkan tersangka karena dituding menghina TNI saat berorasi pada aksi Kamisan, 28 Februari 2019 lalu," ujarnya pula.
Robet dikenakan pasal 45 ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan atau/pasal 14 ayat (2) jo pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau pasal 207 KUHP.
Robert dijadikan tersangka dengan tuduhan merendahkan institusi TNI dalam aksi Kamisan, di depan Istana Merdeka pada 28 Februari 2019 lalu.
Dalam aksi tersebut, Robert menyoroti rencana pemerintah menempatkan prajurit aktif TNI dalam jabatan-jabatan sipil yang disebut Manan, "Menurut Ombudsman, saat ini sudah ada belasan kementerian/lembaga dengan jabatan yang diduduki prajurit aktif TNI di luar kementerian/lembaga yang diperbolehkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI".
"AJI berpandangan orasi yang disampaikan Robet merupakan kebebasan berekspresi warga negara yang dijamin dan tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Penyampaian pendapat juga merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia," ujar Manan.
Menurut Manan, penangkapan Robertus Robet juga membuat pemerintah tidak ada bedanya dengan rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Atas dasar itu, kata dia, AJI menyampaikan tiga sikap, yakni mengecam penangkapan Robertus Robet yang tidak memiliki dasar jelas. Karena kritik Robertus Robet terhadap rencana pemerintah menempatkan kembali prajurit aktif TNI di jabatan sipil dijamin oleh perundang-undangan.
Kemudian, mendesak kepolisian untuk membebaskan segera Robertus Robet dan menghormati HAM dengan menjamin hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945.
Lalu, mendesak penghapusan seluruh pasal karet dalam UU ITE dan KUHP yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi para pejuang HAM, termasuk para jurnalis.
Sebelumnya, Robet melakukan orasi yang menolak wacana kebangkitan kembali dwifungsi TNI di Indonesia. Wacana ini mengemuka terkait rencana penempatan perwira TNI pada sejumlah posisi sipil.
Dalam orasinya, Robet menyampaikan kegelisahannya kepada anak-anak muda yang menghadiri Aksi Kamisan di depan Istana Presiden pada 28 Februari lalu.
"Kaum militer adalah orang yang memegang senjata, orang yang mengendalikan, mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak boleh mengendalikan kehidupan sipil lagi," ujar Robet.
'Mengendalikan kehidupan sipil'. Diksi ini dipilih oleh Robet merujuk dwifungsi ABRI yang dulu pernah hadir di Indonesia, saat kepemimpinan Presiden Soeharto.
ABRI pada masa lalu memang dapat menempati jabatan sipil dan mengisi sejumlah posisi pemerintahan. Selain itu, ada juga Fraksi ABRI di MPR yang membuat tentara pada masa itu bisa berpolitik.
"Karena senjata tidak bisa diajak berdebat, senjata tidak dapat diajak berdialog. Sementara demokrasi, kehidupan ketatanegaraan harus berbasis pada dialog yang rasional," ujar Robertus Robet.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
"Kami mendesak kepolisian untuk membebaskan segera Robertus Robet dan menghormati HAM dengan menjamin hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945," kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis.
Robertus yang juga merupakan salah satu dosen di perguruan tinggi ternama di Jakarta tersebut, ditangkap pada Rabu (6/3) sekitar pukul 23.45 WIB.
"Robet ditangkap di rumahnya dan telah ditetapkan tersangka karena dituding menghina TNI saat berorasi pada aksi Kamisan, 28 Februari 2019 lalu," ujarnya pula.
Robet dikenakan pasal 45 ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan atau/pasal 14 ayat (2) jo pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau pasal 207 KUHP.
Robert dijadikan tersangka dengan tuduhan merendahkan institusi TNI dalam aksi Kamisan, di depan Istana Merdeka pada 28 Februari 2019 lalu.
Dalam aksi tersebut, Robert menyoroti rencana pemerintah menempatkan prajurit aktif TNI dalam jabatan-jabatan sipil yang disebut Manan, "Menurut Ombudsman, saat ini sudah ada belasan kementerian/lembaga dengan jabatan yang diduduki prajurit aktif TNI di luar kementerian/lembaga yang diperbolehkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI".
"AJI berpandangan orasi yang disampaikan Robet merupakan kebebasan berekspresi warga negara yang dijamin dan tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Penyampaian pendapat juga merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia," ujar Manan.
Menurut Manan, penangkapan Robertus Robet juga membuat pemerintah tidak ada bedanya dengan rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Atas dasar itu, kata dia, AJI menyampaikan tiga sikap, yakni mengecam penangkapan Robertus Robet yang tidak memiliki dasar jelas. Karena kritik Robertus Robet terhadap rencana pemerintah menempatkan kembali prajurit aktif TNI di jabatan sipil dijamin oleh perundang-undangan.
Kemudian, mendesak kepolisian untuk membebaskan segera Robertus Robet dan menghormati HAM dengan menjamin hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945.
Lalu, mendesak penghapusan seluruh pasal karet dalam UU ITE dan KUHP yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi para pejuang HAM, termasuk para jurnalis.
Sebelumnya, Robet melakukan orasi yang menolak wacana kebangkitan kembali dwifungsi TNI di Indonesia. Wacana ini mengemuka terkait rencana penempatan perwira TNI pada sejumlah posisi sipil.
Dalam orasinya, Robet menyampaikan kegelisahannya kepada anak-anak muda yang menghadiri Aksi Kamisan di depan Istana Presiden pada 28 Februari lalu.
"Kaum militer adalah orang yang memegang senjata, orang yang mengendalikan, mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak boleh mengendalikan kehidupan sipil lagi," ujar Robet.
'Mengendalikan kehidupan sipil'. Diksi ini dipilih oleh Robet merujuk dwifungsi ABRI yang dulu pernah hadir di Indonesia, saat kepemimpinan Presiden Soeharto.
ABRI pada masa lalu memang dapat menempati jabatan sipil dan mengisi sejumlah posisi pemerintahan. Selain itu, ada juga Fraksi ABRI di MPR yang membuat tentara pada masa itu bisa berpolitik.
"Karena senjata tidak bisa diajak berdebat, senjata tidak dapat diajak berdialog. Sementara demokrasi, kehidupan ketatanegaraan harus berbasis pada dialog yang rasional," ujar Robertus Robet.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019