Palu (ANTARA) - Faktor sosial dan budaya atau sistem patriarki yang masih ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, membuat perempuan sulit berkembang, bahkan mendapat perlakuan kekerasan.

Di Sulawesi Tengah komponen perempuan masih sering mengalami dan mendapat perlakuan kekerasan secara fisik dan psikis, dalam kehidupan sosial.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulteng melalui Simfoni-PPA, pada September 2020, terjadi 239 kasus meliputi 34 kasus laki-laki sebagai korban dan 222 perempuan sebagai korban kekerasan.

Berikutnya, bulan Oktober dalam Simfoni-PPA terdapat 270 kasus kekerasan terdiri dari 34 kasus laki-laki sebagai korban dan 253 kasus perempuan sebagai korban.

Bulan November 2020 berjumlah 312 kasus, terdiri dari 41 kasus korbannya adalah laki-laki dan 288 korbannya adalah perempuan.

Dari data itu, berdasarkan tempat kejadian, kekerasan terhadap perempuan sering terjadi dalam lingkup rumah tangga. DP3A Provinsi Sulteng menyebut kasus yang terjadi di tingkat rumah tangga mencapai 200 kasus.

"KDRT atau kekerasan yang terjadi di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh faktor, stres, tekanan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, dan faktor budaya," ungkap Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Sulteng Sukarti.

upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan menghapus sistem patriarki yang ada di masyarakat, dibutuhkan sinergi dan kesamaan program pemerintah di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.

Bahkan, di tingkat organisasi perangkat daerah (OPD) perlu juga memiliki kesamaan persepsi, untuk menyusun program berbasis pemenuhan hak-hak kaum rentan yang di dalamnya termasuk perempuan.

"Pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menyusun program atau kegiatan pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, atau kekerasan berbasis gender, dalam rencana strategis daerah," ucap Kepala DP3A Provinsi Sulteng Ihsan Basir.

Program yang disusun mengenai pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan, untuk menopang terwujudnya rencana pembangunan daerah jangka panjang dan menengah.

Dari situ, pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat melakukan upaya pencegahan dengan berbagai cara dan strategi menghapus sistem partiarki, yang salah satunya sosialisasi tentang perlindungan dan pemenuhan hak perempuan.

Lewat program itu, pemerintah dapat membangun partisipasi masyarakat, organisasi dan para pihak lainnya di tingkat desa dan kelurahan dalam melindungi perempuan.

Menurut Ihsan, hal penting lainnya dalam pencegahan kekerasan yakni pembentukan layanan informasi dan pengaduan di tingkat rukun tetangga dan desa/kelurahan agar ketika ada kasus kekerasan, masyarakat mengetahui kemana mereka harus melapor.

Hal ini perlu menjadi komitmen pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, karena pemenuhan hak perempuan termasuk upaya dalam membangun kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan berkesinambungan.

Baca juga: Wanita wirausaha harus tetap "work - life balance"

Ranperda Pemenuhan Hak

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui DP3A menggandeng para pihak yang terdiri dari organisasi perangkat daerah (OPD) tingkat provinsi, legislatif, LSM, pers, dan akademisi, menyusun draf rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak.

Draf Ranperda itu representatif dari komitmen pemerintah di Sulteng dalam memenuhi hak-hak kaum rentan, termasuk perempuan dan anak, dalam situasi bencana maupun situasi non-bencana.

Di dalamnya, juga membahas tentang upaya mengakhiri pernikahan usia anak atau perkawinan dini, yang hingga saat ini di Sulawesi Tengah juga masih sering terjadi.

"Ranperda ini juga sebagai bentuk upaya dalam pemenuhan dan perlindungan anak dalam tumbuh kembangnya," ucap Kepala DP3A Provinsi Sulawesi Tengah Ihsan Basir.

Ihsan Basir juga mengemukakan bahwa dalam draf Ranperda Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak di dalamnya juga memuat tentang kluster hak sipil, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, lembaga konsultasi dan infrastruktur ramah anak.

Ranperda ini juga untuk mendorong komitmen kepala daerah di semua daerah untuk menyelenggarakan pembangunan di masing-masing daerah yang bermuara pada pemenuhan dan perlindungan anak.

