Jakarta (ANTARA) - Buzzer tengah menjadi kontroversi di Indonesia. Tetapi buzzer sebenarnya digunakan oleh siapa pun, termasuk penguasa dan oposisi, di mana pun dan kapan pun, di antaranya kala dunia sibuk memerangi pandemi COVID-19.

Ketika media massa tak lagi dominan sebagai saluran informasi dan saat bersamaan media sosial bukan hanya menciptakan demokratisasi konten namun juga menjadi tempat disinformasi berseliweran, buzzer menempati posisi unik dalam ekosistem informasi yang kacau balau seperti sekarang, termasuk dalam kaitannya dengan informasi COVID-19.

Terbatasnya pengetahuan kebanyakan orang soal virus corona atau tak cukup mampunya kalangan berkompeten dalam menginformasikan apa yang mereka ketahui kepada masyarakat, telah mempersubur teori konspirasi, propaganda, dan spekulasi.

Baca juga: BPS: Persentase penduduk miskin naik 0,97 persen akibat pandemi COVID

Dan itu diperparah oleh afiliasi orang atau masyarakat kepada kelompok yang dianggapnya kawan atau musuh yang bentuknya bisa rezim, oposisi, partai politik, ras, agama, dan lainnya.

Saat yang sama, media sosial membuat objektivitas dan verifikasi menjadi barang langka. Di luar manfaat positifnya yang luar bias besar, media sosial juga membuat orang-orang yang tidak punya kompetensi bisa menyusun dan menyebarkan pendapat yang sebenarnya spekulasi belaka.

Ironisnya itu mendapatkan tempat dalam masyarakat karena banyak orang menerima informasi karena emosi, bukan atas pertimbangan kritis. Ini karena kebanyakan pikiran orang sudah terkotak-kotak oleh dikotomi "kawan dan musuh" atau "kita dan mereka".

Alhasil, ketika pandemi terus menyebar, teori konspirasi COVID-19 juga berseliweran semakin kencang.

Mereka berspekulasi tentang muasal virus, apakah buatan manusia atau alami, dan jika buatan manusia siapa pembuatnya. Sampai kemudian spekulasi ini memaksa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadakan investigasi asal virus corona Februari ini di Wuhan, China, yang menjadi tempat pertama pandemi COVID-19 merebak.

Kebanyakan dari pencetus teori konspirasi COVID-19 itu disponsori negara. Ada yang didasari oleh rasa ingin tahu yang besar, ada yang dilatarbelakangi iseng dan satir. Tetapi ada juga yang didasari memburu keuntungan atau traffic internet dengan imbal iklan.

Di Inggris, mengutip Sky News, tiga kelompok penyebar teori konspirasi --Stand Up X, Stop New Normal dan Save Our Rights UK-- malah mengumpulkan uang dan donasi dari hoaks yang mereka sebarkan. Ada juga yang mengharap iklan dan menawarkan barang dagangan.

Tetapi secara umum mereka bisa berbentuk organisasi dan bisa juga perorangan, serta tidak jarang fiktif. Ada yang berspekulasi virus corona dibuat di laboratorium. Ada juga yang menyebutnya senjata biologi. Dan banyak lagi.

Baca juga: Iran peringatkan gelombang keempat COVID


China paling aktif

Hasil investigasi sembilan bulan kantor berita Associated Press (AP) dan Digital Forensic Research Lab pada Atlantic Council terhadap jutaan posting dan artikel di Twitter, Facebook, VK, Weibo, WeChat, YouTube, Telegram dan platform-platform lain yang berada di balik berbagai misinformasi paling viral mengenai muasal COVID-19 menunjukkan fakta mencengangkan.

Ada profesor hukum University of Illinois, tetapi berbicara soal virologi bahwa virus corona secara genetik dibuat sebagai senjata biologi di Wuhan. Padahal WHO menyimpulkan dari penelitian ilmiah, virus corona terlalu sempurna untuk bisa dibuat manusia.

Ada yang mengaku pernah bersama tim PBB yang menginspeksi senjata biologi Irak pada 1990-an, namun orang-orang PBB sendiri mengaku tak mengenal orang bernama Igor Nikulin ini. Dia menyatakan AS membuat virus corona untuk melemahkan China. Meski tak ada bukti, teorinya dirangkul China dan Rusia.

