Saya bacakan di sini, ada anggota DPR dari Komisi III, Bambang Soesatyo, Aziz Syamsudin, Masinton Pasaribu, Syarifuddin Sudding, Desmond Mahesa, dan satu lagi lupa. Betul itu?"
Jakarta (ANTARA) - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menyebut terdapat enam anggota DPR yang menekan Miryam S Haryani terkait kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (KTP-e)

Hal itu dikatakan Novel saat dia dan mantan anggota DPR RI Miryam S Haryani menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi pengadaan KTP-e dengan terdakwa anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu.

Baca juga: Jaksa cecar Miryam Haryani soal pertemuan dengan Markus Nari

Ketua majelis hakim Frangki Tambuwun awalnya menanyakan kepada Novel apakah Miryam pada saat diperiksa menyampaikan bahwa ada anggota DPR RI yang menekan atau mengintimidasi.

"Apakah waktu saudara memeriksa Miryam, saksi (Miryam) ada sampaikan tekanan dari anggota dewan?" tanya Frangki.

"Ya ada," jawab Novel

Namun, Novel mengaku lupa terkait nama-nama anggota DPR yang menekan Miryam. Dia hanya menyebut bahwa jumlah anggota DPR yang dimaksud sebanyak lima atau enam orang.

Frangki kemudian menanyakan apakah di antara enam anggota DPR tersebut terdapat nama terdakwa Markus Nari. Novel kembali mengatakan bahwa dirinya tidak mengingat nama-nama anggota DPR itu.

"Saya lupa yang mulia. Tapi seingat saya pernah saya sampaikan di pemeriksaan sebelumnya. Ada 5-6 orang saya lupa, cuma pernah saya sampaikan dalam keterangan saya di persidangan," kata Novel.

Selanjutnya, Jaksa KPK membuka berita acara pemeriksaan (BAP) Novel Baswedan dan membacakan ulang pernyataan Novel terkait nama-nama anggota DPR yang menekan Miryam.

"Saya bacakan di sini, ada anggota DPR dari Komisi III, Bambang Soesatyo, Aziz Syamsudin, Masinton Pasaribu, Syarifuddin Sudding, Desmond Mahesa, dan satu lagi lupa. Betul itu?" tanya jaksa kepada Novel.

"Betul, betul," ucap Novel.

Baca juga: Setnov dkk pernah tekan Miryam

Pernyataan Novel tersebut sama seperti rekaman yang diputar dalam sidang kasus keterangan palsu dengan terdakwa Miryam S. Haryani di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada 14 Agustus 2017 lalu.

Dalam rekaman tersebut, Miryam menceritakan intimidasi yang dia terima dari sejumlah anggota Komisi III DPR kepada penyidik Novel Baswedan.

Dalam rekaman tersebut diketahui bahwa orang-orang yang mengintimidasi Miryam adalah politikus PDIP Masinton Pasaribu, politikus Partai Gerindra Desmond Mahesa, politikus Partai Hanura Syarifuddin Sudding, politikus Partai Golkar Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo, serta politikus PPP Hasrul Azwar.

Namun yang menarik pada persidangan hari ini, Miryam mengatakan tidak ada tekanan dari Komisi III DPR.

Dia mengaku telah mengklarifikasi dalam persidangan sebelumnya terkait pernyataan adanya anggota Komisi III DPR yang melakukan intimidasi.

Miryam justru mengatakan bahwa tekanan yang dia peroleh berasal dari Novel Baswedan, ketika menyidik dirinya.

Menurut dia, saat itu Novel menekan dengan mengatakan bahwa dirinya akan ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Menekannya itu seingat saya waktu saya dipanggil pertama kali. Beliau (Novel) bilang Bu Yani itu mau ditangkap. Itu tahun 2010," ucap Miryam.

Selain Miryam dan Novel, Jaksa KPK juga menghadirkan satu orang saksi lainnya yakni Jaksa KPK Aryawan Agustiartono.

Markus Nari telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus terkait KTP-e.

Baca juga: Politikus Golkar Markus Nari didakwa rintangi perkara korupsi KTP-E

Pertama, Markus Nari diduga dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-e) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selain itu, Markus Nari juga diduga dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terhadap Miryam S Haryani dalam kasus indikasi memberikan keterangan tidak benar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada persidangan kasus KTP-e.

Kedua, KPK juga menetapkan Markus Nari sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e) 2011-2013 pada Kemendagri.

Sementara Miryam merupakan terpidana kasus memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan kasus KTP-el di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Miryam kini juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus KTP-e, bersama beberapa tersangka baru lainnya, yakni Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos (PLS), Dirut Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya (ISE) dan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-e atau PNS Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Husni Fahmi (HSF).

Dalam konstruksi perkara terkait peran Miryam disebutkan bahwa pada Mei 2011, setelah RDP antara Komisi II DPR RI dan Kemendagri dilakukan, Miryam meminta 100.000 dolar AS kepada mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke beberapa daerah.

Permintaan itu, disanggupi dan penyerahan uang dilakukan di sebuah SPBU di Pancoran, Jakarta Selatan melalui perwakilan Miryam.

Tersangka Miryam juga meminta uang dengan kode "uang jajan" kepada Irman sebagai Dirjen Dukcapil yang menangani KTP-el. Permintaan uang tersebut ia atasnamakan rekan-rekannya di Komisi II yang akan reses.

Sepanjang 2011-2012, Miryam diduga juga menerima beberapa kali dari Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto.

Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, Miryam diduga diperkaya 1,2 juta dolar AS terkait proyek KTP-el tersebut.

Baca juga: Miryam divonis 5 tahun penjara

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019