Jakarta (ANTARA) - Ahli lingkungan dari Lancaster University Dr Jacob Phelps mengatakan perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal berdampak pada banyak hal, termasuk peningkatan biaya rehabilitasi.

"Kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal tidak sebatas kerugian individu satwa, melainkan juga meningkatnya biaya rehabilitasi dan reintroduksi," kata dia saat diskusi virtual Bincang Hukum #2Wildlife in Indonesia loss, damage and sanctions yang di pantau di Jakarta, Selasa.

Di samping itu, dampak perdagangan ilegal tersebut juga meliputi pengurangan populasi lokal dan mempengaruhi kemampuan bertahan hidup spesies yang dilindungi hukum. Kemudian juga dampak terhadap ekosistem serta kerugian nilai ilmiah.

Terkait dampak meningkatnya biaya rehabilitasi dan reintroduksi dari perdagangan ilegal, dosen perubahan dan kebijakan lingkungan tropis tersebut, dia mencontohkan sejumlah kasus baik itu di Indonesia maupun negara lainnya.

Baca juga: Ahli hukum: Ganti rugi perdagangan satwa dilindungi bisa berbeda

Baca juga: Polisi Kapuas tangkap pelaku pembunuhan satwa dilindungi


Pertama, kasus PT Kallista Alam di Aceh pada 2012 menyebabkan pelaku terjerat pidana penjara serta denda sekitar sembilan juta dolar. Kemudian terdapat pertanggungjawaban kerusakan lingkungan sekitar 20 juta dolar yang dipergunakan untuk kerusakan terhadap biodiversitas, jasa lingkungan serta biaya restorasi.

"Biaya restorasi itu meliputi biaya penanaman ulang dan pengelolaan lahan seluas 1.000 hektare lebih dalam 11 tahun," ujarnya.

Begitu pula untuk kasus kerusakan lingkungan di Alaska pada 1989 terkait Exxon Vaildez Oil Spill terdapat pertanggungjawaban kerusakan kepada publik sebesar 900 juta dolar untuk restorasi, biaya interim dan biaya untuk menilai kerugian.

Kemudian kasus Blackbird Mine di Idaho pada 1983 terkait pencemaran oleh tambang yang berdampak pada kualitas air, spesies invertebrata dan beragam spesies ikan mengakibatkan biaya pengawasan untuk rencana restorasi dan ganti rugi bilogis sebesar satu juta dolar dan satu juta dolar lainnya untuk biaya kontigensi.

Jacob menilai dalam kasus kerusakan lingkungan banyak yang lebih fokus pada kegiatan restorasi daripada nilai dari kerugian itu sendiri. Hal itu sebagaimana terjadi dalam kasus Idaho dimana dibutuhkan 2,5 juta dolar yang didasarkan dari biaya untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk memulihkan 200 ikan usia produktif di sungai.

"Tapi sebenarnya gugatan perdata dapat menyediakan pemulihan sebagaimana kasus tumbuhan satwa liar ilegal di Medan dengan nomor 1731/Pid.B/2015/PN yakni untuk binatang tenggiling atau pangolin," ujar dia.

Dalam kasus tersebut diperdagangkan secara ilegal untuk daging dan sisik tenggiling sebanyak 89 ekor, lima ton pangilon beku dan 77 kilogram sisik pangilon. Kemudian dalam putusan terdapat satu tahun lima bulan penjara dan denda Rp50 juta.

Namun di samping itu, dalam gugatan perdata dapat menyediakan pemulihan termasuk biaya pemeliharaan dan pelepasliaran 89 pangolin hidup, biaya untuk menaikkan populasi pangolin liar terhadap setidaknya 213 individu yang dibunuh serta pemulihan terhadap kerugian reputasi, keilmuan dan budaya.*

Baca juga: Polda Banten ungkap penjualan daring satwa dilindungi

Baca juga: Warga serahkan bayi orangutan ke BKSDA Kalimantan Timur

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020