Kejahatan luar biasa atau "extraordinary crime", sangat dikecam oleh dunia karena dampaknya yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat dari segi ekonomis hingga psikologis dan narkotika termasuk dalam kejahatan tersebut, selain terorisme dan korupsi.
Dari segi ekonomis, kerugian negara yang diakibatkan dari kejahatan narkoba, yakni mencapai sekitar Rp48,2 triliun pada 2011 diperkirakan meningkat hingga Rp57 triliun hingga akhir 2013.
Belum lagi ditambah dengan 40 orang meninggal dunia setiap harinya dan itu belum termasuk korban yang putus sekolah dan mengalami gangguan kejiwaan akibat zat-zat dalam barang haram tersebut.
Dampak ekonomis dan psikologis serta dampak di sektor lainnya akan semakin diperparah dengan peredaran narkoba hingga ke pedesaan dan tidak memandang status sosial penggunanya.
Namun, kenyataannya kejahatan transnasional tersebut semakin marak, jumlah pengedar serta bandarnya bertambah dan ini tentu menular kepada jumlah penyalah guna hingga mencapai empat juta jiwa di seluruh Indonesia.
Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional Anang Iskandar bertambahnya penyalah guna ini juga dipengaruhi oleh cara penindakan terhadap penyalah guna itu sendiri. Di Indonesia, pada umumnya, penyalah guna ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam penjara karena dianggap melakukan tindak pidana.
Dia berpendapat penanganan dengan memasukkan penyalah guna ke bilik jeruji tidak membuat jumlah penyalah guna menurun, tetapi justru bertambah karena penyalah guna seringkali disatukan dengan pengedar bahkan bandar yang akan menunjukkan cara-cara atau trik jitu untuk menyelundupkan narkoba untuk kebutuhannya.
"Sekarang masih dilakukan kalau penyalah guna narkoba ditangkap, sejatinya undang-undang kita tidak begitu," katanya.
Menurut dia, dalam Pasal 123 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pecandu narkotika wajib untuk direhabilitasi .
Dia menjelaskan pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantunan baik secara fisik maupun psikis.
Anang berpendapat penyalah guna tidak sama dengan pengedar apalagi bandar yang harus dihukum seberat-beratnya, bahkan dihukum mati.
"Jangan dianggap sebagai residivis, mereka perlu kita sayangi karena tidak berdaya. Dia sudah kehilangan masa lalunya, kita rangkul agar masa depannya tidak hancur," katanya.
Selain itu, dia menyebutkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang penempatan penyalah guna dan pecandu narkotika, mereka berhak ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial.
"Ini berarti menempatkan penyalah guna narkotika sebagai korban kejahatan narkotika," ujar Anang.
Dekriminalisasi dan Depenalisasi
Rehabilitasi merupakan satu dari sekian langkah dekriminalisasi, yakni penyalah guna tidak diproses dengan dikenakan pasal tindak pidana, melainkan disembuhkan secara medis dan sosial.
Menurut Anang, dekriminalisasi merupakan salah satu paradigma hukum modern yang bertujuan menekan permintaan sekaligus ketersediaan narkotika ilegal.
Dia menambahkan korban kejahatan yang bersifat adiksi membutuhkan perlakuan khusus agar penyalah guna mendapatkan perawatan dan perlindungan.
Sehingga, dia meyakini dengan langkah merehabilitasi, jumlah penyalah guna akan semakin menurun karena mereka disembuhkan.
"Kalau sembuh, mereka tidak akan kecanduan lagi, ini akan mereduksi jumlah penyalah guna yang masih berjumlah empat juta orang," ucapnya.
Dengan merehabilitasi, dia meyakini, penyalah guna akan pulih dari ketergantungan barang haram tersebut ketimbang dihukum pidana yang belum tentu menyembuhkan, bahkan dikhawatirkan akan menjalankan bisnis tersebut di dalam penjara.
"Saya yakin dengan merehabilitasi, peredaran berkurang, yang tadinya empat juta orang akan turun menjadi tiga juga sampai nol, tidak ada lagi bisnis narkoba di negeri ini," tuturnya.
Dengan begitu, lanjut dia, akan berkurang juga ketersediaan narkoba di Indonesia karena menurut dia dekriminalisasi merupakan strategi integral dari hulu ke hilir yang juga memiliki dampak ekonomis terhadap penanganan masalah narkoba
"Justru kalau dihukum, bandar dan pengedar narkoba akan senang karena 'demandnya' tetap ada, sementara kalau direhabilitasi akan nangis-nangis dia," katanya, menegaskan.
