Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) Ahmad M Ali berpendapat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah memenuhi kepentingan pengusaha serta tuntutan kelompok buruh.

"Saya pikir terlalu emosional untuk meminta membubarkan UU Ciptaker," kata Ahmad Ali kepada wartawan di Jakarta, Sabtu, menanggapi tuntutan sejumlah serikat buruh yang meminta UU tersebut dibatalkan.

Menurut dia, kelompok buruh sebaiknya menunggu terlebih dulu peraturan pemerintah (PP) yang menjadi aturan teknis implementasi UU Cipta Kerja.

"Saya pikir UU Cipta Kerja tekah memberikan, mengakomodasi semua kepentingan, termasuk kepentingan buruh, dan kemudian kita (sebaiknya, red) menunggu PP-nya dan itu akan jadi guidance (acuan, red) untuk melaksanakan (perintah undang-undang, Red) itu,” kata Ahmad Ali, yang saat ini menjabat sebagai Anggota Komisi III DPR RI.

Dalam kesempatan yang sama, Ahmad Ali mengatakan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah berupaya memastikan kehidupan buruh lebih sejahtera ke depannya.

"Saya pikir, aturan-aturan yang sudah disepakati di republik ini memberi kesempatan kepada buruh untuk lebih baik ke depannya," ucap dia menegaskan.

Baca juga: Presiden: Buruh adalah aset besar bangsa

Baca juga: Demo buruh, polisi kerahkan personel berbaju hazmat


“Harapannya, buruh semakin sejahtera, buruh semakin berdaulat, buruh semakin diberi ruang,” kata Ahmad Ali menyampaikan harapannya untuk kelompok pekerja pada Hari Buruh Dunia yang diperingati tiap 1 Mei.

Hari Buruh Dunia di Indonesia diperingati dengan unjuk rasa oleh sejumlah serikat pekerja di berbagai daerah, Sabtu.

Hampir seluruh kelompok buruh itu meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Cipta Kerja, terutama terkait klaster ketenagakerjaan.

Dalam aksi di Jakarta, Sabtu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan ketentuan pada UU Cipta Kerja merugikan kelompok buruh, karena karyawan kontrak dapat dikontrak oleh perusahaan seumur hidup tanpa ada batasan waktu yang jelas.

Tidak hanya itu, KSPI juga menuntut UU Cipta Kerja dibatalkan karena aturan itu menghapus ketentuan mengenai Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota (UMSK) dan Upah Minimum Kabupaten/kota yang biasa ditetapkan oleh pemimpin daerah.

Dalam UU Cipta Kerja, upah minimum yang berlaku adalah Upah Minimum Provinsi, yang ditetapkan oleh gubernur. Menurut Said Iqbal, ketentuan itu merugikan buruh, karena para pekerja terancam diberi upah murah oleh perusahaan.

"Contoh di Bekasi, UMSK 2020 adalah Rp5,2 juta, UMK 2021 Rp4,9 juta, berarti upah buruh 2021 turun karena UMSK dihapus, dan 2022 dan seterusnya. Belum tentu ada UMK karena maunya Omnibus Law itu UMP. Nilai pesangon diturunkan dan sebagainya," kata dia menambahkan.

Kelompok buruh, kata presiden KSPI, menuntut agar UMSK tetap berlaku.

Baca juga: SPSI Tanjungpinang tidak gelar orasi tapi tetap tolak Omnibus Law

Baca juga: Moeldoko: Pemerintah tak pernah abaikan kesejahteraan buruh

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021