Jakarta (ANTARA) - Para ilmuwan yang menghadiri Asia Pacific Climate Week (APCW) di Bangkok, Thailand, mengingatkan bahwa perubahan iklim akan menimbulkan peningkatan curah hujan ekstrem di kawasan Asia Tenggara dan kondisi itu akan memengaruhi ketahanan pangan regional.

Dalam acara yang bermula 2 September dan akan berakhir 6 September itu, para ilmuwan mengemukakan bahwa peningkatan insiden curah hujan ekstrem akan mengganggu produksi pertanian, yang pada gilirannya akan membawa dampak buruk bagi ketahanan pangan kawasan.

"Dalam skenario pemanasan 1,5 derajat Celsius, Asia Tenggara akan mengalami peningkatan presipitasi sebesar 7 persen. Sementara bila pemanasan global mencapai dua derajat Celsius, akan ada peningkatan 10 persen dalam presipitasi ekstrem," kata Lourdes V Tibig, penulis utama Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim dan anggota Panel Ahli Teknis Nasional Komisi Perubahan Iklim Filipina, dalam siaran pers APCW yang diterima di Jakarta, Rabu.

"Hal tersebut akan berdampak besar pada pertanian," ia menambahkan.

Asia Tenggara merupakan salah satu produsen beras terbesar di dunia setelah India dan China. 

Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan pada 2050 hasil panen akan berkurang 25 persen bila penduduk bumi tidak mengatasi isu perubahan iklim sejak sekarang.

"Angka-angka tidak berbohong, diperlukan kolaborasi para ilmuwan di Asia Tenggara untuk mengatasi bersama," kata Lourdes.

Oleh karena itu, ia mengatakan, kelompok ilmuwan iklim, kehutanan, dan pertanian dari Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam sepakat untuk berkolaborasi dalam penelitian untuk menghadapi peningkatan ancaman perubahan iklim.

Menurut dia, para ilmuwan ingin meletakkan dasar bagi jaringan regional untuk menggunakan sains sebagai dasar strategi pembangunan jangka panjang.

"Kita harus menyadari kerentanan kita. Tingkat kesiapan dalam menghadapi dampak perubahan iklim di antara negara-negara di Asia Tenggara berbeda. Dengan saling berbagi cara kerja, kita dapat secara kolektif mengatasi kesenjangan pengetahuan yang ada di wilayah ini," kata Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia.

"Kita memerlukan jaringan untuk memperkuat kerja sama karena ini adalah faktor kunci dalam meningkatkan kapasitas dan meningkatkan ketahanan bersama," katanya.

Baca juga:
9 kabupaten di NTT alami kekeringan ekstrem
Tiga provinsi diperkirakan mengalami hari tanpa hujan ekstrem


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019