Jakarta (ANTARA) - Vaksinasi merupakan salah satu ikhtiar pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi COVID-19.

Namun tidak semua orang mau melaksanakan vaksinasi dengan berbagai alasan bahkan sampai beredar berbagai berita bohong terkait vaksin yang digunakan dan dampaknya.

Terkait masih adanya masyarakat yang menolak vaksinasi, berikut simak tanya jawab mengenai hal itu bersama Ustadz Mahbub Maafi Ramdlan, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU:

Apa hukumnya menolak melaksanakan vaksinasi?

Pandemi COVID-19 telah mengguncang tatanan kehidupan dunia, baik sosial, ekonomi dan politik. Berbagai pihak sudah berusaha mati-matian menghentikan penyebaran virus COVID-19.

Ada banyak cara yang ditawarkan untuk mengatasi pandemi. Dari sekian cara yang ada, vaksinasi adalah cara yang dianggap paling efektif untuk mengatasinya.

Karena itu pemerintah pun mencanangkan program vaksinasi untuk kurang lebih 181 juta penduduk. 

Harapannya program vaksinasi dapat segera menciptakan kekebalan kolompok (herd immunity) sehingga masyarakat bisa segera menjalankan kehidupannya dengan normal seperti sebelum adanya pandemi COVID-19, termasuk saat sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI)  telah menetapkan bahwa melakukan vaksinasi COVID-19 bagi umat Islam yang berpuasa, dengan injeksi intramuscular hukumnya boleh, sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dlarar).

Namun masalahnya ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, karena di lapangan acapkali dijumpai anggota masyarakat yang enggan bahkan menolak divaksin.

Keengganan divaksin ini pun kemudian memicu anggota masyarakat lainnya untuk ikut-ikutan menolak program vaksinasi yang dicanangkan pemerintah.

Ada beberapa alasan yang mengemuka, di antaranya adalah kekhawatiran munculnya efek samping yang membahayakan.

Kekhawatiran ini setidaknya menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya berhasil dalam memberikan edukasi ke masyarakat mengenai vaksin serta meyakinkan kepada masyarakat mengenai keamanan vaksin.

Di sinilah kemudian pemerintah dituntut untuk meningkatkan sosialisasi manfaat manfaat vaksinasi pada masyarakat luas. Bukan hanya sekadar meminta masyarakat untuk mengikuti program tersebut dan memberikan sanksi bagi yang menolak.

Baca juga: Ramadhan, Kemenkes lanjutkan vaksinasi COVID-19

Baca juga: Jangan jadikan COVID-19 penghalang ibadah Ramadhan, sebut MUI


Bagaimana jika terdapat keraguan terhadap kehalalan vaksin?

Alasan lainnya adalah menyangkut halal-haramnya vaksin COVID-19 itu sendiri, dimana dalam hal ini terjadi pro-kontra mengenai salah satu vaksin COVID-19 yang digunakan di Indonesia.

Ada yang menyatakan haram dan ada yang menyatakan halal dengan argumentasinya masing-masing.

Kendati demikian, baik pendapat yang menyatakan haram maupun tidak haram ujungnya adalah sama, yaitu memperbolehkan penggunaan vaksin tersebut.

Dalam pandangan fikih, vaksinasi sendiri hukum asalnya adalah mubah. Namun hukum mubah ini bisa beralih menjadi wajib jika terdapat situasi yang mengharuskannya.

Seperti dalam situasi pandemi COVID-19 seperti ini saat ini, dimana vaksinasi dianggap sementara ini sebagai cara yang paling efektif untuk mewujudkan herd immunity sehingga masyarakat terlindungi dari serangan wabah.

Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang berbunyi; lil wasâ’il hukmul maqâshid (Status hukum sarana sama status hukumnya dengan tujuan).

Penjelasan sederhana dari penerapan kaidah ini adalah bahwa dalam situasi wabah seperti hari ini menciptakan herd immunity adalah niscaya karena dapat melindungi dan menghindari masyarakat dari serangan wabah, sementara cara dianggap efektif adalah dengan mewujudkan program vaksinasi, sehingga vaksinasi pun menjadi wajib.

Dengan demikian dalam pandangan syariat, aksi penolakan terhadap vaksinasi adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Sebab, penolakan tersebut dapat membahayakan diri sendiri bahkan orang lain.

Sementara tindakan apapun yang dapat mengancam keselamatan diri dan orang lain adalah dilarang sebagaimana sabda Rasulullah Saw ; la dlarara wa la dhirar (tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan pihak lain).

Baca juga: Saat pandemi, Tarawih di masjid atau di rumah?

Baca juga: Puasa dan kenaikan harga

 

Pewarta: -
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021