"Komitmen itu dibahas dalam pemenuhan kabupaten dan kota layak anak, jadi kepala daerah harus berkomitmen untuk mewujudkan kabupaten/kota layak anak," ujarnya.

Ihsan juga mengemukakan bahwa draf ranperda yang saat ini masih dalam pembahasan di tingkat dinas, di dalamnya juga memasukkan tentang dispensasi perkawinan usia anak.

Berkaitan dengan itu, Direktur Lingkar Belajar Untuk (Libu) Perempuan Sulteng Dewi Rana berharap agar ranperda itu mendapat respons positif dari Pemda di Sulteng dan legislator di DPRD Sulteng.

"Karena hal ini menyangkut dengan pembangunan kesejahteraan yang berbasis responsif gender," ujarnya.

Dewi berharap pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, agar nantinya memberikan proporsi yang besar terhadap pembangunan berbasis responsif gender di masing-masing daerah.

Ranperda ini akan menjadi payung hukum bagi pemerintah di tingkat kabupaten/kota, untuk memberikan respons yang besar terhadap masalah-masalah gender.

Berkaitan dengan itu Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng I Nyoman Slamet mendukung pembuatan draf ranperda tersebut.

I Nyoman menilai bahwa Sulteng perlu memiliki perda tersebut, untuk menekan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Ini penting karena di daerah kita ini, masih tinggi kekerasan terhadap perempuan dan anak," katanya.

Baca juga: Kemen PPPA dorong ibu rumah tangga berwirausaha tingkatkan kesetaraan

Kepemimpinan perempuan

DP3A Provinsi Sulteng menilai agar pemenuhan hak-hak perempuan bisa terealisasi secara maksimal, maka perempuan harus terlibat dalam pembangunan mulai dari tingkat desa.

Keterlibatan perempuan, perlu diawali dengan meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan desa, agar bisa mengambil peran dalam memajukan pembangunan desa serta pembangunan desa yang responsif gender.

"DP3A Provinsi Sulteng berupaya meningkatkan kualitas perempuan agar memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan siap bersaing untuk menjadi pemimpin desa," ucap Kabid Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga Irmawati Sahi.

Pemerintah telah memberikan ruang aksesibilitas yang luas bagi perempuan untuk menjadi pemimpin di berbagai posisi pengambilan keputusan di semua tingkatan. Namun, aksesibilitas itu belum dimanfaatkan oleh perempuan secara optimal karena masih adanya kendala psikologis, kultural dan politis yang menghambat kemajuan perempuan.

Terlebih bagi perempuan yang ingin menjadi kepala desa di tingkat perdesaan memerlukan modalitas yang cukup memadai baik kapasitas intelektual, modal sosial dan ekonomi serta dukungan politik dari masyarakat perdesaan sebagai pemilihnya.

Oleh karena itu perlu memperbesar jumlah peran perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan, terlebih bagi perempuan agar menjadi pemimpim yang mampu mengatasi permasalahan perempuan dan anak.

Seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan perempuan dan anak, kemiskinan dan keterbelakangan perempuan serta meningkatkan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan.

Karena itu, DP3A Provinsi Sulteng membentuk balai belajar kampung, yang menjadi menjadi wadah pembelajaran untuk menguatkan kapasitas dan pemahaman perempuan terhadap konsep dasar gender dan melatih kepemimpinan perempuan.

Balai belajar kampung menjadi satu pendorong bagi perempuan desa untuk memenuhi potensi reproduksi sosiologis dan politik dalam hal mengakses peran dan fungsi kepemimpinan di tingkat lokal, atas dasar keadilan dan kesetaraan.

Caranya, mendorong kepemimpinan perempuan menjadi bagian integral dari upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga karena persoalan keseharian yang menjadi indikator kesejahteraan sangat dekat dengan kepentingan perempuan.*

Baca juga: Menkeu: Kesetaraan gender melalui peningkatan kompetensi diri

Baca juga: Psikolog: Paham kesetaraan gender bisa cegah kekerasan seksual

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021