Jakarta (ANTARA) - Siang itu dalam sidang lanjutan untuk mendengar jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU), Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tampak jemu.

Tidak ada jawaban terhadap berbagai dalil yang dilontarkan calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya Machfud Arifin-Mujiaman.

Padahal hanya dalam sidang itu KPU Surabaya memiliki kesempatan untuk menjawab, menjelaskan atau membantah semua dalil pelanggaran yang disebut pasangan nomor urut 2 itu apabila perkara tidak lanjut ke pembuktian.

KPU Surabaya melalui kuasa hukum Sri Sugeng Pujiatmiko hanya mengatakan permohonan itu bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus karena tidak mempersoalkan hasil pemilihan kepala daerah.

Selain itu, dalam eksepsi, KPU Surabaya menyatakan Machfud Arifin-Mujiaman tidak memiliki kedudukan hukum karena selisih suara melebihi ambang batas, yakni 0,5 persen atau 5.247 suara, sementara selisih suara Machfud Arifin-Mujiaman dan Eri Cahyadi-Armudji sebanyak 145.746 suara atau 13,8 persen.

Pada intinya KPU Surabaya sebagai termohon hanya menjawab pelaksanaan tahapan pemungutan dan penghitungan suara sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rekomendasi Bawaslu pun telah ditindaklanjuti.

Tidak ada penjelasan soal pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) berupa keterlibatan Pemerintah Kota Surabaya dan Tri Rismaharini sebagai Wali Kota Surabaya serta pelanggaran hukum tidak diproses dengan benar.

Dalam permohonannya, bahkan pemohon membuat peta sebaran kecurangan dan pelanggaran TSM di 20 dari total 31 kecamatan di Surabaya. Kemudian juga menjabarkan keterlibatan Tri Rismaharini dengan jabatan wali kota yang melekat. Namun, tidak ada jawab dari KPU Surabaya soal semua itu.

Ketika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi meminta penjelasan soal pelanggaran TSM, kuasa hukum KPU Surabaya berdalih pelanggaran TSM adalah kewenangan absolut Bawaslu Surabaya.

Saat ditanya beberapa kali oleh hakim pun, kuasa hukum termohon tetap pada pendirian keterangan soal pelanggaran TSM semestinya Bawaslu yang menjawab.

Baca juga: Bawaslu: Risma tak terbukti lakukan pelanggaran pilkada

Baca juga: Hakim MK minta penjelasan keterlibatan Risma dalam Pilkada Surabaya


Sampai akhirnya Hakim Konstitusi Saldi Isra menegur KPU Surabaya sebagai termohon yang seharusnya menjelaskan semua dalil pemohon yang menyangkut KPU Surabaya. Sementara Bawaslu Surabaya sebagai pihak pemberi keterangan sifatnya hanya membantu memberi keterangan saja.

Saldi Isra melanjutkan bertanya kepada KPU Surabaya tentang surat dari Tri Rismaharini untuk warga Surabaya yang berisi ajakan memilih salah satu pasangan calon.

Kali ini bukan kuasa hukum yang menjawab, melainkan Komisioner KPU Surabaya Agus Turcham. Ia awalnya menjawab tidak mengetahui surat tersebut karena bukan merupakan bagian dari bahan kampanye, tetapi kemudian berubah mengaku mengetahui keberadaan surat itu.

Kemudian ketika ditanya tentang peta kecurangan, setali tiga uang, Agus Turcham menyebut hal itu merupakan kewenangan penyelenggara pemilihan di tingkat pengawasan.

"Jadi ini Bawaslu lagi? Nanti Anda saya suruh jadi Bawaslu saja kalau begitu ini," ucap Saldi Isra.

Keterangan lebih lengkap
Keterangan yang disampaikan pihak terkait Eri Cahyadi-Armudji melalui kuasa hukumnya Tomuan Sugianto Hutagaol dan Arif Budi Santoso justru lebih lengkap menjawab dalil-dalil pemohon.

Soal keterlibatan Tri Rismaharini, misalnya, dijelaskan selain sebagai wali kota, perempuan itu juga merupakan pengurus struktural DPP PDI Perjuangan yang mengusung pasangan Eri Cahyadi-Armudji. Tri Rismaharini disebut juga merupakan juru kampanye resmi pasangan itu.

Mengenai surat kepada warga Surabaya yang ditanyakan hakim sebelumnya, hal itu pernah diajukan ke Bawaslu Jawa Timur, dan diputus laporan ditolak.

