Tapi, pertanyaannya diskresi itu kebablasan atau tidak?
Jakarta (ANTARA) - Pengamat tata kota Yayat Supriyatna menyatakan proyek reklamasi Ancol yang saat ini dipermasalahkan, tidak mempunyai dasar hukum yang jelas untuk dieksekusi.

Masalah dalam perizinan reklamasi Ancol yang diterbitkan Anies lewat Keputusan Gubernur Nomor 273 Tahun 2020, kata Yayat di Jakarta, Jumat, karena tidak memiliki payung hukum yang sesuai, yakni Pembaruan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Zonasi.

Hal itu karena, menurutnya, Perda Nomor 1 Tahun 2014 Tentang RDTR tak mencantumkan rencana perluasan kawasan rekreasi Ancol seluas 155 hektare (ha), dengan pembagian 35 ha untuk Pulau K dan 120 ha untuk Pulau L.

Alih-alih merujuk Perda, lanjutnya, Anies malah memegang landasan hukum berupa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI sebagai Ibu Kota NKRI dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Baca juga: Pemprov DKI disarankan tanam mangrove di lokasi reklamasi Ancol

Ia menilai kurang tepat jika Gubernur Anies menggunakan kewenangan diskresinya untuk melengkapi revisi Perda RDTR. Diskresi itu dibolehkan jika terjadi kekosongan hukum, terjadi ketidakjelasan dan terjadi kepentingan yang sangat strategis.

"Tapi, pertanyaannya diskresi itu kebablasan atau tidak? Jangan sampai diskresi melanggar aturan hukum yang ada. Artinya, kalau diskresi itu dibuat dengan melanggar perda yang ada, itu tidak boleh," tutur dia.

Yayat, lebih lanjut, menyebut ada ancaman sanksi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jika tetap mengizinkan proyek reklamasi Ancol, sesuai yang tercantum dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.

"Bagi pejabat yang mengizinkan penyelenggaraan kegiatan yang tidak ada di dalam rencana kegiatan tata ruang, itu kena hukuman. Hukumannya lima tahun (penjara) dan ada denda," ujar Yayat.

Baca juga: KSTJ sebut ada empat pelanggaran reklamasi Ancol

Lebih jelasnya, Pasal 73 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Kemudian, dalam Pasal 73 ayat (2), menyebut bahwa selain sanksi pidana, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

Karena itu, Yayat mendorong Anies untuk menunda perizinan reklamasi Ancol sampai ada pembahasan revisi Perda RDTR dan zonasi bersama DPRD DKI.

"Kenapa tidak dibuat perdanya dulu saja? Kenapa perdanya digantung terlalu lama? Kalau ini dibiarkan maka akan menjadi yurisprudensi buat kepala daerah lain untuk melakukan pelanggaran yang sama," tuturnya.

Baca juga: Anies klaim akan buat museum sejarah nabi terbesar setelah Saudi

Perizinan perluasan kawasan Ancol ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 pada 24 Februari 2020. Rinciannya, izin perluasan kawasan rekreasi seluas 35 ha untuk rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) dan 120 ha untuk perluasan lahan di kawasan Ancol Timur.

Tanah yang akan digunakan dalam proyek reklamasi Ancol merupakan hasil pengerukan sungai dan waduk dari program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) dan Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) yang telah berjalan sejak 2009.

Nantinya, lahan reklamasi akan digunakan untuk membangun fasilitas rekreasi, di antaranya Bird Park, Masjid Apung, Symphony of The Sea, New Resto dan pedestrian bundaran timur. Fasilitas ini akan mulai dibangun pada 2021.

Selain itu, akan dibangun juga Dufan Hotel, Symphony of The Sea tahap 3 (Bundaran Timur ke lumba-lumba) dan tahap 4 (lumba-lumba ke dunia fantasi) yang ditargetkan akan dibangun pada 2022.

Baca juga: Anies tegaskan reklamasi Ancol berbeda dengan 17 pulau sebelumnya

Kemudian, ada Ancol Residence mulai dibangun pada 2021 hingga 2024 dan Ocean Fantasy dibangun 2021 hingga 2023.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020