Surabaya (ANTARA) - Tim Kuasa Hukum Pasangan Cawali dan Cawawali Surabaya Eri Cahyadi dan Armuji (Erji) optimistis Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan gugatan Pilkada Surabaya dilayangkan Paslon Machfud Arifin dan Mujiaman (Maju) yang kini memasuki sidang perdana di MK.

"Perkaranya memang diterima dan diregister. Tapi ujungnya selalu putusannya tidak dapat diterima atau di-N O karena Pemohon dianggap tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum karena selisih perolehan suara melewati ambang batas," kata Kuasa hukum Eri-Armuji Arif Budi Santoso.

Arif mengatakan, pihaknya telah siap 100 persen menghadapi sengketa di MK. Eri-Armuji akan menjadi pihak terkait dalam gugatan tersebut.

"Bismillah, kita siap 100 persen. Sebagai pihak terkait, kami akan menyampaikan keterangan-keterangan yang bakal mematahkan tudingan tidak berdasar paslon Machfud-Mujiaman," ujar Arif.

Baca juga: MA-Mujiaman minta MK batalkan putusan KPU terkait Pilkada Surabya
Baca juga: Sidang sengketa Pilkada Surabaya di MK dijadwalkan 26 Januari 2020
Baca juga: MA-Mujiaman tunggu panggilan sidang gugatan Pilkada Surabaya di MK


Arif telah mencermati seluruh isi pokok permohonan yang dilayangkan Machfud-Mujiaman. Ia meyakini, MK tetap akan teguh pada UU 10/2016 tentang Pilkada yang di dalamnya mengatur soal selisih ambang batas hasil Pilkada yang bisa digugat di MK.

"Dalam sejarahnya, MK pasti selalu konsisten menolak setiap gugatan Pilkada yang melebihi ambang batas selisih suara sesuai ketentuan pasal 158 UU 10/2016. Dalam konteks daerah dengan populasi seperti Surabaya, ambang batas selisih suara yang bisa diajukan gugatan maksimal 0,5 persen. Sedangkan, Eri-Armuji menang dengan selisih 13,8 persen," ujar Arif.

Sesuai hasil rekapitulasi KPU, Eri-Armuji meraup 597.540 suara, sedangkan Machfud-Mujiaman 451.794 suara, dengan total suara sah 1.049.334. Terdapat selisih lebih dari 145.000 suara.

"Kami yakin, MK teguh pada UU Pilkada, sehingga pada sidang putusan sela nantinya, gugatan Machfud-Mujiaman akan ditolak karena melebihi ambang batas selisih suara yang bisa disengketakan," ujar Arif.

Arif menegaskan, dalam sejarahnya, ada enam daerah di Papua yang oleh MK ditunda pemberlakuan ambang batas dalam sengketa Pilkada. Tapi itu terjadi karena di enam daerah tersebut terjadi pelanggaran terkait proses penghitungan suara, sehingga penghitungan suara belum selesai atau tidak terdapat kejelasan berapa suara total hasil pilkada yang bisa dijadikan referensi dalam penghitungan ambang batas.

"Jadi di enam daerah di Papua, hasil suaranya tidak jelas, karena terjadi case khusus, yaitu voting fraud atau permasalahan terkait pemungutan dan penghitungan suara. Misalnya, di beberapa distrik, penghitungan suaranya tidak selesai, kemudian rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa wilayah tidak dilaksanakan oleh KPU setempat, sehingga MK tidak memiliki pegangan berapa suara akhir yang bisa dijadikan referensi untuk menghitung ambang batas," ujarnya.

Arif juga menyoroti soal isi pokok permohonan yang dilayangkan Machfud-Mujiaman. Ia menegaskan, seluruh hal yang disengketakan di MK, semua sudah ditangani Bawaslu Kota Surabaya dan Bawaslu Jatim.

"Dan tidak ada yang terbukti, termasuk misalnya soal surat Bu Risma yang dipermasalahkan, tidak dinyatakan melanggar oleh Bawaslu," ujarnya.

Demikian pula, lanjut Arif, berbagai program pembangunan dari Pemkot Surabaya yang dituduh oleh Machfud-Mujiaman digunakan untuk menggalang suara warga bagi Eri-Armuji.

"Program-program pembangunan selama ini dikerjakan secara kontinyu, ajek dan reguler oleh Pemkot Surabaya. Ada atau tidak ada Pilkada, pembangunan jalan terus. Tahun 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, Pemkot Surabaya ya terus membangun, masak pembangunan 2020 dipermasalahkan?" kata Arif.

Tim Kuasa Hukum Machfud-Mujiaman (Maju) Veri Djunaidi mengatakan Maju menyadari MK semakin berjalan menuju peradilan yang maju dan semakin menjunjung keadilan substansial dalam setiap perkara yang diperiksa dan diputus. Tidak terkecuali dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

"MK enggan menyandera kakinya menjadi hanya sekedar Mahkamah Kalkulator dalam setiap perkara pemilihan. Karena banyak kasus dan pengalaman empirik menunjukkan adanya pelanggaran massif dalam pemilihan kepala daerah tidak dapat diproses akibat syarat formil ambang batas," ujarnya.

 

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021