Dia menyebutkan dalam Sidang PBB di New York pada 30 Maret 1961 menghasilkan Single Convention Narcotic Drugs 1961 dan selanjutnya dalam sidang PBB di Vienna pada 1972, konvensi diubah dengan protokol 1971.
Dalam konvensi tersebut, setiap negara diharuskan untuk mencegah dan merehabilitasi penyalahgunaan narkotika dengan cara memberikan edukasi, perawatan, rehabilitasi dan integrasi sosial.
Sedangkan dalam Sidang PBB Tahun 1988 di Vienna, menyepakati bahwa penyalah guna diberikan sanksi alternatif selain pidana penjara. Sanksi alternatif tersebut dapat berupa perawatan, edukasi, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.
Adapun dalam sidang PBB tahun 1998 UNGASS, di Vienna, sebagai evaluasi terhadap konvensi Vienna tahun 1988 menghasilkan deklarasi politik tentang penanggulangan bencana narkotika dengan pendekatan seimbang antara pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan.
Seluruh konvensi internasional tersebut telah diratifikasi melalui UU Narkotika Nomor 9 tahun 1976, kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 22 Tahun 1997 selanjutnya diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2009 yang saat ini berlaku, dimana memposisikan penyalah guna sebagai korban yang perlu mendapatkan perawatan.
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, salah satu tujuannya yang tercantum dalam pasal (4) adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.
Namun fakta di lapangan, para penyalah guna dan pecandu narkotika dijatuhi hukuman penjara dan mendekam di Lembaga Permasyarkatan (Lapas).
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur penyalah guna tidak akan dihukum penjara apabila yang bersangkutan melaporkan diri kepada institusi penerima wajib lapor, itu yang disebut dengan depenalisasi.
Konsep depenalisasi sudah ditunjukkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 28 ayat (2) dan (3) beserta aturan turunan lainnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang wajib lapor bagi pecandu narkotika.
Dalam pasal tersebut, secara konseptual, dalam kerangka depenalisasi, perbuatan mengonsumsi narkoba tetap lah merupakan hal yang melanggar hukum, namun ketika penyalah guna narkoba melaporkan diri kepada institusi penerima wajib lapor, baik di puskesmas atau rumah sakit yang sudah ditunjuk Kementerian Kesehatan, maka orang tersebut bisa lepas dari tuntutan pidana.
Namun, Anang berpendapat depenalisasi masih belum "bergairah" di kalangan masyarakat karena paradigma yang tertanam, yakni penyalah guna kemungkinan besar dihukum pidana dan dipenjara.
"Wajib lapor kan masih kurang bergairah karena masyarakat masih takut dan 'ngumpet' (bersembunyi) karena secara empiris para penyalah guna narkoba untuk diri sendiri kan ditangkap dan dimasukkan penjara," katanya.
Untuk itu, paradigma masyarakat harus diubah bahwa apabila penyalah guna narkoba menyerahkan diri, maka tidak akan dipenjara, dengan begitu, masyarkat akan banyak yang melapor.
"Kita ingin 'putar arah' kalau penyalah guna jangan digrebek dan ditangkap, melainkan direhabilitasi. Kalau ditangkap terus yang gagah hanya penegak hukum," tandasnya.
Anang menilai depenalisasi akan berjalan baik apabila adanya penggabungan antara rehabilitasi medis dan sosial.
"Kita berikan insentif pascarehabilitasi dengan mengembalikan cara berpikirnya sebagaimana manusia yang sehat dengan pelatihan dan 'suntikan' modal agar bisa bekerja kembali," katanya.
Panti Rehabilitasi Belum Memadai
Langkah rehabilitasi memang diyakini sebagai langkah solutif dalam mengurangi angka prevalensi penyalah guna narkoba, hal ini juga disampaikan Wakil Ketua Komisi IX Nova Riyanti Yusuf yang menilai hukum pidana tidak menjamin penyalah guna sadar dan sembuh dari ketergantungan zat-zat tersebut.
Bahkan, dokter spesialis kejiwaan itu mengatakan penggunaan narkoba erat kaitannya dengan ancaman gangguan jiwa karena zat-zat yang terkandung di dalamnya, seperti metafetamin dalam sabu yang bisa menyebabkan halusinasi dan disorientasi pancaindera.
"Jadi, tidak cocok kalau penyalah guna itu ditempatkan di lapas bersamaan dengan tahanan-tahanan lainnya," katanya.
