Jakarta (ANTARA) - Pada akhir November lalu, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis mengatakan aksi terorisme sepanjang 2019 menurun sebesar 57 persen jika dibandingkan dengan 2018.

Angka tersebut menunjukkan penurunan yang signifikan dan tentu menjadi kabar melegakan karena bangsa semakin aman, namun di sisi lainnya juga tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada potensi terorisme pada 2020.

Meskipun pimpinan ISIS Abu Bakr Al Baghdadi sudah dinyatakan tewas, ternyata hal tersebut tidak membuat jaringan sel-sel ISIS yang berada di Indonesia ikut lenyap.

Kelompok yang telah berbaiat ke ISIS seperti Jamaah Ansharut Daulah, Jamaah Anshorut Khilafah dan beberapa faksi-faksi pro-ISIS lain seperti Mujahidin Indonesia Timur dan Barat masih hidup di Indonesia, walau pun tinggal kelompok kecil dan kini berbaiat kepada pimpinannya baru mereka, pengganti Baghdadi.

Pakar Ilmu Keamanan dan Kontra Terorisme Universitas Padjadjaran, Dr Muradi, mengatakan selama sel-sel ISIS atau paham mereka masih eksis, selama itu pula tindakan teror bisa saja sewaktu-waktu dan menjadi ancaman keamanan.

Baca juga: Facebook hapus miliaran akun palsu dan konten terkait terorisme

Oleh karena itu, menurut dia, seluruh pihak harus terus waspada dan membentengi bangsa dari ancaman terorisme. Ada dua tindakan preventif yang perlu diterapkan mencegah terorisme, yang pertama tindakan dari sisi pemerintah, dan yang kedua dari sisi masyarakat.

"Dari pemerintah, tentunya dengan mengidentifikasikan dan menekan jaringan teror, juga perlu membuat kebijakan yang tepat untuk menekan perkembangan radikalisme di masyarakat dan ASN," tutur dia.

Pemerintah sudah melakukan pemetaan, identifikasi sampai banyak penangkapan terhadap orang-orang yang menjadi sel terorisme, terbukti pascakejadian penusukan Menko Polhukam ketika itu, Wiranto, dan teror pengeboman Mapolrestabes Medan, kepolisian langsung menangkap puluhan orang yang diduga terlibat jaringan terorisme.

"Tetapi untuk langkah pencegahan radikalisme di kalangan ASN, pemerintah harus mempertimbangkan kembali soal SKB menteri terkait radikalisme," ucapnya.

Baca juga: AIDA kampanyekan perdamaian korban dan mantan narapidana terorisme

Keputusan sebelas Kementerian dan Lembaga Negara yang menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme ASN, menurut dia bukan solusi dalam mencegah radikalisme dan terorisme berkembang di kalangan ASN.

"Saya menjadi salah satu yang khawatir itu menjadi pemicu publik tidak nyaman, pemerintah reaktif publik juga akan reaktif. Memanajemen ASN cukup dipanggil, dan ada sanksinya secara tertutup itu lebih mudah, kalau terbuka seperti ini malah reaksinya jadi besar," kata dia.

Kemudian, kebijakan pencegahan yang dilakukan pemerintah tentunya tidak akan berjalan dengan baik jika masyarakat sendiri tidak peduli terhadap bahaya terorisme.

"Teroris mencari tempat-tempat untuk tinggal dimana masyarakatnya tidak peduli lingkungannya, warga sekitar harus alert, misalnya, ketika ada tetangga baru entah mengontrak atau membeli rumah, dan juga terhadap perubahan perilaku warga setempat yang menunjukkan sifat intoleran," ujarnya.

Tindakan preventif warga ini sangat sederhana, namun memiliki kontribusi besar untuk menutup kemungkinan jaringan radikalisme atau teroris berkembang.

"Dari beberapa kejadian terlihat mereka mencari tempat tinggal di daerah yang akan menjadi sasaran penyerangan, seperti kasus Pak Wiranto," katanya.

Baca juga: BNPT reedukasi napi terorisme dengan wawasan kebangsaan

Tindakan penting warga selanjutnya kata Muradi, yaitu tidak merespon terhadap ajakan-ajakan, provokasi atau bentuk lainnya yang bersifat intoleran atau ekstrimisme yang berkembang di tengah masyarakat.

Sisi preventif terhadap pendatang, atau warga setempat yang berperilaku tidak toleran, ekstrimis bahkan radikal menjadi sangat penting menjaga lingkungan dari paparan bahaya terorisme.

Namun, bukan sikap itu saja yang penting, setiap orang juga harus punya sisi preventif bagi dirinya sendiri terhadap paparan ajaran radikalisme bahkan terorisme.

Salah satu pintu masuk radikalisme atau terorisme kata mantan narapidana terorisme, Sofyan Tsaury adalah ketika orang sedang berupaya mencari kebenaran dalam kehidupannya.

"Maka cerdas lah kita mencari seorang guru, mencari seorang ustadz yang akan membimbing. Nah, paham ISIS adalah kufur kepada taghut dan beriman kepada Allah, lalu kalau bertemu dengan tokoh Al Qaida mereka akan mengatakan solusi semuanya adalah dengan jihad," ungkap Sofyan.

