Larry Diamond (1999) juga menekankan local accountability dan grassroots democracy sebagai fondasi dari demokrasi yang sehat. Menurutnya, “Without effective accountability at the local level democracy becomes an empty ritual”. Pernyataan ini mendukung bahwa keberadaan lembaga seperti Bawaslu daerah diperlukan untuk memastikan akuntabilitas pemilu tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah.
Lebih dari itu, Arend Lijphart (1999) mendorong model demokrasi yang inklusif, desentralistik, dan berorientasi pada konsensus, seperti yang dikatakannya “Decentralization is essential in plural societies to ensure participation and legitimacy”. Pernyataan ini sangat relevan dalam konteks Indonesia yang plural dan tersebar geografis, sehingga pengawasan pemilu tidak bisa bersifat tersentralisasi tanpa mengorbankan legitimasi dan efisiensi pengawasan.
Pemikiran Fiskhin, Diamond, dan Lijphart menunjukkan bahwa legitimasi demokrasi menuntut partisipasi warga, akuntabilitas lokal, dan desentralisasi kelembagaan. Oleh karena itu, wacana pembubaran Bawaslu daerah semestinya tidak disikapi secara pragmatis, tetapi ditakar dan ditimbang dengan cermat berdasarkan prinsip konstitusi dan demokrasi.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, Bawaslu daerah bukan beban demokrasi, melainkan fondasinya. Alih-alih dibubarkan, Bawaslu daerah perlu diperkuat sebagai penjaga kedaulatan rakyat di akar rumput.
Penguatan, Bukan Pembubaran
Memperhatikan basis argumentasi hukum dan politik di atas, setidaknya terdapat lima implikasi hukum dan politik manakala Bawaslu daerah dibubarkan.
Pertama, melemahkan struktur konstitusional pengawasan pemilu, dan bertentangan dengan semangat check and balances yang dijamin dalam sistem demokrasi konstitusional.
Kedua, menghilangkan akses keadilan pemilu (electoral justice) di daerah, khususnya bagi peserta dan pemilih yang merasa dirugikan dalam proses pemilu.
Ketiga, membuka peluang dominasi kekuasaan lokal tanpa kontrol, karena tidak ada institusi netral yang mengawasi.
Keempat, mematikan fungsi early warning system pemilu, karena pengawasan yang baik membutuhkan kehadiran fisik, jaringan dan pemetaan kerawanan lokal.
Kelima, bertentangan dengan prinsip dan semangat desentralisasi demokrasi dalam bingkai otonomi daerah, di mana daerah semestinya menjadi tempat bertumbuhnya demokrasi akar rumput.
Terlepas dari berbagai implikasi tersebut, tentu kita tidak boleh menutup mata atas berbagai evaluasi terhadap Bawaslu daerah. Harus diakui masih terdapat kekurangan dalam kuantitas dan kualitas aparatur pengawas, tata kelola kelembagaan, dan kadang koordinasi dengan pusat yang belum optimal.
Namun, solusi atas kelemahan bukanlah pembubaran, melainkan perbaikan. Negara semestinya memperkuat fungsi kelembagaan pengawasan pemilu, bukan menciutkannya.
Jika alasan di balik wacana pembubaran ini adalah efisiensi anggaran atau penyederhanaan struktur, maka langkah yang lebih bijak adalah melakukan reformasi kelembagaan, termasuk perbaikan sistem rekruitmen, peningkatan kapasitas SDM, dan digitalisasi pengawasan pemilu.
Pengawasan pemilu adalah fungsi krusial dalam negara demokrasi. Tidak ada demokrasi yang sehat tanpa pengawasan yang efektif, dan tidak ada pengawasan yang efektif tanpa kehadiran pengawas di tingkat daerah.