Pihak terkait juga membawa bukti surat KPU RI yang menyatakan desain pencantuman pejabat daerah yang merupakan pengurus partai pada bahan kampanye sesuai dengan ketentuan dan aturan. Padahal surat dari KPU RI itu sebenarnya merupakan jawaban untuk permohonan konsultasi yang disampaikan oleh KPU Surabaya.

Kuasa hukum Eri Cahyadi-Armudji bahkan menjawab soal dalil janji politik pemberian Rp175 juta per tahun, yakni mengakui janji itu disampaikan, tetapi sudah diproses Bawaslu Jawa Timur dan pemeriksaan tidak dilanjutkan.

Begitu pun dalil peta pelanggaran juga dijawab oleh pihak terkait bahwa tidak terdapat keterkaitan antara surat Tri Rismaharini dan perolehan suara dengan menampilkan tabel kemenangan pasangan calon nomor urut 2 di 20 kecamatan.

Bawaslu Surabaya juga tidak kalah lengkap dalam memberi keterangan. Ketua Bawaslu Surabaya Muhammad Agil Akbar mengatakan Bawaslu Jawa Timur telah memeriksa dugaan kampanye terselubung yang dilakukan Tri Rismaharini dan menyatakan tidak terbukti terdapat pelanggaran.

Baca juga: KPU Surabaya sebut MA-Mujiaman tak keberatan dengan hasil rekapitulasi

Baca juga: Tim Erji optimistis MK gugurkan gugatan Maju di Pilkada Surabaya 2020


Dalam surat untuk warga Surabaya, Tri Rismaharini tidak mencantumkan jabatan wali kota dan menerbitkan surat pada hari libur sehingga tidak harus mengambil cuti. Diketahui selama Pilkada Surabaya, Tri Rismaharini hanya melakukan cuti sebanyak dua kali.

Seluruh dalil-dalil lain pemohon dijawab dengan laporan tidak terbukti terdapat pelanggaran dan tidak terdapat laporan dugaan pelanggaran yang didalilkan pemohon.

Bawaslu Surabaya juga membantah dalil penegakan hukum pemilu tidak berjalan dan menyatakan telah menangani dugaan pelanggaran sebanyak 13 temuan dan 58 laporan.

Pembuktian
Setelah mendengar pokok permohonan pasangan Machfud Arifin-Mujiaman, jawaban KPU Surabaya serta keterangan Bawaslu Surabaya dan pihak terkait Eri Cahyadi-Armudji, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya menggelar rapat permusyaratan hakim (RPH). Dalam RPH akan ditentukan apakah perkara itu akan diteruskan dalam persidangan dan pembuktian atau selesai sampai sidang kali itu.

Melihat perkara dalam Pilkada Surabaya itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai pelibatan pemerintah kota dan wali kota dalam upaya pemenangan salah satu calon yang tidak sesuai dengan aturan main pilkada sudah menggambarkan adanya pelanggaran terstruktur.

Selanjutnya apabila penyelenggara pemilu terbukti merupakan bagian dari rencana untuk pemenangan salah satu calon, hal itu masuk ke dalam pelanggaran yang sistematis. Sementara masif apabila dalam upaya pemenangan melibatkan banyak pihak yang memengaruhi pemilih.

Dalam kasus Pilkada Surabaya, keanehan lain adalah pengeluaran dana kampanye pasangan Eri Cahyadi-Armudji sebesar Rp0, padahal pasangan itu melakukan kegiatan kampanye.

Melihat masih banyaknya hal yang belum terungkap, proses sidang di Mahkamah Konstitusi dinilai penting untuk membenahi suatu kasus.

Namun, belum terdapat kepastian pelanggaran TSM, termasuk yang akan diperiksa atau tetap ambang batas lebih didahulukan. Pelanggaran TSM memang dalil yang paling banyak disebut para pemohon sengketa hasil pilkada. Sementara KPU yang menjadi termohon rata-rata menjawab pelanggaran TSM tidak termasuk dalam wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa.

Meski Mahkamah Konstitusi sudah memeriksa sengketa hasil pilkada serentak pada 2015, 2017 dan 2018, kasus per kasus-nya tentu berbeda sehingga kita tidak dapat menebak didasarkan kasus yang ditangani sebelumnya.

Jadi mari kita tunggu apa keputusan sembilan hakim konstitusi untuk kelanjutan perkara ini pada sidang putusan sela pada 15-16 Februari 2021.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021