Jakarta (ANTARA) - Berada di antara Benua Australia dan Asia, serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang banyak diuntungkan berkat letak geografisnya yang sangat strategis.

Tanah subur yang menghasilkan banyak jenis pertanian dan wilayah perairan sangat luas yang menghasilkan berbagai macam hasil laut juga memungkinkan pemanfaatan yang bisa diupayakan seluas-luasnya bagi kesejahteraan rakyat.

Sayangnya, pemanfaatan sumber daya alam yang kurang baik, seperti alih fungsi lahan yang kurang tepat, pembakaran lahan hingga penebangan hutan secara tidak bertanggung jawab masih kerap terjadi sehingga memicu bencana tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir dan bencana alam lainnya.

Indonesia secara geologi juga berada pada Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik yang ditandai dengan adanya deretan gunung berapi, mulai dari Pulau Sumatera, Jawa hingga Sulawesi, sehingga memungkinkan sering terjadinya letusan gunung berapi.

Selain itu, Indonesia juga berada di tiga pertemuan Lempeng Pasifik, Indo-Australia dan Eurasia, sehingga adanya pergerakan pada lempeng-lempeng tersebut dapat memicu terjadinya gempa bumi, tsunami, bahkan aktivitas gunung api.

Belum lagi bencana hidrometeorologi, seperti bencana banjir dan kekeringan yang dipengaruhi oleh perubahan iklim, semakin melengkapi popularitas Indonesia sebagai negara seribu satu bencana.
Seorang warga mengambil air di sebuah sungai yang telah tertimbun tanah akibat longsor di tengah bencana kekeringan di Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (30/10/2019). (ANTARA/Katriana)

Di tengah pandemi COVID-19 yang tidak hanya mencekam dunia, tetapi juga Tanah Air, Indonesia juga dihadapkan pada potensi terjadinya tsunami sampai 20 meter di pantai selatan Jawa jika dua segmen megathrust pecah secara bersamaan, menurut hasil penelitian Guru Besar Seismologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro.

Selain itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Kamis (15/10), juga mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai La Nina pada musim hujan yang puncaknya diperkirakan akan terjadi pada Desember 2020 hingga Februari 2021, karena fenomena alam itu dapat memicu bencana hidrometeorologi, seperti longsor, banjir dan banjir bandang.

Bertepatan dengan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2020, pemerintah mengajak semua elemen masyarakat, termasuk lembaga sosial dan organisasi masyarakat, untuk menyadari pentingnya membangun ketangguhan di tengah pandemi COVID-19, sekaligus memberikan kontribusi dan perannya masing-masing dalam upaya mengurangi risiko bencana di Indonesia.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo mengatakan bahwa peringatan bulan PRB 2020 merupakan salah satu bentuk nyata untuk menyatukan sinergi serta kontribusi dari seluruh komponen bangsa dalam pengurangan risiko bencana.

"Berbagai aktivitas dan aksi yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, perguruan tinggi, media massa dan juga masyarakat menjadi bagian dan satu rangkaian penting dalam peringatan bulan Pengurangan Risiko Bencana 2020," katanya di puncak peringatan bulan PRB 2020, Jakarta, Selasa (13/10).

Peran dan kontribusi dalam pengurangan risiko bencana tersebut, salah satunya ditunjukkan oleh organisasi sosial kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI).

Sejak berdiri pada 17 September 1945, satu bulan setelah Bangsa Indonesia merdeka, PMI sampai saat ini terus berupaya mengabdikan diri untuk bangsa melalui aksi-aksi kemanusiaannya.

Tidak hanya menyediakan donor darah bagi masyarakat yang membutuhkan, PMI juga berupaya untuk terus berada di garda terdepan dalam aksi penanggulangan dan pengurangan risiko bencana di Tanah Air.

Ketua Bidang Penanggulangan Bencana PMI Letjen TNI (Pur) Sumarsono menyatakan upaya pengurangan risiko bencana tersebut dilakukan, salah satunya dengan mencoba membangunkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penanganan risiko sehingga mereka tangguh saat menghadapi bencana di lingkungan sekitar.

"Dalam penyelenggaraan kepalangmerahan ini kita mengacu kepada tugas yang diberikan, yaitu membantu membangunkan masyarakat tangguh bencana," kata Sumarsono.

PMI terus berupaya membantu pemerintah dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia, baik dengan memberikan bantuan kepada korban, memberikan pelayanan darah, mengerahkan relawan dan juga dengan membangunkan ketangguhan masyarakat terhadap bencana.

Membangun ketangguhan masyarakat

Dalam upaya membangun masyarakat tangguh bencana, PMI melakukan aksi kemanusiaannya di daerah-daerah rawan bencana dengan mengutamakan beberapa strategi.

Strategi-strategi tersebut, antara lain adalah dengan mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana, melakukan adaptasi perubahan iklim dan upaya pelestarian lingkungan dalam kebijakan pengurangan risiko bencana.

PMI juga mempromosikan perilaku tangguh bencana, mulai dari tingkat keluarga, masyarakat, maupun kepada desa-desa yang rawan terkena bencana.