Ada juga yang aktif di Twitter kerap mengaku memiliki informasi intelijen super rahasia, tetapi setelah ditelusuri Buzzfeed ternyata dia cuma orang Italia tua yang bekerja sebagai tenaga pemasaran dan promosi musik.

Tetap saja, para pemimpin dunia terbeli oleh disinformasi dan teori konspirasi mereka. Salah satu yang terbeli adalah Pemimpin Spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei yang yakin AS menciptakan virus corona untuk melemahkan Iran, sampai dia menampik bantuan medis AS ketika Iran masih menjadi salah satu episentrum pandemi.

Semua pihak mengembangbiakkan teori konspirasi COVID-19, termasuk aparat intelijen asing atau kelompok-kelompok nasionalis ekstrem kanan pemuja teori konspirasi seperti QAnon di AS.

Baca juga: Peneliti: organisasi terafiliasi Rusia ikut besarkan konspirasi QAnon

Namun, mengutip AP dalam lamannya, China adalah yang paling aktif menyebarluaskan disinformasi COVID-19, bahwa virus corona diimpor dari AS.

China berusaha melawan narasi yang disebarluaskan QAnon, Fox News, Donald Trump dan sejumlah tokoh Partai Republik bahwa virus corona sengaja diciptakan China.

Pew Research Center menyimpulkan satu dari setiap tiga warga Amerika mempercayai klaim virus corona buatan manusia. Para pemimpin Iran memakai alasan virus corona buatan AS untuk menolak bantuan obat-obatan asing. Mereka yang anti-lockdown dan anti-masker menyebut COVID-19 hoaks dan senjata biologi.

Bahkan ketika Iran dan Rusia sudah meninggalkan teori konspirasi karena perhatian mereka tersita kepada melonjaknya kasus dan kematian akibat COVID, China lanjut mempromosikan konspirasi bahwa COVID-19 dibuat AS.

Baca juga: Vaksinasi petugas publik dan lansia akan dimulai pekan ketiga Februari


Masyarakat diajak kritis

Akun-akun media sosial yang mempromosikan teori konspirasi COVID-19 itu, menurut AP, total memiliki 817 juta follower walaupun banyak di antaranya palsu atau kloning.

Tetapi itu membuat teori-teori liar konspirasi menyebar cepat. Langkah sejumlah pejabat pemerintah seperti pejabat kementerian luar negeri China dalam turut menggaungkan teori konspirasi ini membuat media-media arus utama dan pemerintah-pemerintah lain ikut-ikutan mengutipnya.

Upaya memerangi disinformasi ini pun menjadi makin berat, apalagi media sosial terlanjur membuka kotak pandora disrupsi informasi yang tak bisa ditutup lagi.

AS, Uni Eropa, Australia dan beberapa negara mengambil jalan lain dalam menghentikan disinformasi dengan memaksa platform-platform media sosial mereformasi aturan konten dan pengguna sehingga mereka yang menyebarkan disinformasi dan ujaran kebencian tak lagi punya ruang untuk menyebarkan kebohongan.

Tapi adakalanya ketika disinformasi dinilai sudah terlampau beracun, platform media sosial yang malah inisiatif memblokir akun itu.

Misalnya, belum lama ini Twitter menonaktifkan untuk selamanya akun Donald Trump dalam upaya menyumbat arus klaim bohong dari dia. Tetapi apakah Trump bisa dihentikan? Kemungkinan tidak.

Twitter boleh mengusir Trump, tetapi Parler, media sosial baru yang acap digunakan kaum ekstrem kanan Amerika Serikat, siap menggantikan Twitter.

Fakta itu menunjukkan selain dunia sudah terlalu rumit untuk diregulasi, pada era ini ternyata selalu ada alternatif sehingga hilang satu tumbuh seribu.

Tetapi ya, langkah beberapa negara seperti Australia dan AS dalam mengatur media sosial itu layak diikuti, kendati bukan satu-satunya cara.

Bekerja sama dengan platform media sosial untuk menumbuhkan kebiasaan dalam masyarakat agar kritis dan memverifikasi informasi kepada sumber berkompeten, bukan kepada mereka yang tak punya kompetensi atau merasa tahu segalanya, adalah salah satu cara lain dalam memerangi disinformasi.

Baca juga: Peneliti: Satu buzzer ber-"follower" lebih banyak punya pengaruh kuat
 

Copyright © ANTARA 2021