Ratusan kapal industri besar yang berasal dari China kemungkinan melanggar sanksi PBB dan menangkap banyak cumi-cumi terbang Pasifik yang bernilai hampir setengah miliar dolar (sekitar Rp 7,5 triliun)
Seoul (ANTARA) - "Armada gelap" yang diyakini berasal dari China telah memancing di perairan Korea Utara, yang berpotensi memberi bayaran ilegal senilai jutaan dolar kepada Pyongyang meskipun ada larangan sanksi PBB.

Kegiatan memancing "armada gelap" itu pun memaksa kapal-kapal kecil Korea Utara untuk menyingkir lebih jauh, kata serangkaian laporan pada pekan ini .

Penjaga pantai serta para ahli independen Korea Selatan yang memantau pelaksanaan sanksi PBB untuk Korea Utara telah melaporkan selama bertahun-tahun bahwa kapal-kapal asal China telah terpantau sedang memancing di perairan Korea Utara.

Dalam beberapa kasus, kapal-kapal China itu membayar untuk mendapatkan hak menangkap ikan dari otoritas Korea Utara.

Baca juga: Kedubes: Korut lepaskan kapal nelayan Rusia
Baca juga: Korea Utara minta Jepang beri ganti rugi untuk kapal nelayan


Dalam beberapa laporan baru, termasuk satu yang diterbitkan dalam jurnal "Science Advances" pada Rabu, lebih dari belasan peneliti dari sejumlah kelompok maritim dan perikanan menggunakan algoritma pembelajaran mesin dalam menganalisis citra satelit untuk melacak "armada gelap".

Yang dimaksud dengan "armada gelap" itu adalah kapal-kapal yang tidak muncul dalam sistem pemantauan publik, yang diduga memancing di perairan Korea Utara dari 2017 hingga 2019.

"Ratusan kapal industri besar yang berasal dari China kemungkinan melanggar sanksi PBB dan menangkap banyak cumi-cumi terbang Pasifik yang bernilai hampir setengah miliar dolar (sekitar Rp 7,5 triliun) ," kata salah satu kelompok pemantau maritim, Global Fishing Watch, dalam sebuah pernyataan.

Lebih dari 900 kapal seperti itu terpantau pada 2017, dengan lebih dari 700 kapal terlacak pada 2018 dan 2019, kata para peneliti.

Menurut laporan terbaru panel ahli PBB pada Maret, Korea Utara tidak akan menerima uang dari hasil tangkapan laut itu, tetapi panel ahli PBB mengatakan Pyongyang terus menjual hak menangkap ikan di perairan Korut, dengan bayaran sekitar 120 juta dolar AS (sekitar Rp1,75 triliun) pada 2018.

Pemerintah China mengatakan pihaknya telah mematuhi semua sanksi PBB, dan mengatakan kepada PBB bahwa taktik penghindaran yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan membuat pemerintah sulit untuk memverifikasi apakah sebuah kapal tertentu terlibat dalam penangkapan ikan secara ilegal.

Kapal-kapal besar penangkap ikan asal China juga memaksa kapal-kapal Korea Utara yang lebih kecil untuk berkeliaran jauh dari rumah mereka, sehingga mengarah pada insiden internasional di sekitar kawasan itu, kata laporan Global Fishing Watch pekan ini.

Ribuan kapal penangkap ikan Korea Utara terlacak berada di perairan Rusia, yang akhirnya mengarah pada perselisihan hukum dengan pihak berwenang Rusia, kata laporan itu.

Kapal-kapal penangkap ikan Korea Utara jarang dilengkapi dengan peralatan untuk perjalanan jarak jauh.

Oleh karena itu, ketika kapal-kapal Korut itu berkeliaran jauh dari pelabuhan asal mereka, hal tersebut mungkin berkontribusi terhadap peningkatan jumlah penemuan "kapal hantu" yang tersapu ke pantai Jepang dan negara-negara lain, kata laporan itu.

"Kapal hantu" adalah istilah untuk kapal-kapal yang ditemukan terdampar dengan jenazah manusia atau tidak ada orang sama sekali di dalamnya.

Sumber: Reuters

Baca juga: Jepang cari kapal Korut yang dilaporkan tenggelam di perairannya
Baca juga: Rusia sita kapal penangkap ikan Korut

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020