Berikutnya, dalam pemulihan pascabencana sendiri, PMI juga mengupayakan pembangunan kembali daerah yang terkena bencana sehingga daerah tersebut menjadi lebih baik dan lebih tangguh.

Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut, PMI mengakui perlunya kerja sama dan gotong royong dari organisasi kemasyarakatan lain. Oleh karena itu, PMI berupaya meningkatkan kerja sama strategis yang berkesinambungan, baik dengan pemerintah, swasta, gerakan masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya.

"Tentunya dengan mengutamakan keberpihakan kepada masyarakat yang memerlukan bantuan," kata Sumarsono.

Selain itu, untuk membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana, PMI juga berupaya mengutamakan pengelolaan risiko secara terpadu dengan secara penuh melibatkan partisipasi seluruh warga masyarakat.

Senada dengan PMI, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (Muhammadiyah Disaster Management Center/MDMC) Budi Setiawan juga menilai kapabilitas masyarakat dalam penanganan bencana dapat membantu menurunkan dampak bencana.

"Kalau masyarakat punya kapabilitas dalam hal kebencanaan, maka risikonya bisa turun," kata Budi Setiawan.

Keterlibatan masyarakat tersebut, menurut dia, sangat diperlukan dalam penanggulangan bencana karena mereka dapat menjadi orang-orang pertama yang terkena dampak sekaligus menjadi orang-orang yang pertama kali memberikan respons terhadap bencana yang mereka hadapi.

Oleh karena itu, upaya meningkatkan pemahaman mereka terhadap bencana perlu menjadi salah satu bagian dari upaya penanggulangan bencana itu sendiri.

"Bahkan menjadi sangat janggal kalau kita tidak mengupayakan keterlibatan masyarakat secara utuh dalam hal pengurangan risiko bencana," katanya.

Untuk itu, dalam upaya membangun kapabilitas masyarakat, MDMC melakukan sejumlah program, antara lain program satuan pendidikan aman bencana dan program masyarakat tangguh bencana.

Dalam program satuan pendidikan aman bencana tersebut, MDMC bersama BNPB dan gerakan masyarakat lainnya berupaya membekali pengetahuan kepada masyarakat, terutama kepada siswa di sekolah, tentang cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi bencana.

Sehingga dengan pengetahuan tersebut, MDMC berharap mereka dapat memahami dan mencegah terjadinya bencana dengan mengurangi potensi risikonya.

Adapun dalam program masyarakat tangguh bencana, MDMC berupaya mengingatkan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki peran dan potensi untuk ikut serta dalam penanggulangan bencana di lingkungan mereka. Untuk itu, kesadaran tersebut perlu terus menerus dibangun di dalam organisasi kemasyarakatan mereka masing-masing.

Sementara itu, dalam upaya mengurangi risiko dan meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana, MDMC PP Muhammadiyah dengan melibatkan masyarakat juga telah melakukan beberapa kegiatan, antara lain dengan mengupayakan pelestarian alam dan lingkungan.

Pelestarian lingkungan

Dalam pelestarian lingkungan tersebut, MDMC melakukan sejumlah kegiatan yang ditujukan untuk melestarikan alam dan lingkungan, di antaranya adalah dengan program sedekah sampah, penanaman mangrove dan pelestarian sungai.

Sedekah sampah tersebut diupayakan karena MDMC menyadari bahwa masyarakat pada dasarnya merupakan produsen sampah. Tetapi dengan metode pengelolaan tertentu, MDMC meyakini bahwa sampah-sampah tersebut bisa menjadi amal sedekah dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan itu sendiri.

Selanjutnya, penanaman mangrove yang sejauh ini telah dilakukan, baik di pantai utara maupun selatan, diupayakan karena MDMC menyadari bahwa penanaman mangrove di banyak pantai akan berpotensi mengurangi risiko bencana sekaligus meningkatkan kelestarian alam.

Adapun upaya melestarikan sungai juga diusahakan karena MDMC menyadari bahwa sungai merupakan bagian yang sangat penting dari alam dan merusak keberadaan sungai dapat berisiko meningkatkan potensi bencana. Sehingga dengan menjaga kelestarian sungai, risiko bencana juga diharapkan dapat sekaligus dicegah.

Baca juga: Membangun ketangguhan kebencanaan di tengah ancaman pandemi

Berbagai upaya pengurangan risiko bencana telah dilakukan oleh banyak lembaga dan organisasi kemasyarakatan.

Menurut Wakil Ketua I Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suprayoga Hadi, upaya pengurangan risiko bencana yang berbasis komunitas sangat diperlukan dan menjadi salah satu hal yang tidak bisa diabaikan.

Baca juga: Sibat PMI membangun ketangguhan berbasis ekosistem dan investasi

Namun demikian, peran dan kontribusi setiap komponen masyarakat tersebut masih belum optimal, sehingga upaya integrasi, sinergi dan konsolidasi perlu dilakukan guna memperkokoh ketahanan dan ketangguhan masyarakat terhadap bencana.
Baca juga: PMI luncurkan program membangun ketangguhan dan kesiagaan bencana

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020