Bengkulu (ANTARA) - Sebuah tradisi kuno dari tanah Jawa kembali mencuat ke permukaan publik setelah menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial, khususnya platform X, dengan tagar #KamasutraJawa menduduki posisi trending nomor satu.
Tradisi yang dikenal dengan sebutan “gowok” ini bukan hanya menarik karena keunikannya, tetapi juga karena diangkat menjadi film terbaru karya sutradara ternama, Hanung Bramantyo, berjudul "Gowok: Kamasutra Jawa". Film ini dijadwalkan tayang di bioskop mulai 5 Juni 2025.
Film yang dibintangi oleh aktor papan atas Reza Rahadian dan aktris berbakat Raihaanun ini pertama kali diperkenalkan ke publik pada ajang bergengsi International Film Festival Rotterdam (IFFR) di awal tahun 2025.
Di balik kisah dramatis dan penuh emosi, Gowok Kamasutra Jawa menyuguhkan representasi kehidupan masyarakat Jawa antara tahun 1955 hingga 1965, masa di mana tradisi gowokan atau pendidikan pranikah bagi calon pengantin pria masih dijalankan secara turun-temurun.
Hanung Bramantyo menggandeng Raam Punjabi dan MVP Pictures sebagai produser dalam proyek ini, menandakan keseriusan produksi dalam mengangkat budaya lokal ke panggung sinema nasional bahkan internasional.
Baca juga: Romansa menentang waktu, "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu" siap memikat hati penonton Indonesia
Baca juga: La Tahzan, adaptasi film dari kisah viral TikTok, ada Deva spesialis peran selingkuh beradu dengan Marshanda dan Ariel Tatum
Sinopsis
Film ini mengisahkan seorang gowok sebutan untuk perempuan dewasa yang bertugas mendidik laki-laki muda sebelum menikah yang terjebak dalam dilema ketika ia jatuh cinta kepada muridnya sendiri.
Kisah cinta yang terlarang ini menyorot pertarungan antara hasrat, cinta, dan kehormatan dalam balutan budaya yang sarat nilai dan norma.
Selain Reza Rahadian dan Raihaanun, film ini juga menampilkan nama-nama besar seperti Lola Amaria, Devano Danendra, Alika Jantinia, Ali Fikry, Nayla Purnama, Donny Damara, Djenar Maesa Ayu, hingga aktor senior Slamet Rahardjo.
Apa Itu Gowok?
Dilansir dari javaprivatetour.com, untuk memahami latar budaya film ini, penting menilik kembali praktik gowokan yang nyata pernah hidup di tengah masyarakat Banyumas dan wilayah-wilayah pegunungan Jawa.
Dalam catatan sejarah dan karya sastra terkisahkan Nyai Gowok karya Budi Sardjono, Gowok (1936) oleh Liem Khing Hoo, dan Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari.
Terlukis kisah perempuan-perempuan yang memiliki peran penting dalam membentuk kesiapan mental dan fisik calon pengantin pria.
“Maksud kedatanganku kemari adalah ingin menyerahkan anakku Bagus Sasongko kepada Nyai Lindri. Dia akan nyantrik di sini beberapa waktu lamanya. Kuserahkan anakku sepenuhnya ke tanganmu, Nyai, supaya dia nanti memperoleh bekal kehidupan ketika akan memasuki alam kedewasaan,” ujar Wedana Randu Pitu dalam kisah "Gowok: Kamasutra Jawa".
Dalam realitas sejarah, seorang gowok bukan sekadar guru seksual, tetapi juga pengasuh, pendidik, bahkan figur ibu bagi sang murid.
Baca juga: Perjuangan seorang wanita dalam menuntut keadilan dalam film "Laura"
Baca juga: 10 fakta menarik dari film "Ipar adalah Maut" yang tembus 1 juta penonton dalam 5 hari
Ia mengajarkan bagaimana menjadi suami yang bertanggung jawab, memahami tubuh pasangannya, serta menghormati institusi pernikahan.
Menurut penulis M. Koderi dalam buku "Banyumas: Wisata dan Budaya", tidak semua wanita dapat menjadi gowok. Dibutuhkan pengalaman, pengendalian diri, dan keterampilan interpersonal untuk menjalankan tugas ini.
R. Prawoto bahkan mencatat dalam jurnal kolonial tahun 1931 bahwa para gowok dibayar dengan tarif harian, berkisar antara 0,25 hingga 0,30 gulden dan biasanya mendapat tambahan berupa beras, kelapa, atau bingkisan lainnya.
Namun, tugas mereka tidak berhenti di ranjang seorang gowok harus mengurus pakaian, memasak, bahkan mengurus keperluan sehari-hari sang murid.
Pergowokan dalam Lensa Antropologi dan Feminisme
Praktik ini sempat menjadi kontroversi, bahkan dianggap menyinggung nilai-nilai moral oleh kaum kolonialis dan modernis.
Namun di balik kontroversinya, terdapat nilai edukatif yang sebenarnya progresif: mengakui pentingnya persiapan emosional dan seksual sebelum menikah.
Dalam jurnal akademis Dyah Siti Septiningsih, “Gowokan, Persiapan Pernikahan Laki-Laki Banyumas,” disebutkan bahwa wanita gowok rata-rata berusia 23-30 tahun dan dianggap sebagai sosok ideal untuk membekali calon pengantin pria dalam memasuki kehidupan dewasa.
Baca juga: Badai rumah tangga tak terduga di "Ipar Adalah Maut"
Baca juga: Cuplikan "Bumi Manusia" dirilis
Tradisi ini juga menunjukkan dinamika gender yang unik. Di satu sisi, ia memperkuat posisi perempuan sebagai pengajar, namun di sisi lain juga membuka perdebatan soal eksploitasi dan relasi kuasa.
Seiring waktu dan perubahan nilai masyarakat-khususnya dengan menguatnya ajaran Islam di Jawa-praktik ini pun memudar dan hanya tersisa sebagai catatan budaya.
Kembalinya tema ini ke ranah publik melalui medium film menjadi langkah penting dalam merawat ingatan budaya, sekaligus membuka ruang dialog yang lebih luas soal pendidikan seks, tradisi, dan tubuh.
Lewat Gowok: Kamasutra Jawa, Hanung Bramantyo tak hanya menyuguhkan visual yang memikat, tetapi juga menyentil kesadaran kita bahwa budaya tidak selalu hitam-putih, dan sering kali menyimpan lapisan yang kompleks dan kontekstual.
Gowok bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah cermin tentang bagaimana kita memahami tubuh, tradisi, cinta, dan batasan. Dan kini, cerita itu bangkit kembali di bioskop, di perbincangan daring, dan dalam kesadaran budaya kita bersama.
Baca juga: Film Jomblo versi baru siap hadir
Baca juga: Ketika Hanung, Richard Kyle, dan Mahendra bicara jomblo