Dengan demikian, pembubaran Bawaslu daerah justru berpotensi melemahkan struktur konstitusional pengawasan pemilu, dan tentu bertentangan dengan semangat check and balances yang dijamin dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia.
Tanpa keberadaan Bawaslu di daerah, fungsi kontrol terhadap potensi pelanggaran pemilu di level lokal akan timpang, mengurangi efektivitas pencegahan dan penindakan dini. Hal ini bukan hanya mengancam prinsip keadilan pemilu, tetapi juga mencederai amanat UUD NRI Tahun 1945 yang menempatkan integritas pemilu sebagai pilar utama demokrasi.
Selanjutnya dari sudut pandang desentralisasi demokrasi dan kebutuhan keadilan elektoral, pembubaran Bawaslu daerah berisiko melemahkan semangat desentralisasi dan kearifan lokal dalam pengawasan.
Kita perlu ingat, demokrasi kita bukan hanya di bangun di Jakarta, tetapi dari desa-desa, kabupaten, dan provinsi yang sesungguhnya menjadi arena nyata kontestasi politik.
Pertanyaannya, bagaimana pengawasan bisa dilaksanakan dengan maksimal jika lembaga pengawas pemilu justru dihapus dari tempat-tempat terjadinya pelanggaran pemilu?
Pemilu dan pilkada berlangsung di desa, kelurahan, hingga TPS-TPS pelosok. Dinamika kontestasi politik lokal sangat kontekstual, spesifik, dan sering kali tak kasatmata dari pusat. Tanpa Bawaslu daerah, fungsi pengawasan berisiko menjadi simbolik belaka – kehilangan daya jangkau, kecepatan respons, dan kekuatan korektif.
Baca juga: Bawaslu Bengkulu awasi proses pengosongan kotak suara pascapilkada
Dalam demokrasi modern, prinsip subsidiaritas adalah kunci efektivitas kelembagaan. Artinya, fungsi-fungsi yang dapat dijalankan lebih efektif di level lokal, tidak boleh dipusatkan secara berlebihan di tingkat nasional. Bawaslu daerah menjamin pengawasan yang responsif, kontekstual, dan berbasis kearifan lokal terhadap potensi penyimpangan dan pelanggaran pemilu.
Membubarkan Bawaslu daerah justru akan menciptakan kesenjangan pengawasan, memperlambat respon terhadap pelanggaran, dan membuka ruang bagi impunitas politik di daerah.
Bawaslu daerah selama ini memainkan peran penting, bukan hanya sebagai penegak pelanggaran, tetapi sebagai pencegah konflik elektoral.
Dalam banyak kasus, kehadiran pengawas pemilu di daerah berhasil meredam potensi kekacauan melalui mediasi, penindakan dini, dan pengawasan ketat terhadap berbagai pelanggaran administratif pemilu pada semua tahapan.
Juga meredam pelanggaran etik penyelenggara, pelanggaran pidana pemilu, hingga pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, seperti pelanggaran netralitas ASN dan TNI/Polri.
Membubarkan Bawaslu daerah sama saja dengan membiarkan kontestasi politik berjalan tanpa rem pengawasan di level yang paling rawan.
Baca juga: Bawaslu lakukan klarifikasi Kadis Dikbud Bengkulu terkait netralitas
Lebih dari itu, dari sisi tata kelola demokrasi partisipatif, kehadiran Bawaslu daerah secara faktual telah ikut mendorong partisipasi publik dalam pengawasan, membangun kesadaran politik warga, dan menciptakan ruang dialog antara rakyat dan pengawas pemilu.
Bila Bawaslu daerah dibubarkan, maka dikhawatirkan demokrasi menjadi semakin elitis dan berjarak dari konstituen dan ini justru melanggar semangat demokrasi partisipatoris yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam teorinya tentang deliberative democracy, James S Fishkin (1991) menyatakan bahwa “Democratic legitimacy arises from participation of ordinary citizens in informed, deliberative dicision-making”. Dalam konteks ini, pengawasan pemilu yang melibatkan aktor lokal seperti Bawaslu daerah bisa dilihat sebagai mekanisme partisipatif dan deliberatif yang memperkuat legitimasi demokrasi.