Jakarta (ANTARA) - Pendiri dan Ketua Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia (Center for Prehistory and Austronesian Studies/CPAS) Truman Simanjuntak mengungkapkan manusia purba di situs Gua Harimau, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan terindikasi pernah terjangkit talasemia dan malaria.
Melalui paparan di Jakarta, Rabu, Truman mengungkapkan tim kolaborasi tripartit antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), CPAS, dan Universitas Notre Dame Australia berhasil menemukan fakta tersebut setelah menganalisis sisa rangka manusia dari Gua Harimau tersebut.
Baca juga: 15 anak bawah umur ajukan dispensasi pernikahan di OKU, Sumsel
"Temuan ini melengkapi catatan penyakit yang sebelumnya terbatas pada tuberkulosis, karies, dan bruksisme. Kolaborasi ini sangat prospektif ke depan karena membuka ragam patologi prasejarah manusia Indonesia dengan sudut pandang Asia Tenggara," katanya.
Truman menekankan signifikansi arkeologis Gua Harimau sebagai riset yang tidak berakhir, karena kekayaan temuannya.
Ia menilai situs bersejarah yang menjadi rumah bagi lebih dari 80 penguburan manusia di luar temuan rangka lepas tersebut merekam kronologi hunian panjang dari Paleolitik Atas, Pra-Neolitik, Neolitik hingga Paleometalik.
Baca juga: Polisi Palembang amankan empat orang penyusup selama demo mahasiswa
"Situs ini mencatat penemuan seni cadas pertama di Pulau Sumatera, serta artefak logam tertua di Indonesia prasejarah, dengan pertanggalan sekitar abad ke-4 sebelum Masehi yang berkembang hingga abad ke-1 Masehi," jelas Truman Simanjuntak.
Lebih lanjut, Peneliti Bioarkeologi dari Universitas Notre Dame Australia Melandri Vlok menambahkan talasemia merupakan kelainan genetik pada rantai hemoglobin alfa/beta.
"Ini dapat menimbulkan anemia berat sehingga tulang beradaptasi dengan ekspansi sumsum atau hiperplasia, yang menghasilkan tulang menebal tetapi berpori, serta perubahan khas pada tulang wajah dan rahang," paparnya.
Adapun terkait malaria, jelas dia, para peneliti yang terlibat menyimpulkan bahwa para manusia purba di Gua Harimau juga terindikasi terjangkit malaria akibat hubungan genetik antara talasemia dan malaria.
Baca juga: Kemenhut dalami perdagangan 711 ekor burung liar di Sumsel
"Di daerah yang endemi malaria, gen talasemia justru bertahan dalam populasi, karena pembawa sifat talasemia punya kelebihan berupa sel darah merahnya rusak lebih cepat, sehingga parasit malaria sulit berkembang biak," ungkapnya.
Terkait hal tersebut, Kepala Pusat Riset Arkeometri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sofwan Noerwidi mengapresiasi kontribusi tim peneliti yang telah merealisasikan kolaborasi ini, serta mendorong keberlanjutan diseminasi hasil riset ke depan.
Ia menyebut BRIN telah memiliki laboratorium kriogenomik untuk studi biologi struktural serta fasilitas penelitian DNA.
"Dengan kemitraan antarlembaga baik BRIN, universitas dalam negeri maupun luar negeri, serta pusat riset mitra, kita bisa melahirkan generasi peneliti baru yang tidak hanya kuat secara teori, tetapi juga terlatih langsung dengan metode riset kelas dunia," ucap Sofwan Noerwidi.
