Pemerintah Provinsi Bengkulu menetapkan kopi sebagai komoditas unggulan daerah. Imbasnya, para petani pun kini berlomba membuka perkebunan kopi baru untuk memproduksi kopi sebanyak-banyaknya.

Ternyata, penanaman kopi secara besar-besaran ini tak selamanya menguntungkan petani. Hal ini diungkapkan dosen kehutananan Universitas Bengkulu (Unib) Yansen dalam diskusi aksi komunikatif iklim dengan tema dampak perubahan hutan terhadap iklim dan dampak perubahan iklim terhadap hutan di kantor BPDASHL Ketahun, Bengkulu, Selasa.

Yansen menjelaskan, penanaman kopi secara besar-besaran dengan mengalih-fungsikan kawasan hutan menjadi perkebunan kopi akan berpengaruh pada perubahan suhu atau tempetatur daerah tersebut.

Perubahan temperatur ini lah yang kemudian memungkinkan terjadinya penurunan produktifitas dan kualitas kopi yang akhirnya berperangaruh pula pada pendapatan petani kopi.

Yansen menyebut, tanaman kopi merupakan tanaman yang baik ditanam di dataran tinggi atau daerah dengan suhu yang cukup dingin. Sedangkan perubahan kawasan hutan menjadi perkebunan tentu mempengaruhi temperatur suatu tempat.

"Secara ilmiah tentu harus dibuktikan. Tetapi bisa jadi, secara teori itu memungkinkan penurunan produktifitas karena perubahan temperatur yang disebabkan perubahan lanscape atau perubahan penggunaan lahan," jelas lulusan doktoral dari James Cook University, Australia ini.

Dalam kondisi seperti itu, sambung Yansen, petani kopi harus melakukan perubahan pola tanam yakni dengan menanam tanaman kayu diantara tanaman kopi. Dengan demikian tanaman kayu dapat tetap menjaga suhu atau temperatur.

Pola tanam ini tidak hanya memberikan dampak ekonomi bagi petani dengan perbaikan produktifitas dan kualitas kopi tapi juga memberikan dampak ekologi atau kelestarian lingkungan.

"Dengan desain polikultur yang memperhatikan aspek ekologi. Jadi dia tetap memberikan sumbangsih ekonomi tapi juga ekologi," kata Yansen.

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019