Rehabilitasi-Lapas Satu Atap
Nova berpendapat perlu diadakannya rehabilitasi narkotika di lapas mengingat penyalah guna harus mendapatkan "treatment", atau perawatan yang berbeda.
"Sebanyak 70 persen penghuni lapas adalah pengguna narkotika. Ini sudah 'overcrwoding' (melebihi), Jadi kenapa tidak diadakan rehabilitasi di lapas," katanya.
Hal senada juga dikatakan Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung Suriatmaja yang mengusulkan diadakannya rehabilitasi narkoba di seluruh lembaga pemasyarakatan karena sebagian besar penghuninya berurusan dengan masalah narkoba.
"Perlu ada lembaga pemasyarakatan (LP) narkotika, yakni satu atap dengan proses rehabilitasi medis yang ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan," katanya.
Suriatmaja mengaku upaya tersebut belum sempat terealisasi dalam menyosialisasikan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika dan upaya tersebut seringkali terbentur proses hukum.
"MA sudah memberikan surat edaran pada nomor 11 yang berputar masalah paradigma penyalah guna narkotika yang hingga kini masih dikenakan pasal-pasal pengedar, jadi tidak bisa direhabilitasi," kataya.
Dia mengimbau seharusnya kasus narkotika bukan dibuka di pengadilan, tetapi di tingkat penyidikan untuk mengetahui apakah yang bersangkutan merupakan penyalah guna atau pengedar.
Usulan tersebut disambut Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Kesehatan Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Marjoeki yang menyebutkan hanya sejumlah lapas yang memfungsikan sebagai penanganan khusus narkotika.
"Ini sebuah harapan dari sebuah solusi karena di lapas itu pengguna dan bandar menjadi satu komunitas hitam putih yang harus dipisahkan," katanya.
Marjoeki mengatakan kondisi lapas saat ini sangat minim karena banyak permintaan.
Dia menuturkan dari 154.000 lapas di seluruh Indonesia, hanya sekitar 102.000 yang layak huni. Dia menambahkan untuk narapidana narkotika mencapai 58.476 orang, yang bisa dibedakan antara narapidana dengan pengguna yakni sekitar 15.200 orang, pengguna murni sekitar 2.000 orang dan pengguna juga pengedar 13.200 orang.
"Dari 17 lapas khusus narkotika itu delapan di antaranya 'overcapacity', dengan SDM (sumber daya manusia) petugas yang terbas juga ini jadi masalah," katanya.
Dia menyebutkan perbandingan petugas dengan narapida, yakni 1:50 hingga 1:70, sehingga pengawasan tidak efektif.
Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Usman Suryakusuma menyetujui usulan tersebut karena menurut dia penyalah guna narkoba tidak bisa ditempatkan di lapas umum.
"Tidak bisa ditempatkan di lapas umum, nanti 'meledak' seperti kasus Tanjung Gusta yang tidak sanggup menampung," katanya.
Menurut Usman, usulan tersebut perlu dipertimbangkan karena di negara-negara ASEAN diwajibkan harus ada rehabilitasi narkotika di lapas.
Minimnya Panti Rehabilitasi
Upaya rehabilitasi penyalah guna tidak akan berjalan dengan efektif apabila tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, seperti panti rehabilitasi yang saat ini hanya berjumlah tiga panti yang dikelola BNN.
Ketiga panti tersebut, di antaranya dua di Lido Sukabumi dan di Badokka Makassar dan satu panti baru diresmikan di Tanah Merah, Samarinda.
Ketiga panti tersebut dirasa belum mampu untuk menampung penyalah guna yang masih sekitar 3,9 juta jiwa karena hanya sekitar 18.000 penyalah guna yang mendapatkan rehabilitasi dari empat juta jiwa.
Menurut data BNN hingga 27 November 2013, data residen (penyalah guna yang direhabilitasi) di Lido hanya sekitar 709 yang didominasi laki-laki 669 orang dan perempuan 40 orang. Sementara itu, di Badokka total residen 305 orang, laki-laki 286 orang dan perempuan 19 orang.
Sedangkan sisanya ditangani pihak swasta.
Itu pun belum termasuk yang mengantre ¿waiting list¿ setiap bulannya sebanyak sekitar 100 calon residen di Panti Rehabilitasi, Lido, Sukabumi.
Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat BNN Vincentius Sambudiono mengakui terhambatnya pembangunan panti rehabilitasi di seluruh provinsi di Indonesia, yakni terbentur anggaran.
"Kalau masalah utamanya memang anggaran, bagaimana mau membangun kalau anggarannya tidak ada atau kurang?" ujarnya.
