MHU menyadari bahwa kerja besar tidak berhenti dengan diundangkannya UUCK
Jakarta (ANTARA) - Ketua Masyarakat Hukum Udara (MHU) Andre Rahadian meminta peraturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) untuk sektor penerbangan segera direalisasikan.

“MHU menyadari bahwa kerja besar tidak berhenti dengan diundangkannya UUCK, tapi berlanjut dengan pembuatan peraturan pelaksanaan yang banyak dan memerlukan perhatian yang rinci agar peraturan ini bisa berjalan pada tahap pelaksanaan, tidak saling bertentangan dan sesuai juga dengan konvensi internasional yang ada,” ujar Andre dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.

Ketua Iluni UI itu menyoroti banyak masalah yang bisa timbul apabila peraturan pelaksanaan tidak dibuat secara teliti dan menampung aspirasi pemangku kepentingan. Untuk itu, Andre menyampaikan komitmen MHU untuk terlibat aktif dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya.

Baca juga: PT IWIP angkat pekerja tetap untuk implementasikan UU Cipta Kerja

“MHU siap membantu pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan dalam pembuatan peraturan pelaksanaan, termasuk beberapa peraturan Menteri Perhubungan,” kata dia.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto menyampaikan sebagai tindak lanjut dari PP 32/2021, Kementerian Perhubungan akan menetapkan 12 Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan antara lain terkait dengan sertifikasi dan registrasi personel bandar udara, standar pesawat udara tanpa awak (drone), program pendidikan dan pelatihan keamanan penerbangan nasional, dan pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran peraturan perundangan di bidang penerbangan.

“Sejauh ini kami sudah menyampaikan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, lima rancangan Permenhub untuk proses harmonisasi dan ada 2 Rancangan Permenhub dalam tahap pembahasan internal terkait aturan yang benar-benar baru yaitu RPM standar pembangunan bandara dan aturan drone,” kata Novie.

Baca juga: Iskindo: Regulasi turunan UU Cipta Kerja berpotensi tumpang tindih

Novie menambahkan, khusus pembuatan aturan drone itu merupakan salah satu usaha agar Indonesia berada di posisi terdepan dalam mengatur drone yang beratnya di atas 25 kg, kelaikudaraan, dan sertifikasi operator drone.

“Kami sudah melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang juga sudah membuat aturan sejenis,” ungkap dia.

Kepala Pusat Riset Inovasi Sumber Daya dan Kewilayahan Universitas Padjajaran, Prita Amalia, menyampaikan. salah satu poin temuan dalam PP 32/2021 terkait aturan penghapusan pendaftaran pesawat yang merupakan konsekuensi dari terdaftarnya Indonesia dalam Capetown Convention.

“Ada pertentangan antara isi UU Penerbangan yang tidak diubah dalam UUCK dengan isi PP 32/2021, di mana Undang-Undang mengatur penghapusan pendaftaran pesawat dilakukan atas dasar permintaan dari pemilik atau lessor ketika terjadi cedera janji, sedangkan aturan pelaksanaan dalam peraturan pelaksanaan mengharuskan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,” kata Prita.

Baca juga: Kadin sambut baik penghapusan minimal kepemilikan pesawat Omnibus Law

Partner dari MKK lawfirm, Enny Purnomo Widhya, mengatakan inkonsistensi isi aturan ini membuat kebingungan pada level pelaksanaan dan dipertanyakan banyak pihak, termasuk bank-bank asing yang menjadi kreditur dalam pengadaan pesawat bagi maskapai Indonesia.

“Pertentangan UU Penerbangan dan PP 32/2021 ini harus diinterpretasikan berlaku untuk penghapusan pendaftaran yang dilakukan tanpa mekanisme surat kuasa dalam rangka Cape Town Convention karena Undang-Undang sudah menentukan tindakan ini harus bisa dilakukan tanpa putusan pengadilan. Jika tidak diartikan demikian, maka hal ini mungkin terjadi karena “typo error,” kata Enny.

Baca juga: Lapan tanda tangani 15 perjanjian kerja sama dengan lembaga dan pemda

Pewarta: Indriani
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021