Bengkulu (ANTARA) - Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Bengkulu, Zulhairi, mengikuti Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Pidana Mati yang diselenggarakan secara nasional oleh Kementerian Hukum secara virtual. Kegiatan ini berlangsung di Aula Fatmawati Kanwil Kemenkum Bengkulu (08/10/2025).
Turut hadir Kepala Divisi Pelayanan Hukum, Machyudhie, Kepala Divisi Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum, Tongam Renikson Silaban, serta Analis Hukum dan Jabatan Fungsional Tertentu di lingkungan Kanwil Kemenkum Bengkulu.
Webinar uji publik ini menghadirkan sejumlah narasumber dari lintas lembaga penegak hukum dan akademisi, antara lain Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. (Wakil Menteri Hukum dan HAM RI), Prof. Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum. (Plt. Wakil Jaksa Agung RI), Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H. (Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI), Irjen. Pol. Viktor Theodorus Sihombing, S.I.K., M.Si. (Kepala Divisi Hukum Polri), serta Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia). Adapun Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H., M.H., Plt. Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkum, bertindak sebagai moderator.
Baca juga: Kanwil Kemenkum Bengkulu hadiri Serah Terima Jabatan dan Pisah Sambut Kepala LPKA Bengkulu
Kegiatan ini bertujuan untuk menggali masukan komprehensif dari berbagai pemangku kepentingan dalam rangka penyempurnaan RUU agar pelaksanaannya selaras dengan prinsip hak asasi manusia, kepastian hukum, kemanusiaan, dan proporsionalitas, serta konsisten dengan amanat KUHP Tahun 2023.
Dalam paparannya, para narasumber menyampaikan pandangan dari beragam perspektif — mulai dari hukum pidana, praktik peradilan, penegakan hukum, hingga standar hak asasi manusia internasional. Indonesia kini memasuki fase penting reformasi hukum pidana nasional menjelang berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026.
Salah satu mandat penting dari KUHP baru tersebut adalah reformulasi konsep pidana mati, yang kini tidak lagi diposisikan sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus bersyarat dengan masa percobaan selama 10 tahun. Hal ini menuntut adanya aturan teknis baru mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati, baik bagi terpidana yang menjalani masa percobaan maupun yang tetap harus dieksekusi setelah seluruh upaya hukum dan grasi ditolak.
RUU Pelaksanaan Pidana Mati menjadi sangat krusial karena hingga saat ini tata cara eksekusi masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964, yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum, standar HAM, dan praktik peradilan modern.
Baca juga: Perkuat iman dan tauhid, pegawai Kanwil Kemenkum Bengkulu ikuti ceramah Ustad Junaidi Hamzah
Dalam diskusi, para peserta juga menyoroti sejumlah persoalan yang perlu diantisipasi dalam RUU baru, seperti fenomena death row phenomenon (lamanya masa tunggu eksekusi yang menimbulkan penderitaan fisik dan mental), belum diaturnya hak-hak terpidana mati seperti akses kesehatan mental, pendampingan hukum, perlakuan bagi kelompok rentan, serta hak komunikasi dengan keluarga. Selain itu, muncul pula kritik dari masyarakat sipil dan komunitas internasional mengenai metode pelaksanaan dan penerapan pidana mati terhadap tindak pidana yang tidak termasuk kategori the most serious crime menurut standar hukum internasional.
Uji publik ini menjadi langkah strategis dalam memastikan RUU Pelaksanaan Pidana Mati disusun secara komprehensif, adaptif, dan berkeadilan. Kegiatan berjalan lancar, interaktif, dan produktif, dengan berbagai masukan konstruktif untuk penyempurnaan naskah akademik dan draf regulasi yang akan diajukan ke tahap selanjutnya dalam proses legislasi nasional.

