“Sambil bersembunyi di balik topeng media sosial yang tampak bahagia, seseorang mungkin terlihat senang. Namun, kebahagiaan semacam itu belum tentu berasal dari dukungan sosial yang bermakna,” ujar penulis utama studi tersebut, psikolog Junghyun Kim.
Sementara itu, menurut artikel dalam Journal of Experimental Social Psychology, tersenyum secara berlebihan justru bisa menjadi bumerang. Bukan tindakan tersenyum yang meningkatkan kebahagiaan, tetapi makna yang terkandung dalam senyuman tersebut sebagai refleksi perasaan bahagia yang sejati.
Secara sederhana, keyakinan “Saya bahagia karena saya tersenyum” bisa menjadi bertentangan dengan “Saya tersenyum karena saya bahagia”.
Keyakinan seperti itu dapat melahirkan ekspektasi yang tidak realistis dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis. Misalnya:
-
“Saya tak terkalahkan, tidak ada yang bisa menyakiti saya” versus “Saya cukup kuat untuk menghadapi rintangan ini”.
-
“Hidup saya sempurna” versus “Saya bahagia dan akan terus berusaha membangun kehidupan yang lebih baik”.
-
“Saya paling cantik di antara teman-teman saya” versus “Saya menyukai penampilan saya dan senang merawat diri”.
Berpura-pura bahagia secara terus-menerus juga dapat menciptakan gambaran yang keliru tentang kondisi emosi sebenarnya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kebingungan emosional dan respon yang kurang tepat dari lingkungan sosial.