Bengkulu (ANTARA) - Istilah pura-pura bahagia atau yang dalam psikologi organisasi dikenal sebagai surface acting, ternyata memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental dan fisik individu.
Meskipun berpikir positif dapat menjadi alat yang berguna untuk menghadapi permasalahan hidup tertentu, berpura-pura bahagia secara terus-menerus justru dapat membahayakan kondisi psikologis.
Dikutip dari laman Forbes, sebuah studi yang diterbitkan dalam Academy of Management Journal mengungkapkan bahwa menampilkan kebahagiaan palsu di tempat kerja dapat memicu stres, kelelahan emosional, hingga depresi.
Pura-pura bahagia merujuk pada tindakan seseorang yang menunjukkan ekspresi atau perilaku positif meskipun tidak mencerminkan perasaan yang sebenarnya.
Dalam konteks pekerjaan, hal ini sering ditemukan pada profesi yang menuntut interaksi langsung dengan klien atau pelanggan, seperti perawat, staf layanan pelanggan, dan tenaga penjual. Para pekerja di bidang ini kerap diharuskan tampil ramah dan bahagia, meski dalam kondisi cemas, lelah, atau stres.
Temuan dari Academy of Management Journal menunjukkan bahwa pekerja yang memalsukan emosi justru mengalami penurunan kondisi emosional dari waktu ke waktu.
Senyum palsu hanya menunda masalah yang tak terhindarkan. Meskipun sesekali tersenyum bisa membantu melewati masa sulit, namun jika dilakukan secara terus-menerus, tindakan ini justru lebih merusak kesejahteraan psikologis daripada memberikan manfaat.
“Sambil bersembunyi di balik topeng media sosial yang tampak bahagia, seseorang mungkin terlihat senang. Namun, kebahagiaan semacam itu belum tentu berasal dari dukungan sosial yang bermakna,” ujar penulis utama studi tersebut, psikolog Junghyun Kim.
Sementara itu, menurut artikel dalam Journal of Experimental Social Psychology, tersenyum secara berlebihan justru bisa menjadi bumerang. Bukan tindakan tersenyum yang meningkatkan kebahagiaan, tetapi makna yang terkandung dalam senyuman tersebut sebagai refleksi perasaan bahagia yang sejati.
Secara sederhana, keyakinan “Saya bahagia karena saya tersenyum” bisa menjadi bertentangan dengan “Saya tersenyum karena saya bahagia”.
Keyakinan seperti itu dapat melahirkan ekspektasi yang tidak realistis dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis. Misalnya:
-
“Saya tak terkalahkan, tidak ada yang bisa menyakiti saya” versus “Saya cukup kuat untuk menghadapi rintangan ini”.
-
“Hidup saya sempurna” versus “Saya bahagia dan akan terus berusaha membangun kehidupan yang lebih baik”.
-
“Saya paling cantik di antara teman-teman saya” versus “Saya menyukai penampilan saya dan senang merawat diri”.
Berpura-pura bahagia secara terus-menerus juga dapat menciptakan gambaran yang keliru tentang kondisi emosi sebenarnya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kebingungan emosional dan respon yang kurang tepat dari lingkungan sosial.
Untuk mengurangi dampak negatif dari praktik pura-pura bahagia, organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan karyawan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan, antara lain:
-
Pelatihan Emosional
Menyediakan pelatihan manajemen emosi agar karyawan dapat mengekspresikan perasaannya secara sehat dan terbuka. -
Dukungan Sosial
Membentuk sistem pendukung di tempat kerja, seperti kelompok diskusi, sesi konseling, atau forum berbagi, guna membantu karyawan mengatasi tekanan psikologis. -
Kebijakan Fleksibel
Menerapkan kebijakan kerja fleksibel agar karyawan dapat menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional, serta mengurangi stres akibat tuntutan kerja.