Bengkulu (ANTARA) - Paus Fransiskus, yang tutup usia pada umur 88 tahun, sempat menyadari kondisi kesehatannya yang semakin rapuh jelang akhir hayatnya. Dalam beberapa tahun terakhir, ia secara terbuka mengungkapkan kesiapannya untuk menghadapi penghujung hidup.
Pada awal tahun 2015, ia pernah menyampaikan keinginannya agar kelak dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore di Roma, sebuah gereja kuno dari abad kelima yang didedikasikan untuk penghormatan kepada Perawan Maria yang Terberkati.
Ketertarikan Paus Fransiskus terhadap basilika tersebut tidak lepas dari kedalaman devosinya kepada Maria. Ia kerap mengunjungi tempat suci tersebut setiap kali kembali dari perjalanan luar negeri, menjadikannya tempat utama untuk berdoa dan bermeditasi.
Basilika Santa Maria Maggiore sendiri telah menjadi tempat peristirahatan terakhir sejumlah paus sejak abad ke-17, dimulai dengan pemakaman Paus Clement IX.
Jika rencana ini terlaksana, Paus Fransiskus akan menjadi salah satu dari sedikit paus yang memilih tempat suci tersebut sebagai lokasi penguburan, menyimpang dari tradisi modern yang umumnya menetapkan St. Peter’s Basilica sebagai tempat pemakaman utama para paus sejak awal abad ke-20.
Baca juga: Hamas sampaikan belasungkawa atas wafatnya Paus Fransiskus
Baca juga: Paus Fransiskus wafat, sepak bola dunia berduka
Sebagai seorang ahli dalam sejarah liturgi Katolik, pemakaman paus telah mengalami perubahan besar sepanjang abad. Dahulu, pemakaman paus berlangsung dalam kemegahan dan formalitas yang menyerupai pemakaman kerajaan atau pangeran Renaisans.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, termasuk pada masa Paus Fransiskus, rangkaian ritual ini telah mengalami penyederhanaan signifikan.
Tahapan Pertama: Persiapan Jenazah
Proses pemakaman paus dibagi dalam tiga bagian, atau “stasiun”, yang masing-masing memiliki makna simbolis dan ritualistik.
Tahapan pertama dimulai setelah kematian paus dikonfirmasi oleh tim medis. Jenazahnya kemudian diletakkan di kapel pribadi, tempat upacara awal berlangsung secara tertutup.