Dia menjelaskan anggarannya sangata terbatas karena untuk pembangunan panti rehabilitasi pada 2014 dipotong 40 persen.
Padahal, Komisi III DPR telah menyetujui anggaran untuk 2014, bukan hanya untuk pembangunan rehabilitasi, melainkan juga untuk pengadaan alat deteksi narkoba yang akan dipasang di bandara, pelabuhan dan sebagainya.
Dia menyebutkan anggaran untuk satu panti rehabilitasi sekitar Rp30 miliar, sementara untuk satu unit alat deteksi, seperti Sinar X dan sebagainya sekitar Rp50 miliar.
"Kalau untuk peralatan kita menyiapkan 66 unit yang akan disebar 66 titik di pelabuhan dan bandara," katanya.
Namun, dia juga meminta partisipasi dari pihak swasta melalui tanggung jawab sosialnya (CSR) untuk bisa berkontribusi dalam pembangunan panti rehabilitasi.
Kejelasan Kriteria Penyalah guna
Meskipun di beberapa negara telah terbukti rehabilitasi merupakan salah satu cara yang ampuh untuk menekan jumlah permintaan dan ketersediaan narkoba, tetapi belum tentu hal sama juga terjadi di Indonesia karena faktor pola pikir yang tentu saja berbeda.
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010, disebut penyalah guna atau pencandu jika menggunakan narkoba kurang dari lima gram.
Namun, kriteria tersebut dinilai belum cukup karena harus disertai jenis kandungan yang dikonsumsi, kondisi ketika ditangkap, tempat mengonsumsi serta situasi ekonomi, sehingga dapat menentukan rencana terapi dan jangka waktu rehabilitasi.
Data-data tersebut dapat digunakan sebagai keterangan ahli dalam berkas perkara yang akan diacu oleh Jaksa dalam menuntut dan hakim dalam dalam memutuskan perkara terhadap penyalah guna narkoba.
Menurut Hakim Agung Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung Mayjen TNI (Purn) Burhan Dahlan menyebutkan ada dua kriteria pengguna narkotika yang boleh direhabilitasi, yakni yang baru mencoba barang haram tersebut tetapi belum dalam taraf ketagihan serta belum terganggu syaraf otaknya.
"Rehabilitasi merupakan salah satu sisi manusiawi dengan tetap menegakkan hukum, dan menghindari dampak sosial," katanya.
Namun, Menurut Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Brigjen Pol Arman Depari menilai penindakan pidana bagi penyalah guna narkoba bertujuan untuk menimbulkan efek jera dan salah satu upaya preventif penyalahgunaan barang haram tersebut.
"Kalau tidak ada ancaman hukuman pidana, akan semakin banyak para penyalah guna sebab mereka tidak takut karena tidak akan ditangkap penyidik dan hanya direhabilitasi," katanya.
Direhabilitasi atau pun dihukum penjara, masing-masing harus didasarkan pada aturan hukum yang kuat dan mempertimbangkan kondisi penyalah guna, baik fisik maupun mental.
Rehabilitasi juga dinilai kurang ampuh jika diterapkan untuk kalangan militer, kata Wakil Oditur Mayjen TNI Soebagijo.
Menurut dia, setiap anggota TNI yang menggunakan narkotika harus dipecat karena banyaknya berbagai dampak yang akan merugikan satuan TNI sendiri.
"Anggota TNI itu tidak takut dipenjara, mereka itu hanya takut dipecat," tukasnya
Dia menilai rehabilitasi tidak cukup efektif untuk menimbulkan efek jera, dan tidak menjamin anggota TNI pengguna narkotika tersebut akan benar-benar pulih.
Soebagijo menambahkan kalau pun dikenai sanksi pidana selama lima tahun, maka akan mengganggu di kesatuan dan merugikan negara.
"Kalau anggota TNI `nganggur` selama lima tahun, kemudian balik lagi ke kesatuan, apa itu akan sama dengan kondisi dia sebelum menggunakan narkoba dan menurut saya tidak akan efektif. Itu akan sangat merugikan negara," tuturnya.
Rehabilitasi atau atau pun tindak pidana merupakan langkah yang dilakukan sebagai tindak lanjut penanganan terhadap penyalah guna. Sedianya penanganan tersebut harus didasarkan pada hukum yang kuat dan tepat sasaran.(Antara)
Penyalah guna narkotika, rehabilitasi atau bui?
Sabtu, 14 Desember 2013 15:23 WIB 1908