Bengkulu (ANTARA) - Aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Wilayah II Sumatera Reinal Sibarani menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri Balikpapan terhadap tujuh terdakwa aksi demonstrasi di Papua dengan pasal makar tidak tepat.
Aksi unjuk rasa di Kota Jayapura pada Agustus 2019 lalu yang dilakukan ini merupakan buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
"Seharusnya bukan pasal makar yang digunakan untuk menuntut mereka, karena tidak ada tindakan seperti menyerang, upaya membunuh kepala negara, tindakan memisahkan sebagian wilayah negara atau mempersiapkan serangan untuk menggulingkan pemerintah," kata Kordinator Wilayah II Sumatera Bagian Selatan PP GMKI, Reinal Sibarani di Bengkulu, Rabu.
Ia mengatakan JPU menuntut tujuh terdakwa dengan masa tahanan yang bervariasi diantaranya mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih Ferry Combo 10 tahun penjara dan Alex Gobay 10 tahun penjara.
Selanjutnya, Hengky Hilapok lima tahun penjara, Irwanus Urobmabim lima tahun penjara, Buchtar Tabuni 17 tahun penjara, Steven Ttaly 15 tahun penjara dan Agus Kossay 15 tahun penjara.
JPU dalam persidangan pada 2 hingga 5 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Balikpapan menuntut mereka dengan pas 106 KUHP juncto pasal 55 ayat ke 1 tentang makar.
"Negara tidak hadir dalam penegakan hukum terhadap Ketua BEM Uncen dan mahasiswa tahanan politik Papua lainnya," ucapnya.
Ia menambahkan, pihaknya akan melakukan aksi unjuk rasa untuk memprotes tuntutan JPU tersebut.
"Khususnya di Provinsi Bengkulu bahwa yang diperjuangkan kawan-kawan tapol Papua adalah aksi solidaritas atas tindakan rasisme kepada Papua, dan GMKI Wilayah II siap aksi solidaritas mendukung penuh pembebasan Tapol Papua," demikian Reinal.
GMKI nilai tuntutan makar terhadap tujuh mahasiswa Papua tidak tepat
Rabu, 17 Juni 2020 14:10 WIB 1559