KPU menjalankan dua putusan MK, jadi kekuatan hukumnya sangat kuat.
Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan uji materi Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 bukanlah perkara menang kalah pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada Pemilu Presiden 2019.

Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa putusan MA terkait dengan PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum itu adalah pengujian norma saja.

"Intinya sebenarnya itu putusan bukan perkara apakah Pak Jokowi-Kiai Ma'ruf sudah menang atau tidak menang dalam pilpres, melainkan putusan tersebut merupakan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yakni peraturan KPU," katanya menjelaskan.

Baca juga: Putusan MA soal PKPU, Pakar: Tak ada implikasi pada Jokowi-Ma'ruf Amin

Pada ketentuan Pasal 3 Ayat (7) PKPU tersebut, kata dia, mengatur kalau pasangan presiden hanya dua pasang maka cukup satu putaran dan siapa pun yang memperoleh suara terbanyak maka dinyatakan sebagai pemenang.

Menurut dia, tidak berlaku ketentuan dalam Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 pada penentuan pemenang, seperti harus menang di setengah dari jumlah provinsi atau sekurang-kurangnya 20 persen sebaran wilayah.

"Tidak dipakai itu diatur dalam PKPU, nah, karena Pasal 416 dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu tidak mengatur tentang hal itu, dianggap MA, KPU kok ngatur sendiri, sementara tidak ada cantolannya di dalam undang-undang," katanya.

Oleh sebab itu, MA menganggap KPU mengatur sendiri. Hal tesebut bertentangan dengan undang-undang yang sama sekali tidak mengaturnya. Karena pendapat tersebut, MA membatalkan Pasal 3 Ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019.

"Tapi begini masalahnya, Pasal 3 Ayat (7) itu, KPU melaksanakan sesuai dengan Putusan MK Nomor 50 Tahun 2014," kata Yusril.

MK, kata dia, sudah melakukan pengujian undang-undang dan menafsirkan Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 tentang formula pemilihan serta Pasal 158 UU No. 42/2008 tentang Pilpres, tafsirannya kalau pasangan calon presiden hanya dua pasang maka pemenang adalah yang memperoleh suara terbanyak.

Baca juga: KPU tanggapi Putusan MA terkait PKPU 5 Tahun 2019

"Pasal 158 UU No. 42/2008 dan Pasal 416 UU No. 7/2017 tentang Pemilu itu isinya sama, saya sudah sandingkan. Karena bunyinya sama, putusan MK itu juga berlaku terhadap ketentuan Pasal 416 UU Pemilu," katanya menerangkan.

Yusril mengatakan bahwa Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 memang tidak begitu jelas mengatur pengaturan kalau asumsinya calon presiden hanya ada dua pasang saja.

"'Kan itu tidak jelas aturan Pasal 6A UUD 1945. Oleh karena itu MK menafsirkan kalau pasangan itu cuma dua, sebaran wilayah tidak berlaku, otomatis suara terbanyak yang berlaku. UUD 1945 yang ditafsirkan, jadi undang-undang di bawahnya berlaku semua," katanya menegaskan.

Oleh sebab itu, menurut Yusril, KPU membuat PKPU tersebut tidak salah karena sudah mengacu pada Putusan MK No. 50/2014. Kekuatan putusan MK dalam menguji undang-undang sama dengan undang-undang itu sendiri.

Namun, persoalannya, lanjut Yusril, MA memeriksa PKPU dengan undang-undang terkait, kemudian karena Pasal 3 Ayat (7) PKPU tersebut tidak ada aturannya dalam undang-undang, MA berkesimpulan aturan tersebut tidak mengacu UU.

Kalau hakim M hanya melihat korelasi PKPU dengan UU Pemilu saja, tentunya akan memutuskan pasal dalam PKPU harus dibatalkan.

Baca juga: Joko Widodo dan Ma'ruf resmi dilantik sebagai Presiden dan Wapres RI

"Akan tetapi, kalau hakim pikirannya luas, dia akan melihat putusan MK, harus dipertimbangkan, cuma persoalannya Mahkamah Agung tidak bisa menguji peraturan perundang-undangan itu dengan keputusan MK. Dia tidak bisa menguji, di situlah sebenarnya letak problematika hukumnya," ucapnya.

Ia menegaskan bahwa KPU tidak salah dalam membuat peraturan karena telah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada, bahkan mengacu dua putusan MK. Sementara itu, putusan MK itu sendiri sama kuatnya dengan undang-undang, bahkan undang-undang bisa dibatalkan oleh putusan MK.

"MK menafsirkan dan memberi makna sendiri pada undang-undang, jadi dia punya kekuatan sama dengan undang-undang. Tidak hanya itu, KPU menjalankan dua putusan MK, jadi kekuatan hukumnya sangat kuat," ucapnya.

Selain Putusan MK No. 50/2014, KPU juga menjalankan putusan, yakni terkait dengan MK menolak gugatan Prabowo-Sandi secara keseluruhan. Pada putusan tersebut, MK memerintahkan KPU untuk menindaklanjuti putusan tersebut.

"Menindaklanjutinya dengan mengesahkan Pak Jokowi-Kiai Ma'ruf sebagai presiden/wakil presiden terpilih, jadi ada dua keputusan MK yang dilaksanakan oleh KPU, dan itu sangat kuat," katanya menandaskan.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020