Jakarta (ANTARA) - Bayangkan sebuah pertandingan ulang yang dimenangkan oleh tim yang sama, di lapangan yang sama, dengan wasit yang sama, dan penonton yang sudah tahu hasil akhirnya.
Itulah kira-kira gambaran dari pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini mulai menjamur di sejumlah daerah. Alih-alih menjadi solusi atas sengketa demokrasi, PSU justru menjadi ruang legal yang menjustifikasi kecurangan secara lebih rapi dan mahal.
Mahkamah Konstitusi tentu bukan tanpa alasan ketika menjatuhkan putusan PSU kepada beberapa daerah. Dalam banyak kasus, ditemukan pelanggaran administratif atau tindakan yang dianggap memengaruhi hasil pemilu.
Namun, problem muncul ketika PSU dilaksanakan tanpa mendiskualifikasi pasangan calon (Paslon) yang sebelumnya terbukti telah diuntungkan oleh pelanggaran tersebut. Maka, PSU tak ubahnya hanya menjadi kosmetik demokrasi, ritual pengulangan yang hasilnya sudah bisa ditebak.
Baca juga: Politik uang Pilkada Barito Utara: Rp16 juta per pemilih, MK diskualifikasi semua paslon
Paslon yang sebelumnya menang dengan selisih suara yang cukup besar, ketika diperintahkan untuk mengulang pemungutan suara di beberapa TPS atau bahkan semua TPS, sudah pasti diuntungkan. Mereka memiliki keunggulan infrastruktur: tim pemenangan yang siap tempur, kantong suara yang sudah terpetakan, strategi yang sudah teruji, dan yang tak kalah penting, psikologis dan kepercayaan masyarakat yang cenderung masih loyal terhadap pilihan sebelumnya.
Sebaliknya, Paslon yang sebelumnya mengalami kekalahan cenderung menjadi lebih tidak maksimal dalam menghadapi PSU. Selain karena potensi kekalahan masih besar, ada keragu-raguan yang melemahkan semangat perlawanan. Mereka dihadapkan pada dilema: mengeluarkan biaya politik baru dengan risiko hasil yang sama, atau menarik diri secara perlahan.
Hal paling mencolok dari PSU adalah melonjaknya ongkos atau biaya politik. Dalam kondisi normal, biaya kampanye saja sudah cukup tinggi, apalagi saat PSU. Semua proses politik diulang dengan tekanan yang lebih besar. Paslon yang sebelumnya menang akan berupaya mempertahankan kemenangan dengan segala cara, termasuk meningkatkan intensitas politik uang.
Baca juga: PSU Bengkulu Selatan berlangsung tertib, partisipasi capai 85 persen
Paslon di urutan teratas tentu tidak ingin kehilangan hasil sebelumnya, sedangkan Paslon yang tertinggal akan mengerahkan semua sumber daya untuk mengejar ketertinggalan, apa lagi jika jarak kekalahan sebelumnya sangatlah tipis atau sedikit. Maka, terjadilah inflasi politik uang --suara rakyat makin murah secara moral, tapi makin mahal secara finansial.
Menurut data Mahkamah Konstitusi, setidaknya terdapat 24 daerah yang diperintahkan untuk menggelar PSU akibat sengketa hasil Pilkada 2024. Rentang waktu pelaksanaannya bervariasi, mulai dari 30 hingga 180 hari sejak putusan dibacakan pada 24 Februari 2025.
Dari 10 daerah yang telah melaksanakan PSU, setidaknya tujuh hasil PSU telah kembali digugat ke MK dengan berbagai dugaan kecurangan, mulai dari administrasi hingga dugaan politik uang kembali terjadi. Ini memperlihatkan bahwa PSU belum menyelesaikan persoalan substantif, justru menambah konflik baru dan memperkuat kecenderungan pragmatisme politik.
Putusan MK atas gugatan hasil PSU pada Kabupaten Barito Utara menjadi salah satu cerminan buruk demokrasi. Praktik money politic atau politik uang telah terbukti meningkat hingga berkali-kali lipat dibanding pemilu regular sebelumnya, dimana disebutkan bahwa setiap pemilih bahkan memperoleh politik uang sebesar 16 juta, dan mencapai 64 juta per KK.