Jakarta (ANTARA) - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengungkapkan operasi pertambangan yang dilakukan di Indonesia memiliki luasan konflik mencapai 1,6 juta hektare atau sekitar tiga kali luas Pulau Bali.
"Ini catatan sepanjang 2014-2020, operasi pertambangan menyebabkan luasan konflik semakin banyak karena berkaitan dengan kapasitas dan kerentanan warga," katanya dalam peluncuran data laporan bencana akibat investasi ekstraksi energi fosil yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Dalam laporan itu, konflik terjadi antara masyarakat berhadapan dengan korporasi maupun aparat yang membela perusahaan-perusahaan tambang.
Merah menjelaskan bahwa konflik diiringi dengan praktik kriminalisasi, seperti yang terjadi dalam penolakan proyek tambang batu andesit untuk kebutuhan tanggul bendungan di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, beberapa hari lalu.
Sejumlah warga ditangkap polisi akibat aksi penolakan proyek tambang. Padahal, mereka menolak karena tidak rela jika kebun tempat mencari nafkah dan menggantungkan hidup dirusak demi bendungan.
"Tak hanya di Wadas, konflik juga terjadi di daerah lain. Kami mencatat sepanjang 2014-2020 terdapat 269 korban kriminalisasi dan penyerangan," kata Merah.
Praktik kriminalisasi dan penyerangan terhadap warga menggunakan beberapa instrumen regulasi tak hanya Undang-Undang Pertambangan, tetapi ada 20 pasal dan tujuh undang-undang lainnya.
Seperti kasus yang dialami nelayan-nelayan di Kodingareng, Sulawesi Selatan yang menolak pertambangan pasir laut untuk reklamasi Makasar New Port.
Mereka dikriminalisasi dengan Undang-Undang tentang Mata Uang, karena salah satu nelayan menolak upaya suap dari perusahaan dengan merobek amplop yang berisi uang.
"Ekstravisme pertambangan, smelter, dan PLTU batubara akan mengundang bencana terus menerus dan berlanjut yang mengancam keselamatan rakyat dan menjadikan mereka sebagai pengungsi sosial ekologis permanen," ujar Merah.
Jatam sebut pperasi pertambangan punya konflik seluas 1,6 juta hektare
Selasa, 27 April 2021 15:08 WIB 1016