Kemudian masyarakat, khususnya generasi muda yang masih duduk di bangku pendidikan ke depannya menurut dia perlu diajarkan mengenai adabul ikhtilaf atau adab ketika berbeda pendapat.

"Biasanya pada masa kuliah banyak yang sedang dalam pencaharian jati diri, dan mencari kebenaran. Kenapa kita ajarkan pada mahasiswa adabul ikhtilaf agar dia punya perbandingan ketika dia menemukan perbedaan, tidak langsung menelan mentah-mentah satu pendapat saja," ucap Sofyan.

Baca juga: Pro-kontra SKB Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara

Tidak terjebak diksi

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto mengatakan semua pihak jangan terlalu terjebak dengan diksi radikalisme dan deradikalisasi, karena yang terpenting penting adalah cara-cara menahan laju para pelaku teror atau radikal beraksi.

Soleman tidak setuju dengan diksi deradikalisasi, karena kata tersebut memberi arti ada pihak yang mengaku benar dan ada yang dicap radikal.

Sementara setiap orang dalam alam sadarnya pasti tidak terima dicap radikal, Soleman lebih suka memakai diksi "perbedaan cara pandang" daripada radikal.

"Ini soal diksi saja, apa pun cara yang dilakukan dibaliknya tidak masalah. Nah cara menahan tindakan itu banyak, bisa memperbaiki cara pandang yang radikal itu, juga mengontrol peredaran bahan peledak dan senjata," ujarnya.

Mantan narapidana terorisme, Sofyan Tsaury juga mengatakan hal senada, deradikalisasi jangan terpaku kepada diksi yang dipergunakan tetapi lebih kepada cara-cara yang tepat untuk menormalisasi kembali pelaku teror.

"Cara deradikalisasi selama ini saya rasa kurang efektif, mengatakan tindakan teroris salah dan menanamkan langsung ajaran moderat itu malah tidak bisa diterima para teroris," katanya.

Cara yang efektif untuk mengubah pola pikir dan keyakinan teroris kata dia dengan menurunkan level mereka secara bertahap, dari teroris turun menjadi radikal, kemudian turun menjadi moderat.

Baca juga: Alissa Wahid: Penguatan kebangsaan untuk tangkal ideologi radikalisme

Pemetaan teror 2020

Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib mengatakan peta potensi teror pada 2020 mulai berubah jika dibandingkan dengan teror yang telah terjadi selama ini.

Beberapa waktu belakangan para pelaku teror tidak lagi melakukan tindakan dengan skala besar seperti bom Bali, tetapi mereka mencoba memboncengi isu-isu tertentu, atau melakukan amaliah sendiri-sendiri seperti kejadian menimpa Wiranto.

"Mereka menggunakan yang ada disekitar, bisa kampak, golok atau pisau, yang dilakukan secara khusus kepada figur-figur atau yang dianggap menjadi musuh mereka, bisa saja polisi, pejabat pemerintah atau pihak asing misalnya duta besar," tambahnya.

Jaringan teroris ini melakukan apa saja, tidak lagi terpaku pada serangan berskala besar untuk menciptakan momentum menunjukkan eksistensi mereka pada pemimpin baru ISIS pengganti Baghdadi, yang disebut dengan Abu Ibrahim Al Hasyimi Al Quraisy.

"Mereka juga ingin menunjukkan konsistensi mereka pada pimpinannya Abu Ibrahim, dan juga menjadi amaliah yang menurut mereka merupakan tindakan berpahala," ucapnya menjelaskan.

Peta lokasi sasaran penyerangan pun juga berubah, tidak berupa rumah ibadah atau tempat-tempat asing berkumpul seperti kafe atau bar, tetapi sekarang bergeser ke tempat-tempat wisata.

"Saya kira harus diwaspadai objek-objek wisata nasional, saya harus sampaikan bahwa ada perintah dalam media sosial ISIS yang memerintahkan agar mereka meniru serangan di objek wisata yang terjadi di Yordania dan Inggris," kata Ridlwan.

Kemudian, momen-momen yang perlu diwaspadai pada 2020 yaitu momen Natal, pergantian tahun, hari besar keagamaan, Pilkada dan kegiatan-kegiatan yang isunya berpotensi bisa diboncengi oleh pelaku terorisme.

Namun, selain pada momen tersebut juga seluruh pihak juga tetap perlu waspada, karena para jaringan teror tidak hanya mengandalkan perintah dari pimpinan ISIS, tetapi mereka juga bisa melakukan amaliah sendiri-sendiri seperti kejadian penusukan Wiranto dan Bom Medan beberapa waktu lalu.

"Kita harus berhati-hati, waspada dan tidak boleh menyepelekan kita jaringan-jaringan yang berafiliasi pada ISIS," ujarnya.

Baca juga: Polda Bali resmikan Museum Penanggulangan Terorisme pertama di Bali

Baca juga: Moeldoko ungkap tujuan penerbitan SKB Radikalisme dan PP Terorisme

Baca juga: Mendagri: Data Dukcapil bantu penanggulangan terorisme


Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019