Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian mendukung langkah pembatasan WNA masuk ke Indonesia sebagai mitigasi penanganan COVID-19.

“Hal ini diperlukan untuk meminimalisasi potensi masuknya mutasi virus COVID-19 yang telah terdeteksi di Inggris, Afrika Selatan, dan sejumlah negara di Asia," ujar Andre dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Andre mengapresiasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan pembatasan masuk Warga Negara Asing (WNA) dan Warga Negara Indonesia (WNI) yang datang dari luar negeri. Hanya saja, pelaksanaannya harus dilakukan dengan konsisten agar berdampak pada penurunan penyebaran virus.

"Pemerintah sudah melakukan mitigasi dengan PPKM Jawa-Bali untuk mengurangi pergerakan penduduk. Sudah melakukan pelarangan WNA untuk datang ke Indonesia, kecuali memenuhi persyaratan. Semoga ini bisa mencegah masuknya mutasi virus COVID-19 yang disebut lebih berbahaya,” tambah Andre.

Baca juga: ILUNI UI: Masih ada perbedaan pemahaman terhadap pandemi COVID-19

Baca juga: ILUNI luncurkan riset masa depan Indonesia


Selain pembatasan pergerakan penduduk dalam dan luar negeri, Andre juga mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan kesiapan vaksinasi COVID-19. Tidak hanya terkait distribusi maupun teknis pemberian, namun pemerintah harus sigap akan implikasi mutasi virus terhadap vaksin yang telah ada.

“Ada lima vaksin yang disetujui, yang sudah mulai dari Sinovac. Kita belum dapat informasi apakah vaksin ini bekerja untuk varian baru,” tambah dia.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K) MARS DTM&H DTCE mengatakan kemunculan terjadinya mutasi yang membentuk varian baru lumrah terjadi. Adanya kemungkinan mutasi yang baru muncul dan bermasalah terhadap kerja vaksin menjadi tugas bagi industri vaksin global.

“Vaksin harus siap untuk disesuaikan berdasarkan kondisi mutan SARS CoV-2 agar kinerja vaksin masih efektif dalam mengenali SARS CoV-2,” jelas Tjandra.

Lebih lanjut, Tjandra menyatakan munculnya mutasi SARS CoV-2 varian D614 sebenarnya sudah lama, tepatnya sejak Februari 2020.

“Menariknya, Pemerintah Inggris melaporkan kemunculan mutasi D614 di Inggris kepada WHO dalam kerangka International Health Regulation yang mengatur kemungkinan penularan penyakit antarnegara. Selain di Inggris, mutasi SARS CoV-2 juga terjadi di Afrika Selatan,” imbuh dia.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Alergi-Imunologi Indonesia Dr dr Iris Rengganis SpPD-KAI meyakinkan varian baru SARS CoV-2 dari Inggris tidak memengaruhi kerja vaksin yang sudah beredar saat ini. Namun, varian baru dari Afrika Selatan masih dalam pantauan dampaknya terhadap kerja vaksin yang sudah ada saat ini.

Dia menyebut mutasi tetap akan terjadi pada virus. Ada yang bersifat kecil-kecilan dan ada yang bersifat besar-besaran. Misalnya, pada virus influenza akan berubah setiap tahunnya. Jadi, WHO akan mengumumkan kepada produsen, vaksin tipe strain virus apa saja yang akan beredar pada tahun selanjutnya. Sehingga, vaksin untuk virus influenza setiap tahun akan dibuat yang baru.

Namun, dr Iris meyakinkan mutasi varian B117 di Inggris tidak mempengaruhi efektivitas vaksin atau netralisasi vaksin, karena mutasi hanya bersifat sebagian saja pada permukaan virus (spike virus). Berbeda dengan penemuan mutasi SARS CoV-2 yang ditemukan di Afrika.

Baca juga: Iluni UI nilai ego sektoral hambat penanganan COVID-19

Baca juga: Iluni UI bantu 4.050 paket sembako dan APD tenaga medis


”Yang jadi masalah B1351 di Afrika Selatan menunjukkan dualitas. Kalau kadar netralisasinya tinggi itu baik, namun jika rendah tidak berhasil untuk dinetralisasi. Bisa jadi vaksin menjadi tidak efektif,” tambah Iris.

Epidemiolog Universitas Indonesia dr Pandu Riono MPH PhD mengingatkan vaksin bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi pandemi. Menurut dr Pandu, tak perlu ada persyaratan-persyaratan yang menghambat proses vaksinasi.

“Kata-kata layak dan tidak layak itu sangat mengganggu, kemudian tidak ada referensinya. Jangan buat persyaratan-persyaratan yang menghambat di lapangan,” ucapnya.

Pandu menjelaskan vaksin aman untuk lansia 60 tahun ke atas. Dari semua tenaga kesehatan yang jadi prioritas, nakes paling berisiko adalah nakes 60 tahun ke atas. Sinovac adalah salah satu vaksin yang disebutnya tidak memberikan batasan pemberian berdasarkan usia.

“Vaksinasi ini bermanfaat untuk mencegah angka hospitalisasi dan menurunkan angka kematian. Negara yang memprioritaskan tenaga medis dan lansia 60 tahun ke atas, angka kematian pada usia tersebut yang tadinya 30 persen turun jadi 7 persen,” imbuh Pandu.

Pandu meminta pemerintah untuk tidak menyangkal dengan permasalahan yang sangat besar. Saat ini, Indonesia berkejaran dengan makin meningkatnya penularan, serta mutasi virus yang alamiah pasti terjadi.

Untuk itu, Pandu meminta pemerintah memprioritaskan pandemi dibandingkan ekonomi, serta melibatkan masyarakat sebagai garda terdepan.

“Kita harus benar-benar menangani pandemi dengan manajemen modern, yaitu dengan rencana. Sampai saat ini, Indonesia belum punya perencanaan. Kita dorong pemerintah untuk membuat rencana. Tanpa perencanaan kita tidak tahu bagaimana. Jangan lagi mengulangi kesalahan lalu," kata Pandu.

Pewarta: Indriani
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021